Pukul satu dini hari, Risa terbangun. Ia meraih sisi ranjang, namun kosong. Reno belum juga pulang.
Dengan rasa cemas, ia mengambil ponsel dan menekan nomor Reno.
“Halo,” suara Reno terdengar samar di antara kebisingan musik club.
“Sayang, pulang jam berapa?” tanya Risa lembut, suaranya masih serak karena baru bangun.
“Baru ketemu sama teman-teman aku, sayang. Mereka baru kumpul lengkap tadi, belum sempat ngobrol semua,” jawab Reno sambil tersenyum meski Risa tak bisa melihatnya.
“Ya sudah, kalau pulang telepon aja, ya. Takutnya aku nggak dengar kamu ngetuk pintu.” Risa berkata penuh perhatian.
“Iya, sayang. Nanti aku kabari,” ucap Reno singkat tapi manis.
“Bye…” Risa menutup telepon dengan helaan napas lega.
Di meja club, beberapa gelas minuman berserakan.
Musik berdentum kencang, lampu warna-warni berputar.
Reno meletakkan ponsel, lalu meneguk minumannya.
“Siapa tadi?” tanya David sambil meneguk minuman kerasnya.
“Pacar gue lah, siapa lagi,” jawab Reno dengan nada bangga.
“Ajak dong, kali-kali,” sahut Randi sambil terkekeh.
“Dia lagi sakit, jadi nggak bisa ikut.” Reno tersenyum kecil.
“Oh gitu. Kapan nikah? Kalian kan udah lama pacaran,” David melanjutkan, matanya menyipit penasaran.
“Segera. Tunggu aja undangannya,” Reno tertawa kecil.
“Weh, teman kita bentar lagi sold out!” Randi ikut tertawa keras.
David melirik Evan yang sedari tadi hanya diam. “Lo kapan, Van? Dari tadi diem aja.” Ia menepuk bahu Evan.
“Belum punya calon gue,” jawab Evan datar sambil meneguk minumannya.
“Cari dong! Lo bos besar, masa nggak ada yang mau?” Randi menimpali sambil mengunyah kacang.
“Belum ada yang bikin gue tertarik,” sahut Evan singkat. Ia menyalakan rokok, asapnya mengepul ke udara.
Reno mendengus geli sambil menatap ponselnya. “Eh, gimana sih caranya ngelamar romantis? Ajarin dong.”
“Si anjir! Masa gitu aja nggak tau?” Randi ngakak keras.
“Kagak, makanya gue nanya,” Reno terkekeh sambil mengangkat bahu.
Randi pura-pura serius. “Gini, lo bawa cewek lo ke restoran mahal.
Pesan makanan enak. Kasih bucket bunga yang cantik dan wangi. Setelah makan, kasih cincin sambil bilang, ‘Will you marry me?’. Gitu doang masa nggak bisa?”
“Oh, oke-oke. Gue bakal coba,” Reno manggut-manggut sambil tertawa.
Meja pun pecah dengan tawa, kecuali Evan yang hanya tersenyum samar.
Reno menoleh curiga. “Lo kenapa, bro? Dari tadi ngelamun.”
“Enggak. Gue lagi ngerasa aneh sama satu cewek. Dia cantik banget… kayaknya gue suka sama dia,” jawab Evan, suaranya lebih pelan dari biasanya.
“Ajak aja dia. Lo kan biasa booking cewek. Masa gitu aja nggak bisa?” David menepuk bahu Evan sambil terkekeh.
“Enggak. Dia beda.” Evan menghembuskan asap rokoknya perlahan, matanya menerawang.
“Deketin aja dulu. Jangan main asal ngajak tidur. Cewek baik-baik tuh biasanya jaga diri,” nasihat Reno sambil menepuk bahu Evan dengan tenang.
“Gimana caranya deketin cewek kayak gitu?” Evan bertanya serius, kali ini menatap Reno.
“Si bego, gitu aja nggak tau!” Randi ngakak lagi.
Reno menjelaskan dengan nada sok tahu. “Pertama-tama, lo harus perhatian sama dia. Eh, tapi nomor satu, pastiin dulu dia single atau udah nikah. Kalau udah nikah, jangan lo rebut bini orang, bro.”
“Dia single kok,” jawab Evan sambil tersenyum tipis.
“Ya udah. Ya gitu, lo perhatian, bikin dia nyaman. Tanya udah makan belum. Kalau belum, kirimin makanan. Ajak makan bareng.
Chat dia lagi apa. Itu aja.
Gue ke pacar gue juga gitu.
Dan yang pasti, gue kasih uang bulanan buat shopping,” Reno berkata penuh kebanggaan.
“Lo udah kayak ngebiayain istri lo, ya,” David menimpali sambil terkekeh.
“Iya dong. Dia kasih gue nyaman. Makanya gue ogah lihat cewek lain.
Cewek gue cantik banget, nggak ada noda sama sekali,” Reno membalas dengan bangga.
“Gila lo. Udah kayak suami istri. Cepetan nikah, lah,” Randi cengengesan.
“Dia yang nggak mau diajak nikah dari dulu. Susah banget. Gue udah lamar berkali-kali. Baru kemarin dia bilang, jangan gini lamarannya, mau yang romantis,” Reno menyalakan rokoknya lagi.
“Lah, itu mah lo yang bego! Coba dari dulu lamar romantis, udah kelar tuh.
Udah nikah kalian sekarang,” David terkekeh sambil geleng kepala.
“Oh gitu…” Reno baru menyadari.
“Ah, parah lu,” Randi menambahkan sambil tertawa keras.
Evan hanya tersenyum tipis mendengar obrolan itu. Namun, dalam hatinya ia bertekad kuat: Aku akan dapatkan hati Risa.
Mereka pun terus bercengkerama hingga pukul tiga pagi.
Saat Reno tiba di depan pintu apartemen, ia menelpon Risa.
Gadis itu langsung membukakan pintu dengan wajah lega, lalu memeluknya erat-erat.
“Kenapa?” Reno mengernyit heran.
“Takut… bau cewek,” gumam Risa sambil mengendus bajunya.
“Idih, curigaan mulu,” Reno tergelak, lalu menggendongnya pelan masuk ke dalam.
Malam itu, mereka pun berbaring kembali di ranjang.
Risa menyandarkan kepala di d**a Reno, sementara pria itu mengusap punggungnya lembut. Akhirnya, mereka pun terlelap bersama hingga fajar menjelang.