Bos Gila

1322 Words
Petir menggelegar di antara langit yang gelap, membelah keheningan malam dengan suara yang menggetarkan d**a. Risa berdiri terpaku di tembok gerbang rumah kakek Evan. Tubuhnya gemetar, wajahnya basah oleh air mata yang bercampur dengan derasnya hujan. “Tari... lama ya. Gue takut...” ucapnya terbata, suara parau menyatu dengan isakan. Petir kembali menyambar, membuat jantung Risa berdegup kencang tak terkendali. Seolah-olah setiap cahaya kilat yang melintas di langit ikut merobek keberaniannya. Hampir satu jam ia terjebak di sana. Hujan akhirnya mereda, meninggalkan tubuh Risa kuyup, bibirnya membiru. Saat itu, Tari datang terburu-buru. “Ya ampun, Risa... lo sampai basah kuyup gini,” ucap Tari penuh khawatir. Ia langsung menutupi tubuh sahabatnya dengan jaket, lalu menggiringnya masuk ke dalam mobil. Mobil mulai melaju pelan. Tari melirik Risa yang masih menangis. “Ini gimana ceritanya bisa sampai begini?” tanyanya lembut. Risa terisak semakin keras. “Gue kesel, Tari... kesel banget!” “Udah, ini tisu. Nih, ada handuk kecil juga. Keringin dulu badan lo. Di belakang ada baju gue, ganti sana,” ucap Tari sambil tetap fokus menyetir. Dengan perasaan campur aduk, Risa berganti pakaian di kursi belakang. Ia berusaha menenangkan diri meski pikirannya masih berputar. Setelah selesai, ia kembali duduk di depan, wajahnya tampak kusut. “Brengsek... bos gila!” Risa menggeram. “Kesel banget! Tadi tuh dia ngajak gue ke rumah kakeknya. Udah beres, dia langsung pergi gitu aja. Gila kan? Mana jauh lagi... petir dari tadi nyambar-nyambar pohon! Kesel banget, sumpah...” Risa merajuk sambil menghentakkan kakinya kecil-kecil. Tari menghela napas panjang. “Udah, kalau lo nggak sanggup, keluar aja. Nih ya, gue kasih tau—yang kerja sama dia paling lama bertahan tiga hari. Nggak ada yang betah.” “Enggak. Gue akan lanjut... sambil cari kerjaan lain.” Risa mengusap air matanya dengan cepat, berusaha meneguhkan hati. “Terserah,” jawab Tari, kali ini sambil menatap Risa sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. Di perjalanan, Tari sempat mampir membeli makanan untuk mereka. Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di apartemen. “Lo mandi dulu gih, nanti kita makan,” ucap Tari sambil tersenyum tipis, berusaha menghibur. “Ok,” jawab Risa lemah, lalu berjalan gontai menuju kamar mandi. Usai mandi, mereka berdua duduk makan bersama. Namun, pikiran Risa tak juga tenang. Setelah makan, ia duduk termenung lama. Bayangan Reno muncul di kepalanya. Ia sempat menyesali keputusannya meninggalkan pekerjaan lamanya yang nyaman. Tapi bagaimanapun juga, Risa harus melanjutkan hidup. Keesokan harinya, Risa tetap masuk kerja seperti biasa. Tepat pukul sembilan, Evan datang dengan langkah angkuh, seolah kantor itu adalah singgasananya. Risa segera masuk ke ruangannya, membawa catatan jadwal. “Ini jadwal hari ini, Pak,” ucapnya sopan. “Ok. Bikinkan saya kopi,” sahut Evan ketus, nyaris tanpa menoleh. Risa menahan napas sebentar, lalu bertanya hati-hati. “Kopinya bagaimana, Pak?” “Creamy latte. Gulanya jangan terlalu banyak, jangan juga terlalu sedikit. Seduhnya pakai air mendidih, jangan dari dispenser.” “Baik, Pak,” jawab Risa, lalu segera keluar dari ruangan. Ia berjalan menuju pantry, namun bingung. “Ini cara bikinnya gimana, ya...” gumamnya. Ia mendekati office boy yang sedang merapikan barang. “Mas, cara bikin kopi buat bos gimana?” tanyanya. “Saya juga baru, Bu... nggak tau,” jawab OB itu canggung. “Duh... gimana ya...” Risa menggigit bibirnya, panik. Namun tiba-tiba ia teringat bagaimana dulu sering membuat kopi untuk Reno. Ia mencoba mengingat detailnya. Pelan-pelan, ia mulai memanaskan air, menakar gula seadanya, dan mencampur bubuk kopi sesuai instingnya. Tangannya sedikit gemetar, tapi akhirnya segelas kopi jadi. Risa masuk kembali ke ruang Evan dan meletakkan cangkir itu di atas mejanya. Ia tidak berani berkata banyak, hanya memberi senyum tipis sebelum keluar. Saat itu Evan masih sibuk menelepon. Setelah menutup panggilan, ia menyesap kopi buatan Risa. Sesaat ia terdiam, lalu mengangkat alis. “Hmm... not bad,” gumamnya dingin. Tanpa menoleh pada Risa, ia bangkit dan bersiap menjalani jadwal hari itu. Seharian itu Evan berada di luar kantor. Bagi Risa, rasanya seperti hidup tenang untuk sehari saja. Ia bisa bernapas lega tanpa harus mendengar bentakan atau tatapan dingin pria itu. Sebelum pulang, ia membereskan meja kerja Evan yang penuh dengan berkas dan gelas kopi. “Kopi diminum cuma sedikit... bikinnya yang repot. Dasar orang kaya,” gumam Risa sambil menggerutu, meski pelan agar tak ada yang mendengar. Sore itu, Risa dan Tari pulang bersama. Keesokan harinya... Risa berdiri di depan cermin, merapikan kerah blusnya. Sebelum berangkat, ia menangkupkan tangan berdoa lirih. Semoga hari ini nggak sial lagi... Tepat pukul sembilan, Evan masuk dengan wajah masam. Risa yang melihatnya dari jauh mengatur napas dalam-dalam, mencoba menyiapkan mental sebelum melangkah masuk ke ruangannya. “Pagi, Pak. Jadwal hari ini...” ucap Risa dengan suara tegas meski hatinya bergetar. “Ada dua orang marketing yang sudah menunggu Anda dari tadi. Lalu ada rapat sama Big Bos. Pukul 13.00 bertemu klien di restoran Jepang. Pukul 15.00 bertemu Ibu Luna di hotel.” Evan hanya memutar kursinya santai, lalu berkata dingin, “Yang dua orang, suruh masuk.” Tak lama, dua orang marketing masuk dengan wajah canggung. Risa hendak keluar, namun suara Evan menahannya. “Kamu duduk. Catat apa yang mereka katakan,” ucapnya tegas, menatap Risa seolah memberi perintah militer. “Baik, Pak,” jawab Risa, buru-buru duduk sambil menyiapkan buku catatan. Diskusi pun dimulai. Kedua marketing menjelaskan soal lahan yang sulit dinegosiasikan. “Ya cari cara dong biar bisa harga segitu!” bentak Evan tiba-tiba, membuat jantung Risa nyaris copot. Astaga... masih pagi udah begini... batinnya gusar. “Sudah diusahakan, Pak. Tapi mereka tidak akan menjualnya kalau kurang dari harga itu,” jawab salah satu marketing dengan suara bergetar. Evan menepuk meja keras-keras. “Saya yang turun tangan kalau perlu. Kalau nggak bisa, kalian saya pecat!” Kedua marketing itu langsung pucat pasi. Risa menunduk, mencatat dengan tangan gemetar. “Risa! Atur jadwal besok kita ke lapangan!” teriak Evan. Risa sampai sedikit meloncat dari kursinya. “B-b... baik, Pak...” jawabnya gugup. “Bubar! Bubar! Kesal saya!” hardik Evan, mengusir kedua orang itu. Saat pintu tertutup, suasana hening sesaat. Evan mengatur napas, lalu berkata dengan suara berat, “Risa, bikinin kopi kayak kemarin.” “Baik, Pak.” Risa segera bergegas. Beberapa menit kemudian ia kembali, membawa secangkir kopi panas. “Pukul berapa meeting?” tanya Evan, langsung menyesap tanpa pikir panjang. Risa sempat ingin memperingatkan, tapi terlambat. “Pak, itu kopi masih panas...” “Akh! Panas gini gimana saya bisa minum?” gerutu Evan kesal. Risa menarik napas panjang, menahan emosi. “Saya mau bilang kopi-nya panas, Pak... tapi Bapak langsung minum. Meeting pukul 10.00, Pak.” Evan menoleh tajam. “Ngelawan aja kamu? Ayo, ikut meeting. Bawa laptop dan buku!” ucapnya, lalu berdiri dan berjalan keluar ruangan. “Ok, Pak,” sahut Risa sambil tergopoh-gopoh mengikuti. Mereka sampai lebih dulu di ruang meeting. Risa berdiri di samping Evan dengan wajah polos, menunggu. “Ngapain berdiri? Duduk. Kerja mau berdiri?” kata Evan ketus. “Iya, Pak,” jawab Risa cepat-cepat, lalu duduk di sampingnya. Evan mencondongkan tubuh, berbisik dengan nada tajam, “Nanti dengerin baik-baik. Catat. Jangan sampai ada yang salah.” “Ok, Pak,” jawab Risa sambil membuka laptopnya dengan tangan sedikit gemetar. Tak lama, segerombolan orang penting masuk. Di depan mereka, berjalan seorang pria berwibawa—ayah Evan. Begitu melihat Risa, ayah Evan hanya menggeleng kecil. Sekretaris baru lagi. Risa menunduk, mencatat detail demi detail setiap kata yang diucapkan dalam rapat itu. Setelah selesai, mereka kembali ke ruang Evan. “Nanti ikut ke restoran Jepang. Saya lagi nggak fokus. Bantu ngomong,” ucap Evan dingin, wajahnya datar tanpa ekspresi. “I-iya, Pak...” Risa menjawab gugup. Jam makan siang tiba, namun perut Risa hanya bisa menahan lapar. Evan masih sibuk di ruangannya, tak memberi kesempatan keluar. Baru pukul 12.30, Evan keluar sambil meraih jasnya. “Ayo,” katanya singkat. Risa berdiri buru-buru. Evan menatapnya sekilas, lalu berjalan menuju mobil. Mereka berangkat ke restoran Jepang untuk bertemu Tuan Hiroshi, klien penting Evan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD