Chapter 3

1709 Words
Ray menyetir mobilnya menuju restoran tempat ia bertemu dengan kliennya di daerah Jakarta Selatan. Ray mencomot sepotong sandwich yang tadi dibawakan Riri untuknya. Sederhana, tapi entah kenapa Ray jadi ingin senyum sendiri. “Not bad.” gumam Ray saat mengunyah sandwich buatan Riri. Riri memang patut diacungi jempol untuk urusan makanan. Wajah Aira jadi terngiang-ngiang di benak Ray. Cantik, lucu, menggemaskan. Bagaimana mungkin Ray bisa mudah dekat dengan anak kecil? Biasanya tak banyak anak kecil yang mudah dekat dengan Ray. Tak lama, mobil Ray sampai di pelataran restoran tempat Ray janjian dengan kliennya. Ray memang membuka jasa desain arsitektur. Pekerjaan itu sudah dijalaninya sejak ia lulus kuliah dan sekarang, nama Ray cukup dikenal oleh beberapa kalangan. Dari situlah, kesuksesan Ray bermula. Dari yang tadinya bernaung di sebuah perusahaan, Ray memilih untuk menjalankan pekerjaannya sendiri sebagai seorang freelancer. Ray turun dari mobilnya dan menatap kotak Tupperware yang diberikan Riri. 2 buah sandwich sudah berhasil ia habiskan. Padahal tadi jelas-jelas Ray menolaknya, tapi ternyata bisa ia habiskan juga. Ray berjalan masuk ke dalam restoran dan mendapati lambaian tangan dari seseorang yang dikenalnya. Arif. Orang yang akan memakai jasanya sekaligus teman SMAnya dulu. “BRO!” pekik Arif begitu melihat Ray yang sudah berjalan kearahnya. Ray langsung ber-tos ria dengan salah satu sahabat dekatnya semasa SMA dulu. “Gilak! Makin ganteng aja lo, Ray.” puji Arif setelah melihat Ray yang sudah lama tak ia temui. Ray berdecih lalu duduk di hadapan Arif sambil menaruh laptopnya diatas meja. “Bisa aja lo. Lo muji gue biar bisa dapet diskon kan?” sahut Ray sambil tertawa. “Sialan lo. Kebaca kan gue.” balas Arif. “Demi lo nih, gue rela dari Surabaya balik ke Jakarta. Demi proyek sama lo.” ucap Ray. Arif menggelengkan kepalanya. “Gilak sih sohib gue. Makin sukses aja lo Ray. Sampe buat booking lo aja kudu jauh-jauh hari dan rebutan.” keluh Arif. "Berasa cowo bookingan nih gue." ledek Ray. Seorang waitress datang dan menaruh 2 buah minuman segar keatas meja. Ray buru-buru meneguknya perlahan. “Gue berniat buat balik lagi ke Jakarta kayaknya, Rif.” seru Ray. Arif melongo tak percaya. “Serius lo? Kesambet apaan lo? Padahal tiap reuni juga lo nolak balik ke Jakarta dan pilih stay di Surabaya.” Ray menghela nafasnya panjang sambil membuka layar laptopnya. Ray juga bingung dengan dirinya. Setelah semalaman susah tidur memikirkan sesuatu yang membuatnya sakit hati, Surabaya menjadi kota yang tak lagi sehangat dulu. Setelah kandasnya hubungan Ray dengan mantan tunangannya. Ray jadi enggan untuk kembali kesana karena akan teringat masa lalu mereka yang cukup membuat Ray sulit melupakan perempuan itu hingga sekarang. “Ya…mau suasana baru aja. Lagian di Jakarta gue banyak klien juga. Jadi ngga ada salahnya gue survive lagi.” terang Ray. “Jadi desain buat kantor baru gue udah jadi nih, Ray?” tanya Arif to te point. Ray memperlihatkan layar laptopnya kearah Arif. “Kurang lebih begini. Lo review dulu, kali aja ada yang kurang sreg biar gue bisa perbaikin. Tapi sebelumnya gue mau coba survei kesana dulu.” sahut Ray. Arif menatap seksama desain yang dibuatkan Ray. Hampir membuatnya terpana. Tak salah sih, Ray ini cukup sulit ditemui dan pekerjaannya tidak habis-habis. “Kayaknya gue ngga perlu review deh. Gue percayain semua sama lo.” “Masalah dana dan bahan bakunya, ini gapapa sesuai anjuran gue?” “It’s okay. Masih masuk kok di gue.” Arif ini salah satu sultan semasa SMA dulu. Lulus sekolah, Arif sudah bekerja di perusahaan milik Ayahnya sambil berkuliah. Setelah lulus kuliah, langsung menggantikan posisi Ayahnya yang sudah enggan mengurusi perusahaan. “Pokoknya gue percayain semua sama lo.” ucap Arif lagi. Ray hanya menganggukkan kepalanya. Beginilah enaknya jika berurusan dengan sultan. Tak banyak keluhan. Berbeda dari beberapa klien Ray yang banyak mengeluh. Ingin hasil yang wah namun tetap ingin biaya yang dikeluarkan seminimal mungkin. Terkadang itu menjadi bisa, namun hasilnya pasti tak maksimal karena dipaksakan. “Okelah. Abis ini gue bisa langsung ke kantor lo?” “Oke. Tapi makan dulu lah, Ray. Gue udah pesenin makanan.” Ray menutup layar laptopnya. Dasar Arif. “Okelah.” ucap Ray menyetujui. Sambil menunggu makanan yang datang, Ray jadi kepikiran soal Riri yang hendak mencari pekerjaan. Ray melihatnya sih agak tidak tega jika Riri harus bekerja fisik karena sebenarnya Riri punya potensi lebih. Ray jadi kepikiran untuk mencarikan Riri pekerjaan yang pas untuknya. “Di kantor lo….ada lowongan Rif?” tanya Ray tiba-tiba. Arif mengernyit bingung. “Buat siapa? Lo?” tanya Arif balik. Ray langsung menggeleng. “Buat….kakak ipar gue.” balas Ray. Agak sedikit canggung sih memang menyebut Riri sebagai kakak ipar walau sekarang statusnya adalah mantan kakak ipar Ray. “Cewe apa cowo?” “Yaelah, Rif. Lo kan tau Abang gue cuma satu-satunya. Masa iya dia nikah sama cowo.” Arif langsung terbahak begitu melihat wajah Ray yang hampir kesal dengan pertanyaannya. “Gue belum cek ke HR soal itu sih. Mau gue tanyain?” “Serius lo?” “Iya. Tapi…kakak ipar lo…si Riri yang dulu satu SMA sama kita kan?” Ray mengangguk ragu. “Loh dia masih tinggal sama keluarga lo setelah Abang lo meninggal?” tanya Arif tak percaya. “Dia kan yatim piatu. Satu-satunya saudara cuma Tantenya itu juga tinggal di Semarang. Kasian lah. Ngga tega keluarga gue kalo ngebiarin dia hidup sendirian. Apalagi ada Aira. Anaknya sama Mas Arka yang masih kecil.” jelas Ray. Arif memang mengenal Riri karena dulu mereka juga bernaung di satu organisasi yang sama dengan Riri pada saat SMA. “Kasian juga ya dia, Ray. Beruntung, dapet Abang lo dan keluarga lo yang sayang sama dia.” “Justru…keluarga gue yang beruntung dapet dia.” balas Ray sambil terkekeh. “Nanti deh gue coba buat tanya ke HR. Kali aja ada posisi yang cocok dan kebetulan lowong.” “Thank you nih, Rif sebelumnya.” “Ah kaya sama siapa aja lo.” Entah kenapa, Ray jadi memikirkan Riri dan nasib Aira ke depannya. Ray jadi makin merasa tidak tega dan ingin membantu Riri atas masalah hidupnya. ** “Ri…?” Dewi membuka kenop pintu kamar Riri dan menatap Riri yang baru saja memandikan Aira dan tengah memakaikan baju untuk Aira. “Iya, Ma?” tanya Riri kemudian. “Riri besok bisa bantuin Mama siapin acara arisan keluarga, ngga? Ya…sekalian kumpul keluarga karena Ray kan baru aja pulang.” pinta Dewi. Riri langsung mengangguk. “Boleh. Riri juga ngga ada kerjaan apa-apa.” ucap Riri mengiyakan. Dewi duduk di ujung ranjang sambil menatap Aira yang tengah tersenyum. Dewi mengelus pelan puncak kepala Aira. “Ray semalem cerita ke Mama, katanya Riri mau cari kerja?” tanya Dewi memastikan. Riri sedikit terkejut karena Ray ternyata memberitahukan Ibu Mertuanya perihal keinginannya untuk bekerja lagi. Riri buru-buru menyelesaikan aktivitasnya untuk memakaikan Aira pakaian lalu duduk di samping Dewi. “Iya, Ma. Riri ngga mungkin selalu bergantung sama Mama dan Papa. Apalagi Aira pasti mulai besar, biaya yang dibutuhkan makin banyak. Riri ngga mau terus-terusan ngerepotin Mama dan Papa.” terang Riri. Dewi memeluk Riri sambil menitikkan air matanya. Dewi terlampau menyayangi Riri bak anak kandungnya sendiri. Mana tega dirinya menelantarkan Riri dan Aira disaat mereka berdua butuh kehangatan sosok keluarga di sisi mereka? “Riri dan Aira ngga pernah ngerepotin Mama dan Papa, Ri. Ngga boleh ya bicara kaya gitu.” ucap Dewi, tak sanggup menahan tangisnya. Sebenarnya, masih ada sisa kesedihan saat Arka meninggalkan mereka. Melihat wajah cantik Aira benar-benar mengingatkan Mama dan Papa Arka dengan wajah Arka. Aira benar-benar persis seperti Arka. Seakan-akan mewarisi wajah Arka. “Riri….cuma mau hidup mandiri dan ngga terus-terusan bergantung sama Mama dan Papa.” balas Riri. Riri juga tak sanggup menahan tangisnya. Jika begini, ingin rasanya Riri bertanya pada Arka. Kenapa Arka meninggalkannya dengan Aira begitu cepat. Rasanya, Riri masih belum siap. Dewi melepaskan pelukannya dan mengusap puncak kepala Riri. Sejak Arka mengenalkan Riri pada keluarga mereka, tak ada alasan bagi keluarga Arka untuk menolak perempuan sebaik dan setulus Riri. Walau tak berasal dari keluarga berada, Riri adalah sosok yang membanggakan. Mampu survive dengan tangannya sendiri atas kesuksesan karirnya. “Jangan pikirin hal kaya gitu lagi ya. Riri dan Aira adalah tanggung jawab keluarga ini. Ngga ada yang namanya ngerepotin.” ujar Dewi. Riri masih nampak bingung. Di sisi lain, ia tak mau mengecewakan Mama dan Papa mertuanya, tapi di sisi lain Riri juga tak mau terus-terusan bergantung pada keluarga Arka. ** Acara arisan keluarga kali ini cukup mengundang banyak keluarga besar dari pihak Mama maupun Papa Arka. Seperti biasa, Riri bertindak sebagai juru masak dirumah membantu Dewi sedangkan Trina dan Rahman bertugas mendekor serta merapikan rumah. Lain halnya dengan Ray. Pemandangan baru yang jarang sekali ditemui. Ray bertindak sebagai orang yang menjaga dan mengasuh Aira selama Riri membantu Dewi memasak di dapur. “Aira….kalo udah besar mau jadi apa? Kalo Aira secantik ini…Om Ray pikir cocoknya jadi artis aja gimana?” ucap Ray sambil mengajak Aira. Aira langsung tertawa pelan sambil memainkan dot miliknya. “Aira cantik….kesayangannya Ayah Arka dan Om Ray…” Ray mengecup singkat pipi Aira. Tidak Ray sangka, semakin hari ia semakin menyayangi Aira. Wajah Aira benar-benar mengingatkannya pada Arka. “Ray, Aira rewel ngga?” Riri yang baru saja berganti baju beralih mendekati Ray dan Aira yang tengah bermain di ruang tengah. “Ngga kok, Ri. Kamu kalo mau istirahat dulu gapapa. Aira aku yang jaga.” sahut Ray. Riri menatap kearah Aira. Aira terlihat bersemangat sekali saat bermain bersama Ray. “Ngga usah, Ray. Aku udah selesai kok. Kamu siap-siap aja. Takutnya tamu sebentar lagi dateng.” Ray menatap dirinya yang masih mengenakan kaos polos serta celana pendek. Benar juga. Ia harus segera berganti baju yang pas untuk acara keluarga kali ini. “Yaudah, aku siap-siap dulu Ri.” ucap Ray. Riri mengangguk. “Aira, nanti Om Ray balik lagi. Jangan nangis sama Ibu ya.” ledek Ray kearah Riri. Riri tertawa pelan. “Iya, Om Ray.” balas Riri dengan suara yang dibuat seolah-olah Aira yang menjawab.    ** Author seneng banget! Banyak komen positif untuk cerita ini. Semua kalian terhibur yaa sama karya-karya author. Kalo ada kritik masukan bisa langsung komen aja tapi disampaikan dengan baik yaa. Makasih readers semuaa. Jangan lupa di tap love dan komen biar aku makin semangat updatenya^^ with luv, madebyshan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD