Di restoran hotel, Risa duduk di meja yang berbeda dengan Evan. Posisi kursinya membelakangi Evan, sehingga ia tidak bisa melihat jelas ekspresi bosnya itu.
Dari kejauhan terdengar suara Evan yang sedang berbicara dengan seorang wanita cantik. Suara mereka cukup jelas, membuat Risa bisa menangkap obrolan meski ia tidak berniat menguping.
Awalnya, percakapan mereka terdengar biasa—perkenalan nama dan basa-basi formal. Namun karena lapar, Risa lebih fokus menyuap makanan dengan lahap.
Perutnya sudah lama keroncongan, jadi ia tak peduli meski percakapan itu terdengar samar di telinganya.
Namun, kalimat Evan berikutnya membuat Risa langsung terbatuk tersedak.
“Berapa? Satu jam atau dua jam?” suara dingin Evan menembus telinga.
Risa buru-buru meraih gelas air putih. Dalam hati, ia mencaci-maki.
Astaga, gue kira ngomongin bisnis, ternyata tiap hari beda-beda ceweknya. Parah!
“Lima juta,” jawab wanita itu tegas.
“Lima juta? Apa nggak kemahalan?” Evan menatapnya dari ujung kaki sampai kepala, sorot matanya seperti sedang menakar harga barang dagangan.
“Jadi Tuan maunya berapa?” si wanita membalas dengan senyum penuh godaan.
“Ya, sesuai kebutuhan saja,” jawab Evan dingin tanpa ekspresi.
“Baik. Kita lihat saja nanti, pasti ketagihan,” goda wanita itu sambil merapikan rambutnya.
“Aku nggak pernah berhubungan dengan wanita yang sama,” ucap Evan santai lalu menyesap minumannya.
Risa nyaris memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Gila! Kayak gitu nggak takut kena penyakit kelamin apa?
Tiba-tiba ponsel Risa berdering. Ia melirik jam tangan, ternyata sudah lewat jam kerja. Ia pun mengangkat telepon itu.
“Halo? Ada apa lagi sih, Ren?” suara Risa ketus, nada kesalnya jelas terdengar.
“Sayang, kamu lagi apa? Jangan marah-marah terus, nanti cepet tua loh,” suara Reno di seberang terdengar lembut, berusaha menenangkan.
“Aku lagi di hotel,” jawab Risa singkat sambil memainkan gelas di tangannya.
“Di hotel?! Kamu lagi apa di hotel?!” suara Reno langsung panik.
“Abis meeting, Ren. Jangan mikir yang aneh-aneh deh,” Risa menjawab sambil menghela napas panjang.
“Oh… oke. Baru beres kerja ini, udah jam lima. Kamu pulang naik apa?” tanya Reno, suaranya terdengar khawatir.
“Kayaknya naik ojek atau taksi aja,” ucap Risa santai.
“Aku beliin mobil ya,” ujar Reno dengan lembut.
“Nggak usah, Ren. Ribet bawa mobil. Males juga,” jawab Risa cepat.
“Kamu kok selalu nolak sih kalau aku kasih sesuatu?” nada suara Reno berubah kecewa.
Risa tersenyum tipis meski matanya berkaca-kaca. “Aku nggak mau ngebebanin kamu. Lagi pula, aku kan belum jadi istri kamu.”
“Sayang, nggak apa-apa. Aku ikhlas,” jawab Reno tulus.
“Nggak, nanti aja ya. Kalau kita nikah baru aku mau terima,” ucap Risa sambil tersenyum.
“Oke, kalau gitu hati-hati pulangnya ya, sayang,” balas Reno lembut.
“Ya, makasih,” ujar Risa menutup telepon.
Tanpa ia sadari, percakapan itu terdengar jelas oleh Evan yang duduk tepat di belakangnya. Lelaki itu menyipitkan mata penuh kecurigaan.
Gila… ditawarin mobil tapi nggak mau? Fix, dia simpanan. Nggak mungkin hidupnya seenak itu.
Risa membuka ponselnya lalu mengetik pesan singkat untuk Evan.
Pak, saya boleh pulang?
Balasan cepat muncul.
Tunggu sebentar. Saya belum deal.
Risa mendengus kesal. Yee… ngapain juga saya harus di sini, dengerin orang tawar-menawar birahi kayak gini? tulisnya refleks.
Evan langsung menoleh ketika membaca pesan itu. Tatapannya menusuk, penuh kemarahan tertahan.
“Kamu barusan nulis apa?” tanyanya tajam.
Risa menatapnya balik. “Kenapa, Pak? Saya salah?”
Wanita yang duduk bersama Evan ikut menoleh, penasaran. “Siapa dia?”
“Sekretaris saya,” jawab Evan cuek sambil memainkan ponselnya.
Wanita itu terkekeh. “Cantik juga, seksi lagi. Sekretaris plus-plus kali ya?”
Risa sontak berdiri, wajahnya merah padam. Ia mendekat ke wanita itu dan berbisik tajam.
“Lima juta satu jam murah banget. Jaga bicara Anda. Saya wanita baik-baik, nggak murahan kayak Anda.”
Wanita itu melotot. “Heh! Berani kamu sama gue?!”
“Lah, lo yang mulai. Ngapain gue takut? Gue ngomong pelan karena tau attitude. Jadi jangan teriak-teriak,” balas Risa, matanya membara.
“Cari aja yang lain, saya nggak mood!” gerutu wanita itu sambil beranjak pergi.
Risa merapikan rambutnya yang sedikit berantakan lalu mendesis, “Kurang ajar!”
“Saya pulang ya, Pak,” ucap Risa ketus.
“Duduk,” perintah Evan tegas.
“Apa lagi sih?” Risa mendengus kesal, tapi tetap duduk kembali.
“Kamu main juga, kan?” ucap Evan santai sambil menyalakan rokok.
“Main apa?” tanya Risa heran.
“Parfum kamu mahal banget. Jam tangan, tas… semua branded. Nggak mungkin kalau kamu cuma pekerja biasa.” Tatapan Evan menusuk, penuh tuduhan.
“Ini dikasih, kok,” jawab Risa jujur.
“Sama siapa? Kamu simpanan, ya?” Evan menghisap rokoknya, asap putih mengepul seperti adegan mafia dalam film.
“Bapak ngaco! Omongan Bapak sama aja kayak cewek tadi,” balas Risa dengan nada kesal.
Evan mendengus, matanya tajam. “Nggak mau tau. Kamu harus gantiin wanita tadi.”
“Apa?!” Risa melotot kaget. “No! Nggak mau! Najis! Oh my God…”
Ia buru-buru meraih tasnya. “Aku pulang dulu!”
Evan hanya terdiam, matanya mengikuti langkah Risa yang tergesa pergi dengan wajah pucat.
“Munafik,” gumam Evan dingin, sembari memainkan asap rokok yang melayang di udara.