Di dalam taksi, Risa terus menggerutu sambil menatap keluar jendela.
"Sial! Dia pikir gue cewek apaan? Gila dasar! Kesel banget!" makinya sambil menghentakkan kaki ke lantai mobil.
Sopir taksi sempat melirik lewat kaca spion, sedikit kaget dengan kelakuan penumpangnya.
"Maaf ya, Pak, lagi kesel," ucap Risa cepat-cepat, merasa tidak enak hati.
"Ah, nggak apa-apa, Neng. Biasa, orang muda memang banyak pikiran," jawab sopir itu dengan nada sabar.
Setibanya di apartemen, Risa langsung menceritakan semua kejadian kepada Tari. Wajahnya masih kesal, tangannya sibuk memainkan rambut seakan ingin melampiaskan emosi.
"Serius lo? Dia bilang gitu?!" Tari terbelalak, jelas kaget.
"Lah iya! Gue pikir ya, sering janjian di hotel sama cewek itu klien. Eh ternyata... sama l***e!" ucap Risa sambil terkekeh kesal, berusaha menertawakan nasibnya sendiri.
Tari memperhatikan Risa dari atas sampai bawah. "Kalau dipikir-pikir, lo emang kayak ani-ani, Sa.
Barang-barang lo brand semua, make up lo mahal, rambut lo bagus banget, kulit lo juga lembut-perawatan mulu kayaknya."
"Dih, apaan sih lo!" Risa melempar bantal kecil ke arah Tari. "Pacar gue kaya, bego! Gue bukan ani-ani!" ucapnya sambil tertawa kecil.
Tari mengangkat alis, pura-pura menggoda. "Serius pacar lo? Bukannya mantan ya? Nggak nyesel gitu kalau diambil orang?"
"Nggak mau ah! Gue masih cinta sama Reno. Jangan sampai dia diambil orang," jawab Risa pelan sambil memeluk ponselnya erat-erat, seolah benda itu adalah Reno sendiri.
"Idih... nggak mau diambil orang, tapi kalau nelpon ketus mulu!" goda Tari sambil tertawa.
Risa cemberut. "Kesel! Dia tuh harusnya dateng kasih kejutan gitu, bukannya malah cuek! Nggak peka anjir."
Tari menghela napas panjang. "Kalau gue punya nomor Reno, udah gue kasih tau tuh semua isi hati lo. Biar nggak uring-uringan mulu."
"Jangan, ih!" Risa langsung mendelik. "Nanti kayak di sinetron-sinetron, lo malah ngerebut pacar sahabat!"
"Anjir, gue udah punya pacar ya! Walau jauh, gue nggak mungkin suka sama pacar sahabat sendiri. Gila lo!" bentak Tari sambil ikut melotot.
"Ogah! Reno nggak punya nomor cewek, kok!" Risa menjawab sambil mendengus.
"Bodo amat," jawab Tari sambil mencibir.
Usai perdebatan kecil itu, keduanya akhirnya masuk ke kamar masing-masing.
Keesokan harinya, di kantor, Risa tampil rapi dengan kemeja biru elektrik ketat yang membentuk tubuhnya dan rok span yang elegan.
Rambut cokelatnya diikat rapi ke belakang. Parfum mahal pemberian Reno kembali menyelimuti tubuhnya, kali ini dengan aroma yang berbeda.
Jam tangan yang ia kenakan pun berbeda dari kemarin, karena kritikan Evan masih membekas di kepalanya. Namun tetap saja, barang-barang itu mahal-semua dari Reno.
Saat Evan masuk, ia hanya melirik Risa sebentar lalu berjalan masuk ke ruangannya. Risa pun segera menyusul.
"Pagi, Pak Evan," ucap Risa dengan lembut, suaranya terdengar sopan meski agak canggung.
"Pagi," jawab Evan singkat, bahkan tanpa menoleh.
Risa mulai membacakan jadwal hari itu, namun Evan tidak fokus.
Hidungnya menangkap aroma parfum yang begitu menyengat-parfum mahal, yang entah bagaimana selalu melekat di tubuh sekretarisnya itu.
Pandangannya menelusuri Risa dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Semua yang dikenakan gadis itu mahal, meski selalu berganti-ganti.
"Itu, Pak, jadwalnya," ucap Risa sambil menatap Evan.
"Ya? Saya nggak denger," jawab Evan dingin.
Risa menarik napas panjang lalu mengulang kembali agenda hari itu.
"Ok. Kita survey lokasi. Kamu ikut," ucap Evan datar sambil menyesap kopinya.
"Baik, Pak," jawab Risa sambil keluar ruangan.
Dari balik pintu kaca, Evan memperhatikan tubuh Risa yang melenggang keluar.
Tatapannya tajam, penuh prasangka. Nggak mungkin pacarnya cowok biasa. Dia pasti simpanan, atau memang main dengan tarif mahal.
Sesaat kemudian, Risa kembali masuk. "Pak, ada Bu Lusi di luar."
"Bilang saya sibuk," jawab Evan ketus.
"Baik, Pak," Risa berbalik ke pintu dan menyampaikan pesan itu. "Maaf, Bu, Bapak sibuk hari ini."
"Ngga bisa! Saya harus ketemu dia!" bentak Lusi, suaranya keras membuat beberapa orang melirik.
"Kalau ada masalah, nanti saya sampaikan," ucap Risa lembut, mencoba menenangkan.
"Saya masuk saja!" ujar Lusi lantang, langsung menerobos masuk menemui Evan.
Risa terpaksa menghela napas panjang dan ikut masuk ke dalam ruangan.
"Kenapa lo nggak mau temui gue?" tanya Lusi, matanya berkaca-kaca, nadanya penuh kesal.
"Siapa juga kamu? Nggak penting," jawab Evan dingin tanpa ekspresi.
"Gue hamil anak lo!" teriak Lusi sambil menangis.
"Ngga mungkin. Gue selalu pake pengaman," jawab Evan datar, bahkan tak ada keterkejutan di wajahnya.
Lusi mendidih. "Lo nuduh gue sama siapa?!" suaranya bergetar menahan emosi.
Risa yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menatap, merasa kasihan.
"Kalau nggak mau... ya aborsi aja.
Gampang." Evan menyesap kopi dengan tenang, seakan masalah itu hanyalah angin lalu.
"b******k lo!" Lusi langsung menampar Evan dengan keras, membuat kopi yang ia minum tumpah ke bajunya.
Refleks, Evan bangkit dan membalas dengan tamparan lebih keras hingga Lusi terbanting ke lantai.
"Lo berani sama gue?!" bentaknya garang.
"Ya ampun..." Risa menutup mulutnya dengan tangan, kaget bukan main melihat drama pagi itu.
Lusi berusaha bangkit, namun tubuhnya lemah. Risa buru-buru membantu, tapi Lusi malah menepis tangan Risa.
"Jangan bantu gue! Jangan-jangan lo yang jadi sasaran barunya!" tuduh Lusi dengan tatapan penuh kebencian. Matanya meneliti tubuh Risa dari atas sampai bawah.
"Ngga, kok. Saya cuma kerja di sini," jawab Risa panik, suaranya gemetar.
"Akh! Kalian sama aja! b******k!" Lusi berteriak lalu pergi dengan langkah tergesa.
Ruangan itu hening, hanya tersisa aroma kopi yang tumpah dan hawa dingin dari tatapan Evan.