Keesokan harinya, Risa terbangun dengan tubuh terasa pegal karena tidak bisa tidur bebas. Ia menggeliat manja, lalu menatap Reno yang sedang bersiap di sisi ranjang.
"Mau pulang..." rengeknya manja sambil menyembunyikan wajah di bantal.
"Iya, paling siang ya," jawab Reno sambil tersenyum lembut, mencoba menenangkan.
"Kamu tidur di apartemen ya?" Risa menatap Reno dengan penuh harap.
Reno tertawa kecil, lalu menggeleng. "Malu, ah, sama Tari," katanya, masih menatap wajah Risa.
"Kan nemenin aku..." Risa cemberut. "Kalau di hotel aku nggak mau. Nanti kamu suka pergi main."
"Iya, iya, kalau gitu oke." Reno akhirnya mengalah, tersenyum pasrah melihat tingkah manja Risa.
Sementara itu, di kantor, suasana berjalan seperti biasa. Evan datang dengan raut wajah datar, matanya melirik ke kiri dan kanan, mencari sosok Risa. Namun, meja Risa kosong.
Dengan langkah tenang, ia masuk ke ruang kerjanya.
Beberapa menit berlalu, Risa tak juga muncul. Justru Tari yang datang membawa sebuah buku agenda.
"Pagi, Pak. Saya disuruh Bu Risa ke kantor Bapak untuk memberikan agenda hari ini," ucap Tari sopan sambil menyerahkan buku itu.
Alis Evan sedikit berkerut. "Kemana Risa?" tanyanya dingin.
"Bu Risa sakit, Pak," jawab Tari pelan.
"Sakit apa?" nada Evan masih datar, tapi matanya menatap tajam.
"Maag-nya kambuh lagi, Pak.
Kemarin telat makan, terus pingsan di kantor notaris. Jadi dibawa ke rumah sakit." Tari menunduk, terlihat gugup.
"Apa? Risa kemarin pingsan?" Evan akhirnya menunjukkan ekspresi terkejut.
"Iya, Pak. Saya yang bawa dia," jawab Tari dengan senyum kecil.
"Ya sudah, kamu boleh kembali," ucap Evan, kembali menunduk pada agenda.
Namun dalam hati, ia bertanya-tanya. Padahal bisa chat langsung, kenapa malah kirim orang? gumamnya heran.
Hari itu, Evan pun menjalani rutinitas dengan wajah murung.
Siangnya, Risa pulang ke apartemen Tari. Begitu masuk, ia langsung berkata, "Aku mau mandi dulu, ya," sambil melangkah ke kamar mandi.
Sementara itu, Reno berjalan ke balkon yang belum sempat dibuka. Ia menarik tirai, membiarkan cahaya sore masuk. "Nyaman juga di sini.
Pantes dia betah," gumamnya sambil tersenyum kecil.
Usai mandi, Risa dan Reno makan bersama. Suasana terasa hangat, penuh dengan gurau manja.
"Mau disuapin." ucap Risa dengan manja.
"Iya. Kapan sih aku nggak nyuapin kamu? Kalau nanti kita punya anak, kamu masih mau manja gini juga?" Reno terkekeh geli sambil mengambil sendok.
"Makanya aku belum mau punya anak. Nanti kamu manjain anak kita, terus nggak manjain aku lagi," jawab Risa sambil cemberut.
"Ya nggak lah. Aku akan terus manjain kamu sampai kapan pun, sayang." Reno menatapnya lembut.
"Bohong!" Risa pura-pura merajuk.
"Beneran, sayang." Reno pun menyuapkan makanan ke mulut Risa, membuat gadis itu tersenyum bahagia.
Usai makan, mereka duduk bersama di sofa sambil menonton TV. Risa bersandar di bahu Reno, sementara Reno memeluknya erat dari samping.
"Gimana kerjaan?" tanya Risa, jemarinya mengusap bekas luka di tangan Reno.
"Kacau, sayang. Aku nggak fokus," ucap Reno jujur sambil mengelus rambut Risa.
"Kok bisa? Cewek itu kenapa bisa suka sama kamu? Kamu-nya kasih harapan, kali?" Risa mendesak penasaran.
"Nggak, sayang. Aku tuh perlakukan semua karyawan sama aja. Layaknya bos ke karyawan. Bahkan aku jarang ngobrol sama karyawan cewek.
Kalau nyuruh pun lewat karyawan cowok dulu, baru mereka yang bilang ke karyawan cewek." Reno menjawab serius.
"Terus kenapa dia bisa suka ke kamu?" Risa semakin kesal.
"Ya aku juga nggak tahu. Yang punya hati kan dia." Reno berusaha santai.
Risa bangkit dari pelukan Reno, menatapnya dengan manja.
"Kamu-nya terlalu ganteng!"
Reno terkekeh, lalu menarik wajah Risa. "Udah, ah. Jangan bahas itu lagi. Aku kangen kamu." Bibirnya pun mendarat lembut di bibir Risa.
Risa membalas dengan tangan melingkari tengkuk Reno, seolah tak mau melepaskannya.
Ciuman mereka makin dalam. Reno menurunkan kecupan ke leher Risa, membuat gadis itu mendesah kecil. Tak kuasa menahan, Reno akhirnya menggendong Risa menuju kamar.
Baju mereka melayang satu per satu. Siang itu, mereka larut dalam hubungan intim, melepas rindu dengan sepenuh hati.
Sementara itu, di kantor, Evan merasa keteteran tanpa kehadiran Risa. Ia menatap agenda kerja yang menumpuk.
"Anak itu memang cerdas dan berguna..." gumamnya lirih. "Gimana ini? Gue nggak fokus lagi," keluhnya kesal.
Akhirnya, Evan membatalkan beberapa jadwal karena pikirannya kacau.
Malam harinya, Risa, Reno, dan Tari makan bersama di meja apartemen.
"Wih, makan banyak ini mah," ucap Tari sambil terkekeh.
"Makan, mumpung ada," sahut Reno dengan senyum puas.
"Kamu mau main, ya?" Risa menatap Reno sambil mengambil makanan.
"Iya, ketemu teman. Ikut, yuk." Reno mengunyah santai.
"Ogah. Aku baru sembuh." Risa langsung menolak.
"Kamu tuh nggak pernah mau kalau aku ajak ketemu teman-temanku," Reno pura-pura marah.
"Bukan gitu. Kalau di Jakarta, aku sibuk. Sekarang aku baru aja sakit. Sayang, aku belum bisa pergi ke tempat gituan. Kalau aku mabuk terus sakit aku kambuh lagi, kamu juga yang repot." Risa membalas tak mau kalah.
"Iya, udah, nggak apa-apa," jawab Reno dengan senyum mengalah.
Tari hanya melongo melihat pasangan itu berdebat sambil makan, sekaligus kagum dengan kedekatan mereka.
Usai makan, Reno bersiap pergi ke club menemui teman-temannya. Ia mendekati Risa, lalu mengecup keningnya. "Aku pergi dulu, ya, sayang."
"Hati-hati," jawab Risa sambil tersenyum.
Setelah Reno pergi, Risa dan Tari duduk bersama di ruang tamu.
"Tahu nggak lo? Tadi gue bilang sama si Evan kalau lo sakit. Dia nggak peduli sama sekali. Anjing banget ya itu orang," ucap Tari kesal.
"Parah emang," jawab Risa santai sambil ngemil.
"Kok ada orang kayak gitu, ya?" Tari geleng-geleng.
"Ya ada lah. Dia orangnya bos gila," Risa ikut kesal.
Mereka pun lanjut ngobrol sambil tertawa, membicarakan pasangan masing-masing. Malam semakin larut, dan akhirnya mereka masuk ke kamar masing-masing untuk tidur.