Saat sampai di restoran Jepang, Evan duduk menunggu tanpa memesan makanan apa pun.
Aduh lapar… gumam Risa dalam hati. Perutnya perih, nyaris ingin menangis menahan rasa sakit.
Evan hanya sibuk menatap layar ponselnya, sama sekali tidak memedulikan Risa. Lima belas menit kemudian, Tuan Hiroshi akhirnya tiba. Mereka pun berjabat tangan dengan sopan.
“Mau pesan apa?” tanya Evan sopan.
“Terserah,” jawab Pak Alex, sang penerjemah bahasa.
Mereka pun memilih menu. Sambil menunggu pesanan datang, obrolan serius mengenai proyek besar yang akan dikelola perusahaan Evan pun dimulai. Namun, ada masalah—Evan kurang bisa bahasa Jepang, sementara sang penerjemah bicara dengan gelagapan hingga sulit dipahami.
Risa yang sejak tadi hanya diam, memberanikan diri. Ia menarik napas, lalu berkata dengan lembut dalam bahasa Jepang, “Boleh saya bicara?”
Tuan Hiroshi terperangah mendengarnya. Ia tidak menyangka suara lembut Risa bisa begitu fasih berbahasa Jepang. “Tentu saja,” balasnya ramah.
Dengan sopan, Risa mulai bertanya, “Luas tanah yang dibutuhkan berapa? Luas bangunan, berapa? Untuk taman, berapa luasnya? Tempat parkir dan lainnya?”
Evan yang tadinya meremehkan Risa, kini terdiam. Diam-diam ia kagum mendengar Risa berbicara lancar dan sopan.
Akhirnya, proyek pembangunan senilai 800 miliar pun deal. Mereka semua berjabat tangan.
“Saya siapkan dokumennya untuk tanda tangan minggu depan. Kita juga akan survey lokasi,” ucap Evan sambil menjabat tangan Tuan Hiroshi.
Pertemuan pun selesai. Anehnya, mereka pergi tanpa menyentuh makanan yang sudah dipesan. Risa menelan ludah, menatap makanan itu dengan keinginan besar untuk menyantapnya.
Evan melirik Risa yang terlihat pucat. “Kenapa kamu?” tanyanya heran.
“Saya belum makan, Pak… lapar,” jawab Risa jujur.
“Makan saja. Sudah saya bayar. Pulangnya naik taksi saja, saya ada urusan,” ucap Evan sambil beranjak pergi.
Mendengar itu, wajah Risa langsung sumringah. Tanpa menunggu lama, ia pun melahap semua makanan di meja. Namun setelah makanan sampai ke perutnya, Risa meringis.
“Akh… sakit…” ucapnya pelan. Maghnya kambuh akibat telat makan. Meski begitu, ia tetap memaksakan diri menghabiskan hidangan.
Sore itu, Risa pulang dengan memesan ojek online menuju apartemen Tari. Sesampainya di sana, ia mengaktifkan ponselnya. Ada beberapa pesan masuk. Salah satunya dari nomor tak dikenal—Reno.
Sa, aku udah kirim uang bulanan buat kamu, tulis Reno.
Risa buru-buru mengecek saldo rekeningnya. Benar saja, uang itu sudah masuk. Ia mengetik balasan cepat:
Padahal nggak usah. Kita kan udah putus.
Belum ada balasan dari Reno saat itu. Risa lalu ke kamar mandi, membersihkan diri, dan berganti pakaian. Setelahnya, ia kembali membuka ponsel. Ada pesan baru dari Reno:
Ngga sayang, aku nggak mau putus. Aku nggak merasa berselingkuh. Rekaman CCTV akan aku kirimkan. Jika kamu ingin sama ibu dulu, aku akan tunggu kamu lagi ya.
Air mata Risa langsung jatuh. Ia berbisik lirih, “Reno memang baik banget… aku juga nggak percaya dia selingkuh.”
Tangannya gemetar saat membuka rekaman CCTV. Video itu menampilkan kafe tempat Reno bekerja. Tiba-tiba, Anya—karyawannya—duduk di meja bar dan mencium Reno dengan paksa. Lalu terlihat Risa masuk ke kafe itu tepat saat adegan itu terjadi.
Rekaman berlanjut. Usai pertengkaran dengan Risa di luar, Reno tampak marah pada Anya. Ia membentak, bahkan membalik meja bar hingga tangannya terluka.
Risa terkejut. Ia segera mengetik pesan:
Tangan kamu baik-baik aja kan?
Udah, nggak apa-apa sayang, balas Reno cepat.
Risa menarik napas panjang. Aku mau di Bandung dulu, tenangin pikiran. Aku belum bisa maafin kamu, tulisnya keras kepala.
Reno tahu betul sifat Risa. Ia pun membalas lembut:
Iya sayang, aku ngerti. Aku nggak akan ganggu kamu dulu.
Membaca itu, Risa kembali menangis. Tak lama, Tari datang.
“Hmmm… nangis lagi?” sindir Tari sambil meletakkan tas.
“Kok lo pulang telat?” tanya Risa, suaranya masih parau.
“Macet, sayang. Lo kenapa mewek mulu?” ucap Tari, lalu duduk di samping Risa dan merangkulnya.
“Ini… Reno kirim uang, terus dia minta maaf. Dia kirim video bukti kalau dia nggak selingkuh,” ucap Risa tersengal-sengal.
“Lah, terus kenapa nangis?” tanya Tari heran.
“Gue tuh sedih sama dia. Dia itu baik… tapi kok gue belum bisa maafin dia, ya? Gue balas jangan ganggu dulu. Dia bilang iya, biar gue tenangin pikiran dulu. Kan kesel ya…” Risa terisak, suara patah-patah.
Tari mendecak. “Idih aneh. Trus mau lo apa?”
“Orang mah kalau minta maaf tuh nyusulin, bawa bunga, minta maaf beneran. Bukan malah didiemin,” kesal Risa sambil mengusap air matanya.
“Lah, dia dateng lo-nya nggak ada. Lo blokir dia kan? Pas di rumah ibu lo, lo buru-buru pergi. Jadi… siapa yang salah ini, ya?” tanya Tari, bingung.
“Ngga tau akh! Kesel!” Risa menjerit lirih.
“Idih, nggak jelas,” sahut Tari, lalu berdiri dan masuk ke kamar mandi, meninggalkan Risa yang kembali terisak sendirian.