Siang itu Evan pergi menemui klien-kliennya, meninggalkan kantor dengan wajah dingin khasnya. Risa baru saja lega karena bisa menghirup napas tanpa bayangan bosnya yang penuh tekanan, ketika tiba-tiba pintu kantor terbuka keras.
Sofia masuk dengan langkah penuh amarah, wajahnya jutek, bibirnya manyun seakan siap mencakar siapa pun.
“Mana Evan?” tanyanya ketus, matanya langsung menusuk ke arah Risa.
Risa menelan ludah, menahan gugupnya sambil berusaha bersikap sopan.
“Tadi sudah saya sampaikan, Bu. Tapi Pak Evan memang sibuk hari ini,” jawabnya hati-hati.
Sofia mendengus keras, lalu mencondongkan tubuhnya ke meja Risa.
“Dimana dia sekarang?” nada suaranya penuh tekanan.
“Saya… saya nggak tahu, Bu,” ucap Risa lirih, jemarinya gemetar.
Seketika Sofia membentak, suaranya menggema ke seluruh ruangan.
“Masa kamu sekretarisnya nggak tau!?”
Belum sempat Risa menjawab, pintu kembali terbuka. Evan muncul, wajahnya kelihatan kesal karena ada barang yang tertinggal. Suasana berubah tegang seketika.
“Apa hak lo teriak-teriak sama sekretaris gue?” suara Evan datar, tapi tajam bagai pisau.
Sofia mendekat dengan tatapan membunuh, suaranya berbisik marah.
“Lo kabur mulu, anjing…”
Evan menatap balik, dinginnya menusuk.
“Terus lo mau apa?”
“Kita bicara di dalam,” jawab Sofia cepat, lalu menarik tangan Evan dengan kasar. Sebelum masuk, ia sempat mendelik tajam pada Risa.
Risa menunduk, menghela napas panjang.
Anjir… ini bos gila ya, ceweknya banyak amat, gumamnya dalam hati.
Namun rasa penasarannya membuat matanya sempat melirik ke ruangan Evan. Ia nyaris tersedak napas ketika melihat Sofia mencium Evan dengan agresif.
“Opps…” ucapnya pelan, buru-buru kembali duduk.
Tiba-tiba—PLAK! suara tamparan keras terdengar dari dalam. Risa langsung menajamkan telinga.
“Lo harus tanggung jawab!” suara Sofia pecah oleh tangis.
Suara Evan terdengar sinis, dingin.
“Gue nggak pernah nggak pake pengaman. Nggak mungkin itu anak gue.”
Risa terperanjat, matanya melebar.
“b******k lo ya! Najis kenal sama lo!” teriak Sofia sambil terbanting ke lantai.
“Lo yang mau, kenapa marah-marah? Lagian gue udah kasih uang. Anggap aja gue lagi jajan,” jawab Evan santai, meneguk whisky.
Risa membekap mulutnya, shock setengah mati.
“Pulang sana! Dasar cewek murahan. Gue tau lo bukan main sama gue doang,” lanjut Evan dengan tatapan dingin.
Sofia menangis, air matanya deras, lalu mengucap sumpah.
“Gue sumpahin lo akan hancur, Evan!” Ia berlari keluar kantor dengan amarah yang membara.
Risa menunduk dalam, berbisik getir.
Gilaaa… bos gue b******n, bjir…
Tak lama, telepon di mejanya berdering. Nama yang muncul: Evan. Dengan berat hati, Risa mengangkat.
“Iya, Pak?” suaranya sopan.
“Sini.” Suara Evan singkat, dingin, tak memberi ruang.
Risa masuk ke ruangannya dengan hati-hati.
“Ada apa, Pak?” tanyanya.
“Ngikut gue ke rumah kakek,” ucap Evan langsung, berjalan keluar.
“Apa? Sekarang, Pak?” Risa terbelalak, buru-buru mengejarnya.
Evan mendadak berhenti, membuat Risa menabrak punggungnya yang kokoh.
“Aww!” Risa hampir jatuh, wajahnya merah padam.
“Jangan bilang apa-apa di sana. Bawa buku catatan, pulpen, handphone. Rekam semua.” Evan bicara tanpa menoleh.
“Oke, Pak,” jawab Risa pelan, lalu menyiapkan barang-barangnya.
Mereka turun bersama, masuk mobil hitam mewah. Risa duduk di depan bersama sopir. Sepanjang perjalanan, ia pura-pura fokus ke jalanan, padahal telinganya menangkap jelas suara Evan menerima telepon dari berbagai wanita.
“Iya… nanti malam gue sibuk,” ucap Evan ketus pada salah satunya.
Risa hanya bisa menahan helaan napas. Pantes nggak ada yang betah… bosnya beneran gila.
Sesampainya di rumah kakek Evan, Risa tertegun. Rumah itu bagai istana, dengan taman luas dan deretan mobil mewah. Ia melangkah gugup di belakang Evan.
“Oh my God…” bisiknya, jantung berdegup.
“Masuk,” perintah Evan singkat.
Risa duduk di samping Evan, menyiapkan buku dan handphone. Tak lama, seorang pria tua datang dengan tongkat, wibawanya kuat.
Risa berdiri, menunduk hormat.
“Ngapain berdiri?” tegur Evan ketus.
“Beri salam,” bisik Risa cepat.
“Nggak usah. Duduk.” Wajah Evan datar.
“Siapa dia?” tanya kakek Evan, matanya tajam ke arah Risa.
“Sekretaris baru,” jawab Evan santai.
“Ngga ada yang betah kerja sama kamu,” sindir kakek, membuat Risa ingin tersenyum tapi ditahan.
“Ya, kita lihat saja dia kuat berapa lama,” sahut Evan sambil menyeringai tipis.
Bisa senyum juga ini orang, Risa bergumam dalam hati.
Percakapan pun berlangsung panjang, kakek menasihati soal perusahaan hingga kehidupan pribadi.
“Kerja bagus. Tapi kapan kamu nikah? Jangan gonta-ganti cewek terus,” ucap kakek menohok.
“Bagian ini direkam, Pak,” celetuk Risa polos.
“Ngga perlu, bego,” sahut Evan spontan.
Risa manyun. Dih… dibilang bego.
Kakek tertawa kecil, lalu berdiri.
“Kalau mau nginap boleh. Banyak urusan di sini.”
“Ngga, ah. Pulang aja,” jawab Evan dingin.
Mereka pun keluar. Evan menuju mobilnya.
“Kamu langsung pulang saja. Udah waktunya.”
Risa melotot.
“Lah… ngga dianterin, anjir?!” pekiknya kaget. Mobil Evan melaju pergi begitu saja, meninggalkan Risa di gerbang.
“b******k! Ih… ini dimana ya?” Risa kebingungan, menatap ponselnya yang hanya tinggal 15% baterai. Ia coba pesan taksi online, tapi semuanya dibatalkan.
“Ya ampun… gimana ini?” paniknya makin menjadi.
Langit mendung pekat, lalu hujan deras turun disertai angin dan petir. Tubuh Risa basah kuyup, menggigil di depan gerbang rumah megah itu.
“Pantes ngga ada yang betah. Bosnya emang gila anjir!” makinya sambil menggerutu.
Ia mengangkat telepon dengan tangan gemetar, menghubungi Tari.
“Jauh anjir itu! Lo gimana bisa ada di sana?” suara Tari panik.
“Lama jelasin! Batre gue tinggal 15%! Cepet jemput, Tar, udah gelap banget!” teriak Risa sambil menahan tangis.
“Bentar, gue OTW! Tungguin!” Tari langsung tancap gas.
Sementara itu, hujan kian deras. Risa berdiri kaku, tubuhnya menggigil hebat.
Kenapa gue nyiksa diri gini? Keluar aja, Risa… kalau nggak sanggup… pikirnya dengan suara hati yang rapuh.