Chapter 2

2157 Words
“Ray?” Dewi muncul dari balik pintu kamar tamu yang kini ditempati Ray. Kamar yang semula milik Ray diubah menjadi kamar tamu saat Ray memutuskan untuk menetap di Surabaya dengan pekerjaannya sekarang. Tapi, selama Ray kembali ke Jakarta, Ray selalu menempati kamar tamu yang bersebelahan dengan kamar Riri dan Aira sekarang. “Kenapa, Ma?” Ray yang baru saja selesai mandi dan ingin merebahkan diri pun terkejut dengan kehadiran Mamanya yang kini masuk ke dalam kamar sambil senyum-senyum tak jelas. “Aneh nih Mama. Senyum-senyum mulu.” celetuk Ray sambil duduk di ujung ranjang. Dewi mendekati Ray dan duduk di salah satu kursi dekat dengan televisi. “Ray, kamu ngga mau kenalin ke Mama calon istri kamu gitu? Atau pacar?” Ray langsung memutar bola matanya dan menghempaskan nafasnya dengan kasar. Lagi-lagi pertanyaan sensitif yang membuatnya enggan pulang ke Jakarta sering-sering. Pertanyaan yang dilontarkan Mamanya tak jauh dari urusan percintaan yang membuat Ray jadi teringat akan masalahnya. “Ray males ah kalo Mama nanyanya gituan terus.” Ray langsung merebahkan dirinya di atas tempat tidur smbil mengecek ponselnya yang sedari tadi ramai akan notifikasi. “Ya…aneh aja. Ngga ada satu pun perempuan yang kamu kenalin atau bawa ke rumah.” ucap Mamanya dengan nada kecewa. Ray jadi ragu untuk bicara jujur tentang apa yang terjadi padanya belakangan ini. “Masa kamu ngga punya pacar, Ray?” Dewi masih berusaha menyelidiki. Ray menoleh kearah Mamanya. Daripada terus disudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin aneh-aneh dari orangtuanya, lebih baik Ray mengaku saja. “Punya, Ma.” ucap Ray akhirnya. Wajah Dewi langsung berbinar seketika. “Tuh kan. Mama bilang juga apa. Pasti punya! Papa kamu ngga percayaan sama Mama.” sahut Dewi bersemangat. “Dulu. Sekarang udah putus.” lanjut Ray mengklarifikasi. Binar di wajah Dewi langsung seketika lenyap, tergantikan dengan wajah penasaran. “Loh, kenapa putus? Belum sempet dikenalin ke rumah.” Ray bangun dari tidurnya dan menatap Mamanya. Inilah yang tak Ray inginkan. Membuat keluarganya kecewa. “Niatnya, Ray mau kenalin ke Mama dan keluarga sekarang. Tapi nyatanya, mungkin kita ngga berjodoh.” jawab Ray berusaha santai. Padahal dalam hatinya, Ray masih merasa sakit hati atas apa yang dialaminya. Diselingkuhi setelah melamar beberapa hari. Padahal Ray pikir, Ray adalah laki-laki paling beruntung yang berhasil mendapatkan anggukan perempuan itu begitu Ray melamarnya. “Ray…lagi patah hati?” tanya Dewi lagi. Ray tersenyum kecil sambil terkekeh pelan. Mamanya terlihat khawatir begitu Ray mengatakan jika dirinya dan mantan pacarnya memutuskan menyudahi hubungan mereka karena merasa tak berjodoh. “Iya.” jawab Ray jujur. “Peluk Mama sini.” Dewi merentangkan kedua tangannya. “Ngga ah. Udah gede. Malu. Masa putus cinta aja harus sedih-sedih. Nggak jaman, Ma.” tolak Ray. Dewi hanya tersenyum kecil. Ray memang pandai menutupi rasa sedihnya. Apalagi setelah ditinggal Arka. Ray merasa harus lebih kuat dan tegar dalam menghadapi cobaan di hidupnya dan tak boleh terlihat lemah di depan keluarganya. Ray adalah tulang punggung keluarganya kini. Menggantikan Arka yang sudah tiada. “Mama yakin, anak Mama pasti dapet pengganti yang terbaik.” Rayhan hanya tersenyum miris dan berharap jika setidaknya rasa sakitnya akan tergantikan dengan rasa bahagia nantinya. Putus satu tumbuh seribu. ** Riri menatap layar laptopnya dengan tatapan serius. Tengah malam begini, hanya waktu yang bisa Riri dapatkan untuk mencari lowongan pekerjaan karena pagi sampai malam ia harus menjaga Aira. Kebetulan Aira sudah tertidur, jadi lah Riri bisa memiliki waktu luang untuk dirinya sendiri. “Cook helper….” gumam Riri pelan sambil membaca ketentuan lowongan pekerjaan di salah satu website. “Lagi ngapain, Ri?” Suara berat Ray mengejutkan Riri yang sedang serius membaca. Riri menoleh dan menatap Ray yang kini duduk di kursi yang bersebelahan dengannya sambil membawa secangkir kopi dari dapur. Kini mereka berdua tengah berada di ruang makan. “Nyari kerja, Ray.” jawab Riri sambil tersenyum miris. Sejak Arka meninggal, Riri benar-benar menumpang hidup di keluarga Arka tanpa bekerja sedikitpun. Memang sih, harta yang ditinggalkan Arka cukup untuk membiayai kehidupannya dengan Aira. Tapi Riri juga merasa tak enak karena bagaimanapun, keluarga Arka sudah sangat baik pada Riri yang tak punya siapa-siapa ini. Keluarga Arka bahkan menekankan jika sampai kapanpun, Riri akan tetap menjadi bagian keluarga mereka walau Arka sudah tiada. Ray menatap layar laptop yang kini menyala. “Mau ngelamar jadi cook helper?” tanya Ray pada Riri. Riri mengangguk pelan. “Yakin? Berat loh kerja fisik itu, Ri. Kamu kan lulusan S1 Ilmu Komunikasi. Ngga coba pekerjaan lain yang lebih cocok ke jurusan kuliah kamu?” Riri tertawa pelan. “Aku janda, Ray. Udah punya anak. Umur juga udah mau 27. Susah. Kebanyakan perusahaan cari yang udah berpengalaman dan fresh graduates. Sedangkan pengalaman aku kerja cuma 1 tahun sebagai marketing. Kamu kan tau, setelah itu Mas Arka melamar aku dan kita nikah terus aku ngga kerja lagi.” “Ya…ngga perlu underestimate diri sendiri gitu, Ri.” balas Ray. Ray masih ingat ketika dirinya terkejut saat Arka mengenalkan Riri pada keluarganya. Saat itu, memang Ray dan Riri sudah saling mengenal karena sempat berada di organisasi OSIS pada masa SMA dulu. Jadi lah, Ray terkejut karena ternyata Arka menikahi temannya semasa SMA. “Beberapa persyaratannya sih pasti cantumin belum menikah. Lah, aku udah ada buntut 1.” Riri terkekeh pelan. Hati Ray jadi semakin merasa iba. Melihat Riri dan Aira yang harus berjuang hidup tanpa Arka di sisi mereka. Riri yang kala itu rela meninggalkan karir demi Arka, harus menelan kenyataan pahit karena Arka ternyata pergi lebih dulu. Dan kini, Riri harus berjuang sendirian. “Emangnya kenapa mau cari kerja, Ri? Bukannya Mas Arka siapin tabungan khusus buat Aira?” “Iya. Tabungan itu memang udah disiapin Mas Arka buat Aira. Aku cuma mau lebih mandiri aja karena ngga mau repotin Mama dan Papa terus yang selama ini biayain hidup aku dan Aira. Rasanya, ngga enak Ray.” “Tapi kamu kan keluarga kita. Kenapa harus ngga enak?” Ucapan Ray tadi membuat Riri tersentuh. Ray memang sosok laki-laki pendiam yang jarang berbicara. Sejak menjadi ipar pun, Ray jarang bicara se-serius ini dengan Riri. Baru kali ini, Ray bicara serius dan memberikan pendapatnya tentang hidup Riri. “Tapi…aku udah bukan siapa-siapa lagi di keluarga ini. Aku cuma mantan istri Mas Arka.” Riri tersenyum kecil sambil menunduk. “Gausah ngomong gitu lah, Ri. Mama sama Papa pasti sedih kalo kamu ngga anggep mereka keluarga.” “Maaf, Ray. Aku baperan ya?” “Wajar. Cewek.” Riri dan Ray tertawa bersama. “Aku coba tanya ke temen-temen aku yang mungkin di kantornya ada lowongan. Nanti aku kabarin.” ucap Ray kemudian. “Serius, Ray?” Kedua mata Riri berbinar setelah mendengar ucapan Ray. Ray mengangguk pasti. “Tapi sementara itu, jangan mikir aneh-aneh sampe mikir kalo kehadiran kamu dan Aira disini ngerepotin Mama dan Papa.” ujar Ray. Riri jadi merasa makin tidak enak karena keluarga Arka terlalu banyak membantu hidupnya. “Aku tinggal ya.” Ray menepuk pelan bahu Riri sambil berjalan ke kamarnya. Riri jadi merindukan Arka. ** “Aira cantik, kok nangis terus sih kalo digendong sama Aunty Nana?” ujar Trina saat tengah menjaga Aira sementara Riri tengah memasak di dapur. Siang ini, cuaca terasa sejuk karena hujan pagi tadi. Matahari juga tak terlalu menampakkan diri. Trina menggendong Aira yang masih menangis kencang. Padahal Trina sudah mencoba memberi s**u yang sudah Riri siapkan di botol serta mainan yang biasanya bisa membuat Aira tertawa. Tapi nihil, Aira masih menangis. “Aira…nanti Aunty Nana sedih kalo kamu nangis terus…” ucap Trina sambil mengelus pelan kepala Aira, berharap Aira segera meredakan tangisnya. “Aira kenapa, Na? Nangisnya kedengeran sampe kamar Mas.” Ray muncul lalu menatap Aira yang tengah menangis di gendongan Trina. “Ngga tau nih, Mas. Sama Nana dikasih s**u udah, dikasih mainan udah tapi tetep nangis.” jawab Trina setengah frustasi. “Riri kemana?” “Lagi masak di dapur. Ini Mas Ray rapi banget mau kemana?” Trina menatap Ray yang sudah rapi dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Mau ketemu klien. Mas ada project penting.” sahut Ray. Trina hanya ber-oh ria. “Coba Mas Ray gantian gendong Aira.” pinta Ray sambil menyodorkan tangannya agar Trina memberikan Aira padanya. Trina langsung menyerahkan Aira ke pelukan Ray. “Tuh! Kan. Aira langsung seneng dan ngga nangis lagi kalo digendong Mas Ray.” ucap Trina takjub karena perubahan sikap Aira. Bahkan Ray juga masih kebingungan dan tak habis pikir karena Aira benar-benar terdiam dan memberikan rasa nyamannya begitu berada di pelukan Ray. “Aira….Aunty Trina galak ya? Sukanya sama Om Ray ya?” goda Ray yang dibalas decihan oleh Trina. “Enak aja.” gumam Trina tak rela disebut galak. “Mas Ray ketemu klien jam berapa? Tunggu sampe Mba Riri selesai masak deh. Kasian Aira ngga ada yang jagain. Terus Aira juga maunya sama Mas Ray.” titah Trina. Ray berpikir sejenak dan menatap jam di pergelangan tangannya. Janjinya sih masih 2 jam lagi. Tadinya Ray berniat jalan-jalan sebentar untuk sekedar menghirup udara Jakarta yang sudah lama tak ia kunjungi. Tapi melihat wajah cantik dan menggemaskan Aira, Ray sepertinya akan mengurungkan niatnya untuk berjalan-jalan dan memilih menjaga Aira lebih dulu. “Yaudah. Mas jagain Aira sampe Riri selesai masak. Kamu ke dalem aja. Mas mau main sama Aira.” Trina langsung mengernyit bingung. Tumben sekali Ray semangat. Biasanya Ray paling tak betah dirumah dan lebih suka kelayapan. “Yaudah. Jagain yang bener ya.” Trina memberikan botol s**u serta mainan milik Aira lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Sedangkan Ray dan Aira memilih duduk di halaman depan rumah. “Aira….mirip banget wajahnya sama Ayah Arka…cantik.” ucap Ray sambil menatap Aira. Aira tersenyum lebar setelah mendengar ucapan Ray. Walau giginya belum tumbuh, tapi senyuman Aira tadi seakan menyejukkan hati Ray dan membuat Ray merasa senang. “Aira sama Om Ray dulu ya.” Ray mengecup pipi Aira berkali-kali sampai Aira tertawa kegirangan. ** Riri menaruh beberapa lauk ke atas meja makan dan menatap Trina yang baru saja keluar dari kamarnya. Seingat Riri, ia menitipkan Aira pada Trina. “Na, Aira tidur di kamar kamu?” “Lagi main daritadi sama Mas Ray di depan, Mba. Sama aku nangis terus. Eh, pas digendong Mas Ray langsung ceria dia.” sahut Trina. Ada sedikit perasaan yang mengusik Riri semenjak Ray kembali kerumah. Ini bukan kali pertama Aira merasa nyaman bersama Ray. Riri memutuskan untuk menghampiri Ray dan Aira di halaman depan rumah. “Loh, anak Ibu kok senyum-senyum terus?” ucap Riri begitu melihat Aira yang asyik bermain di gendongan Ray. Aira yang menyadari kehadiran Ibu nya pun tersenyum kearah Riri. “Seneng dia. Akhirnya Ibunya udah selesai masak.” balas Ray. Riri bisa melihat Ray begitu menyayangi Aira layaknya anak sendiri. Aira juga terlihat nyaman berada di sekitar Ray. “Ray, kamu ngga kerja? Udah siang loh ini.” seru Riri sambil mengambil alih Aira ke pelukannya. Ray spontan menatap jam di tangannya. Sisa 30 menit sampai waktunya untuk bertemu dengan kliennya. “Oiya. Aku harus ketemu klien buat project. Makasih Ri, udah diingetin.” Ray langsung buru-buru mengambil tasnya yang ada diatas meja. “Eh, bentar. Udah makan?” Riri menahan lengan Ray. Ray menggeleng. “Bentar. Aku siapin bekel.” Riri hendak masuk ke dalam rumah namun justru kini Ray yang menahannya. “Ngga usah, Ri. Aku ketemuan di restoran kok.” “Cemilan aja. Bentar ya. Ngga lama.” Riri tersenyum kecil seolah mengatakan jika ia akan bergerak cepat. Selang beberapa menit, Riri muncul dengan sekotak Tupperware yang dibawanya. “Aku cuma bikini sandwich buat kamu makan di mobil. Siapa tau laper.” Riri menyodorkan Tupperware yang berisi sandwich di tangannya kepada Ray. Ray menatap Riri tak percaya. “Ini serius?” tanya Ray memastikan. Riri terkekeh pelan. “Udah sana. Kamu nanti telat.” Ray tersenyum kecil lalu mencubit pelan pipi Aira. “Aira, Om Ray nya kerja dulu ya. Nanti main sama Om Ray lagi.” ucap Ray. Ray lalu mencium pipi gembul Aira sampai Aira tersenyum kegirangan. “Hati-hati, Om Ray.” sahut Riri sambil melambaikan tangan Aira kearah Ray yang berjalan menuju mobil. Riri jadi ingat momen ini. Momen saat ia mengantar Arka untuk berangkat kerja. Momen dimana Arka akan mengecup pipi Aira dan kening Riri sambil berkata bahwa ia akan segera pulang karena ia begitu merindukan keluarga kecilnya. “Aku pamit ya, Ri!” seru Ray membuka jendela mobilnya. “Hati-hati, Ray!” balas Riri. Ray memang terlihat mirip dengan Arka. Tapi ada sedikit pikiran yang menganggu Riri. Sikap Ray. Tak biasanya Ray dekat dengan Riri begini. Baik sebelum Riri menjadi kakak iparnya, atau saat mereka masih menjadi teman atau orang yang saling mengenal di sekolah dulu.    ** Hai hai yang udah nunggu kelanjutan cerita ini. Muliai hari ini dan seterusnya aku akan rajin upload, kemungkinan akan di upload siang setiap hari. Bucin Riri-Ray merapat soalnya kita bakal punya couple baru! Jangan lupa tap love cerita ini supaya masuk di library kalian dan komen di setiap chapternya. Makasih banyak semuanya^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD