Sakit

842 Words
Tari bergegas membawa Risa ke rumah sakit dengan wajah panik. Ia terus melirik sahabatnya yang terkulai lemah di kursi penumpang. “Duh, Ris… lo tuh ya, nunda makan mulu. Pasti gara-gara ini lo pingsan!” ucap Tari khawatir sambil menahan tangis. Sesampainya di rumah sakit, Risa segera ditangani. Ponselnya berdering berkali-kali. Tari meraihnya, melihat nama Reno di layar. Ia langsung mengangkat. “Halo,” ucap Tari cepat. “Sa… kamu di mana?” suara Reno terdengar panik dari seberang. “Ini gue, Tari. Risa lagi di rumah sakit, Ren,” jawab Tari dengan napas terengah. “Apa? Rumah sakit?! Rumah sakit mana?!” suara Reno meninggi, terdengar jelas kepanikannya. “Tadi dia udah sempat makan belum?” Tari menggeleng, meski Reno tak bisa melihat. “Kayaknya belum deh… makanya dia pingsan.” Ia duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Risa. “Gue ke sana sekarang. Gue udah di tol!” sahut Reno buru-buru, lalu menutup telepon. Beberapa puluh menit kemudian, Reno masuk ke ruang perawatan sambil membawa tas berisi makanan. Wajahnya pucat, keringat bercucuran karena buru-buru. Ia langsung menghampiri Tari. “Gimana keadaannya?” tanya Reno, suaranya bergetar. “Belum sadar juga,” jawab Tari pelan sambil berdiri, memberi tempat untuk Reno. Reno mendekat, menggenggam tangan Risa erat-erat. Dengan suara penuh kelembutan, ia membisikkan, “Sayang… aku datang. Bangun ya, jangan bikin aku khawatir.” Kelopak mata Risa perlahan bergetar, lalu terbuka. Ia menatap Reno dengan mata berkaca-kaca. “Renoo…” ucapnya manja, suaranya parau. Reno langsung memeluknya erat, menahan air mata. “Aku di sini, Sayang…” “Hmm, akhirnya…” gumam Tari sambil tersenyum lega, menyaksikan momen itu. Reno melepaskan pelukan, lalu mengusap pipi Risa. “Sekarang makan, ya. Aku bawa makanan buat kamu.” Risa mengangguk lemah. Reno pun menyuapinya perlahan. Namun, sambil menyuap, bibirnya tak berhenti mengomel. “Kok bisa sih kamu kerja di tempat kayak gitu? Aku bilang jangan kerja. Sayang, uang dari aku kurang? Aku kasih kamu tiap bulan dua puluh juta, loh. Kurang? Kamu mau apa lagi? Kamu capek-capek kerja, gajinya apa sesuai sama kerjaannya? Bos kamu juga…” kata-katanya mengalir tanpa jeda, penuh emosi. “Udah, ih, Ren! Jangan marah-marah dulu. Aku tuh lagi pusing, kamu malah ngomel. Kesel, tahu nggak!” Risa merengek, cemberut dengan wajah kesal. Reno menghela napas berat, lalu melembut. “Bukan gitu, Sayang. Aku cuma nggak tega liat kamu capek. Udah capek, nggak bisa makan pula. Kerjaan macam apa itu? Bos kayak gitu ada-ada aja. “Udah atuh, ih. Jangan ngomel mulu. Reno mah gitu… aku nggak suka,” ucap Risa manja sambil manyun. “Iya, iya… aku diem. Nih, makan lagi ya,” sahut Reno, kembali menyuapinya dengan sabar. Tari yang duduk di pojok ruangan hanya terkekeh melihat tingkah mereka. “Tari nggak pulang?” tanya Risa sambil melirik. “Bentar lagi. Gue liatin lo dulu, seru banget soalnya,” jawab Tari sambil tertawa kecil. “Ih, malah gitu!” Risa mencemberut lagi. Tari menyenggol Reno. “Dia tuh nangis mulu loh, tiap malam. Manggil-manggil nama lo, Ren.” “Masa, Sayang? Kamu nangis?” Reno menatap Risa, matanya melembut. “Reno-nya jahat. Kesel,” jawab Risa dengan nada manja. “Aku nggak jahat, Sayang. Maaf ya…” ucap Reno sambil mencium punggung tangannya. Tari kembali menggoda. “Lo tuh nggak peka, Ren. Dia pengen lo dateng bawa bunga gede, kayak film-film Turki gitu.” Reno terkejut, lalu terkekeh. “Oh gitu? Ya ampun… nanti aku beliin, Sayang.” “Nggak mau! Jangan bilang gitu. Namanya juga surprise, harusnya inget sendiri. Jangan disuruh. Ih, kesel!” Risa kembali manyun. “Iya, iya… nanti aku bikin kejutan beneran, janji,” jawab Reno sambil menyuapinya suapan terakhir. Setelah selesai makan, Risa menatap Tari. “Tar, tolong ya besok minta surat dokter, kasih ke HRD aku.” “Siap, Boss,” jawab Tari sambil tersenyum, lalu pamit pulang. Kini tinggal Reno dan Risa berdua. Reno menatap Risa dengan lembut, lalu meraih sesuatu dari saku jasnya. Ia menggenggam tangan Risa dan menyematkan sebuah cincin di jari manisnya. “Apa ini?” tanya Risa heran, menatap cincin perak yang berkilau. “Kita nikah, ya,” ucap Reno tulus sambil tersenyum. Risa memutar cincin itu, lalu cemberut. “Nggak mau gini ah.” Reno terkejut. “Terus gimana?” “Aku maunya romantis,” ucap Risa manja, memalingkan wajah. “Oh… ok, maaf ya. Aku nggak ngerti,” sahut Reno sambil tersenyum kikuk, lalu menarik kembali cincinnya. Tak lama, dokter masuk memeriksa kondisi Risa. Suster pun memberi obat hingga Risa merasa mengantuk. “Mau bobo, Ren…” bisiknya lemah. “Iya, boboin aja, Sayang,” jawab Reno sambil mengelus rambutnya lembut. Risa menepuk kasur di sebelahnya. “Mau bobo sama kamu di sini.” Reno melirik ranjang sempit itu. “Uh, sempit, Sayang…” “Nggak apa-apa. Aku mau dipeluk kamu,” ucap Risa manja. Reno tersenyum, lalu menaiki ranjang itu dan memeluk Risa dari samping. Ia mengecup keningnya lembut. “Selamat tidur, Sayang.” Dengan senyum kecil di bibir, Risa memejamkan mata, merasa aman dalam pelukan Reno. Mereka pun tertidur bersama malam itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD