Chapter 4

1604 Words
Beberapa anggota keluarga sudah datang di rumah kediaman Dewi dan Rahman. Beberapa diantaranya membawa makanan yang sengaja disiapkan untuk acara ini serta beberapa bingkisan. Kebetulan, ini adalah pertemuan keluarga yang pertama lagi setelah kepergian Arka. Dewi dan Rahman memang sengaja mengadakan acara keluarga sekaligus arisan keluarga ini untuk sekedar bercengkerama dan saling menjaga silaturahmi. “Duh, Aira lucunya. Mau gigit. Gemes!” ujar Rena, sepupu Arka, Ray dan Trina. Anak dari Dessy dan Dityo. “Makasih, Tante Rena.” ucap Riri yang kini tengah menggendong Aira sambil mencoba melambaikan tangan kearah Rena. Rena mengecup singkat pipi Aira. “Ray? Kapan dateng? Jadi pindah ke Jakarta lagi?” tanya Tante Dessy yang kebetulan menyapa Ray yang ada di samping Riri. “Baru beberapa hari yang lalu, Tan. Belum ada rencana sih, tapi liat nanti aja. Gimana rezekinya.” balas Ray sambil menyalami tangan Tante Dessy dan Om Dityo. Tante Dessy melirik kearah Riri namun ada sedikit tatapan yang membuat Riri sedikit tak nyaman. Riri mencoba mengenyahkan pikiran negatifnya. “Kamu masih tinggal disini, Ri? Ngga pindah?” tanya Tante Dessy langsung. Riri berdehem sebentar dan mencoba tersenyum walau ia tau, ucapan Tante Dessy tadi sedikit menyinggungnya. “Iya, Tante. Mama sama Papa belum izinin aku sama Aira tinggal sendiri.” jawab Riri pelan. Rena dan Dityo yang mendengar ucapan Dessy pun langsung menatap kearah Dessy dengan tatapan herannya. “Mama, kok ngomongnya gitu sih sama Mba Riri?” bisik Rena. Rena jadi merasa tak enak dengan Riri karena ucapan pedas Mamanya. “Loh, bener dong? Arka kan udah lama meninggal, apa Riri masih mau numpang disini terus? Emangnya ngga berniat untuk kerja atau menghidupi anaknya sendiri?” lanjut Dessy lagi. Kali ini ucapannya terdengar lebih pedas bahkan terdengar nyinyir. Riri mencoba bersabar. Sebenarnya ini bukan kali pertama Tante Dessy bicara tak enak pada Riri. Bahkan sejak Riri menikah dengan Arka pun, omongan semacam ini sering terlontar. Namun, Riri tak mau ambil pusing. Dimana pun kita berada, orang yang tak menyukai kita atau bertindak seenaknya memang selalu ada. Tapi Riri bersyukur karena keluarga inti Arka benar-benar menyayanginya. Jadi Riri tak perlu ambil pusing dengan sikap Tante Dessy yang terlihat tak suka padanya. “Tante, kayaknya agak ngga pantes bicara kaya gitu sama Riri. Keluarga kita sangat menerima Riri dan Aira. Mereka orang yang penting di hidup Mas Arka. Orang yang dititip Mas Arka untuk selalu dijaga.” Kali ini, Ray angkat suara. Ray agak sedikit tak nyaman dengan ucapan Tante Dessy. Tante Dessy menatap bingung kearah Ray. “Sampe kapan? Sampe kapan kamu akan jaga dia? Dia kan udah dewasa, bisa cari uang sendiri dan membiayai kehidupannya.” “Mama. Udah ah. Ngga enak didenger Tante Dewi sama Om Rahman nanti.” Rena berusaha menghentikan ucapan Dessy yang tak henti menyudutkan Riri. “Ren, Mama cuma bicara realita loh.” balas Dessy tak mau kalah. Dityo langsung mengambil alih tangan Dessy dan memberi kode pada Riri dan Ray untuk tak menanggapi ucapan istrinya. “Sebaiknya kita masuk ke dalam. Dewi sama Rahman udah nunggu.” ucap Dityo akhirnya. Mau tidak mau, Dessy mengikuti perintah suaminya yang sudah membawanya masuk ke dalam rumah. Riri dan Ray masih berdiri di depan pintu masuk. Riri menghela nafasnya panjang. “Ri, omongan Tante Dessy…ngga usah dimasukin ke hati ya.” ucap Ray pada akhirnya. Riri menoleh kearah Ray dan berusaha tersenyum. “Gapapa, Ray. Aku ngerti kok. Sifat Tante Dessy emang kaya gitu. Aku ngga pernah masukin ke hati.” sahut Riri. Ray tau Riri berbohong. Dari sorot matanya, terlihat sekali Riri sedih dengan ucapan Tante Dessy. Tapi mungkin, Riri tak mau menunjukkannya karena ada Aira disana.    ** Malam ini, selepas Aira tertidur pulas Riri menyempatkan untuk duduk di balkon lantai 2 dekat kamarnya untuk sekedar menghirup udara malam yang sedikit dingin dan menusuk. Ditemani secangkir kopi s**u yang baru dibuatnya. Masih hangat. Riri menyesapnya perlahan sambil merebahkan dirinya di kursi dan menatap hamparan langit malam. “Mas Arka…dari banyaknya bintang malam ini, apa kamu berada di salah satunya?” gumam Riri pelan sambil mendongak kearah langit yang terlihat bersih malam ini. Pikiran Riri kembali teringat akan sosok Arka. Suaminya. Riri tak bisa berbohong jika sampai detik ini, ia masih terlampau sedih sesaat Arka meninggalkan ia dan Aira dengan waktu yang begitu cepat. Riri masih tak percaya jika Arka benar-benar meninggalkannya selamanya. “Aku masih butuh kamu, Mas. Aira juga. Kami bener-bener kehilangan kamu.” gumam Riri lagi. Tidak terasa, air mata yang menumpuk di pelupuk mata Riri jatuh mengenai pipinya. Setiap malam, Riri masih teringat Arka dan segala kenangan mereka. Riri bahkan masih merasa jika Arka berada di sampingnya saat tertidur. Namun begitu terbangun, hanya tangisan Riri yang tersisa karena merasa begitu merindukan Arka. “Ri?” Suara Ray menghentikan tangisan Riri. Riri buru-buru menghapus air matanya dan menoleh kearah Ray yang duduk di sampingnya. “Udah hampir jam 12, tumben belum tidur?” tanya Ray kemudian. Semoga saja, Ray tak melihat wajahnya yang tadi baru saja menangis karena merindukan Arka. Bisa-bisa Riri akan diinterogasi. “Cari angin, Ray. Sumpek di kamar terus.” sahut Riri. Ray menelisik wajah Riri yang terlihat tidak enak. “Lagi ada masalah, Ri?” tanya Ray tiba-tiba. Riri menggeleng cepat. “Nggak. Kenapa, Ray?” elak Riri. Ray hanya menghela nafasnya pelan. “Keliatan kaya lagi sedih aja.” Memang, wajah Riri ini tak bisa berbohong. Walau mencoba tersenyum, kadang kesedihan akan terlihat meskipun kita berusaha menutupinya rapat-rapat. “Cuma….” balas Riri menggantung. “Cuma apa?” tanya Ray penasaran, seakan menunggu jawaban Riri. “Cuma kangen sama Mas Arka, Ray.” jawab Riri sambil menunduk. Riri menghela nafasnya panjang kemudian menyesap kopinya lagi dan mendongak kearah langit. Air matanya tak bisa lagi ia bendung. Ia begitu merindukan Arka. Terlebih saat mendapat ucapan menyakitkan dari Tante Dessy tadi siang. Ingin rasanya Riri bercerita pada Arka tentang hal itu. Tentang kesedihannya, karena selalu dianggap sebagai beban di keluarga Arka. “Arka…juga pasti kangen banget sama kamu dan Aira.” sahut Ray berusaha menguatkan. Bukan hanya Riri saja yang merasakan hal itu. Arka dan Ray sangat dekat. Bahkan tak sering Arka membantu Ray di setiap masalah Ray. Arka adalah kakak yang baik untuk Ray dan Trina. Pun untuk Riri dan Aira. Arka adalah sosok suami dan Ayah yang baik. Entah kenapa, Tuhan mengambilnya begitu cepat. Riri terisak sambil berusaha menutup wajahnya. Ray terlihat panik dan beranjak dari duduknya lalu berlutut di hadapan Riri. Ray menyentuh bahu Riri dan mengusapnya pelan. “Kita semua kangen sama Arka, Ri.” ucap Ray pelan. Riri menangis dalam diam, namun isakannya bisa Ray dengar. “Maaf, Ray. Maaf kalo kehadiran aku dan Aira disini selalu jadi beban untuk keluarga.” lirih Riri pelan. Ray menggeleng dan mencoba untuk menolak semua pernyataan Riri barusan. “Omongan Tante Dessy? Ngga usah kamu pikirin. Tante Dessy emang terlalu seenaknya dalam bicara. Kamu dan Aira adalah titipan Arka yang berharga.” terang Ray. Berharap ucapannya bisa membuat Riri lebih tenang dan tidak memikirkan ucapan Tante Dessy tadi siang lagi. “Ri…udah ya. Jangan mikir kaya gitu lagi.” lanjut Ray. Riri menatap manik mata Ray. Keluarga Arka memang betul-betul tulus menyayanginya dan Aira. Riri benar-benar tak habis pikir jika ia mudah tersenggol dengan ucapan rendahan seperti yang dilontarkan Tante Dessy tadi siang. “Maaf, Ray. Aku udah negative thinking terus.” ucap Riri. Ray mengelus bahu Riri pelan. “Tante Dessy emang keterlaluan. Tapi kamu ngga perlu mikirin itu.” “Aku berusaha untuk memberikan yang terbaik buat keluarga ini. Mungkin….saat waktunya tiba, entah kapan, aku dan Aira ngga bisa terus-terusan menumpang hidup disini. Aku juga harus mandiri dan ngga bergantung sama Mama dan Papa.” “Ri. Aku mau kamu jangan pernah mikir kaya gitu. Arka, Mama, Papa semuanya bakal sedih kalo sampe kamu bicara kaya gitu.” Sorot mata Ray benar-benar mengingatkan Riri pada Arka. Mereka berdua memang memiliki sifat yang mirip. Perhatian dan sangat ringan tangan. Bahkan untuk seorang Riri yang bukan siapa-siapanya Ray saja, Ray mau membela Riri di depan Tante Dessy. “Makasih ya, Ray. Kamu udah bela aku di depan Tante Dessy.” ucap Riri kemudian. “Sama-sama.” Ray tersenyum kecil sambil menatap Riri lagi. Kenapa rasanya nyaman saat berada di sekitar Riri dan Aira? Apa yang sebenarnya terjadi pada Ray kali ini?    ** Ray merebahkan dirinya di tempat tidur begitu selesai mengobrol dengan Riri di balkon. Riri sudah kembali ke kamarnya karena hari sudah semakin larit. Begitu pun dengan Ray. Ray mengecek ponselnya yang tak ia bawa ke balkon tadi. Matanya menyipit saat melihat nama seseorang yang belakangan membuat tidur Ray tak nyenyak dan hidup Ray sedikit berantakan. Sarah Amanda. Sarah mengirimkan sebuah undangan melalui pesan w******p. Ray langsung membukanya, namun Ray tak terkejut lagi. Undangan pernikahan Sarah dan Delvin yang diselenggarakan lusa di Jakarta. Sial. Dari sekian banyak kota, kenapa mereka harus menggelar acara pernikahan di Jakarta? Bahkan Ray sudah jauh-jauh pergi dari Surabaya demi menghindari mereka berdua. Sarah Amanda : Aku denger kamu di Jakarta. Aku harap kamu mau dateng ke hari bahagia aku. Ray membaca deretan pesan yang dikirimkan Sarah. Tanpa rasa bersalah dan maaf, Sarah justru tega bicara seperti itu pada Ray. Dia pikir, Ray mau datang kesana dan menyaksikan kebahagiaan dia dan Delvin saat hatinya hancur karena diselingkuhi selama ini? Tidak. Ray tidak akan sudi datang ke acara pernikahan mereka berdua. ** Yeay! So happy bisa update lagi. Kalian masih nunggu kelanjutan cerita ini kaan? Btw selamat datang buat readers yang baru baca cerita ini atau masih stalking-stalking ceritaku. Jangan lupa vote dan komen^^ Btw seneng banget yg like udah banyak. Semoga aku bisa konsisten selesain cerita ini hehe stay tune tiap siang buat notif updatenya^^ with luv, madebyshan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD