Bab 4 Bukan Wanita Lemah

2429 Words
Sang nona kaya tampak menggertakkan gigi “Jika kau masih tidak mau melakukannya, aku akan menyebarkan kejadian ini, dan menuntut ganti rugi kepada kalian semua! Dan kau!” tunjuknya berang kepada Claris, menggertakkan gigi dengan wajah sudah seperti akan meletus oleh amarah memuncak, setengah menggeram kepadanya, “akan aku pastikan berada di dalam penjara selama mungkin!” Ancaman sang nona kaya dikatakan dengan wajah tersenyum menyeringai jahat. Tubuh Claris menciut kecil, gemetar dingin dengan sorot mata linglung. Jika tak ada yang menolongnya, maka hanya dia sendiri yang bisa menolong dirinya, kan? Dengan gerakan pelan dan kaku patah-patah, sangat salah tingkah, Claris akhirnya merangkak dengan kedua tangan penuh luka. Wanita pelayan ini perlahan menundukkan kepalanya, menjulurkan lidah dan mulai menjilati sisi lantai kotor yang masih terlihat aman. Sudut-sudut matanya mulai memanas, hati dan harga dirinya rasanya retak bukan main. Semua orang terkesiap dalam keterkejutannya, tapi tidak ada yang berani bersuara mengusik perdebatan menegangkan di sana. Perut Claris mulai bergolak melihat beberapa beling berkilau di depan matanya. Tenggorokannya bergerak pelan susah payah dengan banyak skenario mengerikan di dalam benaknya. Jika itu masuk ke tenggorokan dan saluran pernapasannya, bagaimana? Masuk ke sistem pencernaannya, bagaimana? Claris dilema. Semua pilihan sepertinya adalah jalan buntu. Tapi, dia tidak bisa melawan nona kaya seperti itu, kan? Risikonya sangat besar jika dibanding dirinya masuk rumah sakit. Bukan hanya dirinya yang mungkin akan dalam masalah besar, tapi juga seluruh keluarganya. “Lakukan dengan benar!” seru sang nona kaya geram, menendang pinggang Claris hingga tubuhnya jatuh miring menyedihkan di lantai. Sekali lagi semua orang terkesiap kaget, syok dengan berbagai perasaan menghampiri mereka melihat penindasan itu. Tapi, tentu saja masih tidak memiliki keberanian untuk ikut campur. Claris memekik kesakitan. Air mata menetes di wajahnya, terisak gemetar gugup. Rasanya kegelapan menjatuhi pandangannya! Dia tidak pernah menyangka, dalam sedetik, hidupnya tiba-tiba menjadi seburuk ini. Ketika Claris mulai menjilati lantai kembali, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sangat nyaring sampai memecahkan wajah puas dan arogan sang nona kaya yang tengah tersenyum super jahat. Semua orang segera bisik-bisik hebat melihat kejadian itu. Penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Claris menahan napas. Mata membeliak kaget. Bukan karena kaget gara-gara ketahuan membawa ponsel saat sedang bekerja, melainkan karena hal yang lebih gawat dari sekedar akan dimarahi oleh Bu Mirna nantinya. Itu adalah nada khusus untuk nomor kontak dokter yang menangani sang ayah. Apakah ada masalah dengan ayahnya di rumah sakit? Tubuh Claris langsung banjir keringat dingin, sangat gelisah. Dia sudah meminta sang dokter untuk menghubunginya segera jika ada masalah yang menimpa ayahnya, dan hari ini sepertinya datang di saat yang sangat buruk. Yang Claris tidak pikirkan adalah, dia yang tengah kedapatan melanggar aturan mengenai tidak boleh membawa ponsel saat bekerja, dan ketika mendengar nada ponselnya tadi berbunyi nyaring di ruangan luas itu hingga membuat fokus para tamu semakin terpusat kepadanya, membuat mata Bu Mirna membara bagaikan bara api melihat ulah Claris yang selalu bikin darahnya mendidih. Berani sekali dia! Tiba-tiba, ketegangan itu redup dengan dering ponsel Claris, membungkam mulut semua tamu. Suasana bagaikan layar TV yang membeku itu sesaat hanya diisi oleh bunyi dering ponsel sang pelayan. Banyak mata saling pandang dengan tatapan bingung dan menarik. Apa yang akan terjadi? Siapa yang menelepon sang pelayan? Banyak pertanyaan muncul di benak orang-orang yang hadir di sana. Namun, lebih penasaran dengan reaksi yang akan diberikan oleh sang nona muda kaya yang kini mulai semakin memerah karena aksi memberi pelajarannya terganggu oleh benda jelek di saku sang pelayan. Claris perlahan menarik diri dari lantai, mencabut seadanya beberapa beling yang belum sempat dibersihkan dari kedua telapaknya tangan. Tubuhnya gemetar saat melakukan itu, air matanya mengalir hebat. Bibir gemetarnya digigit menahan rasa perihnya. “Apa yang kau lakukan?! Siapa yang menyuruhmu berhenti?!” teriak sang nona kaya cepat, wajah penuh protes, kedua bahunya naik dengan mata melotot kesal. Kedua tangannya mengepal seolah akan menghancurkan Claris. Claris gugup, mengabaikan teriakan itu. Matanya dengan cepat menangkap layar ponsel. Tertulis jelas di sana nama sang dokter sesuai dugaannya. “Se-sebentar saja, nona. Izinkan saya angkat teleponnya dulu,” pinta Claris dengan wajah pucat. Sangat tidak berdaya, sangat tidak bersemangat. Tanpa dibalas oleh sang nona kaya, dia pun segera menerima panggilan itu. “Halo? Dokter Haikal? Ada apa?” bisiknya serak dengan suara mengecil, menahan isakan perihnya. “Claris! Ayahmu baru saja mendapat serangan, dan sekarang sudah dipindahkan ke ruangan lain! Tolong segera ke rumah sakit! Ibumu—” Baru saja sang dokter ingin melanjutkan perkataannya, suara nona kaya itu menggema bagaikan raungan macan yang mengamuk, maju ke arah Claris dan merebut ponselnya dalam mode super cepat. “AKU TIDAK MEMBERIMU IZIN MENERIMA TELEPON! CEPAT JILAT LANTAINYA!” Bahu Claris ditendang sekali lagi hingga terhentak keras. Dia pun meringis kesakitan. Tentu saja itu sakit karena ujung tumit sendal hak tinggi itu cukup runcing. Kekagetan dan rasa panik oleh kabar dari sang dokter membuat Claris kehilangan pertahanan lebih banyak. Tubuhnya lemas dan tak bertenaga, membeku linglung dengan tatapan kosong. Isi kepalanya kacau dan berputar-putar oleh banyak hal. Suasana di mana dia dipermalukan saat ini, sudah terbang dari pikirannya. Kondisi ayahnya yang mendapat serangan di rumah sakit adalah satu-satunya yang mengusik akal sehatnya sekarang. Dengan wajah masih linglung dan bingung, Claris mendongak melihat sang nona kaya berteriak-teriak marah ke arahnya, tapi karena tubuh terlalu lelah, dan kabar ayahnya yang memburuk, membuatnya kembali dihinggapi perasaan ingin pingsan. Telinga berdenging untuk kesekian kalinya. “Heh! Jangan-jangan kau benar-benar tuli, ya?! Apa perlu aku sendiri yang harus mengajarimu bagaimana caranya menjilati lantai?” Ponsel Claris dihempaskan ke lantai dengan sekuat tenaga, membuat sang pemilik ponsel membelalak horor melihat benda elektronik itu mengeluarkan bunyi mengerikan yang membuat hatinya seolah dicubit. “PONSELKU!” pekik Claris panik, merangkak ke arah ponselnya yang rusak. Claris menghela napas tak percaya, menciut lemas memegang ponsel satu-satunya kini sulit untuk dinyalakan. Dia memegangnya bagaikan bayi yang baru saja kehilangan nyawanya. Dia miskin. Beli ponsel saja adalah hal mewah, meski terbilang harganya tidak semahal ponsel orang-orang pada umumnya. Bagaimana dia akan mendapatkan yang baru sebagai gantinya? Sementara memiliki ponsel adalah hal wajib untuknya demi keperluan kampus dan bekerja, serta untuk memantau kondisi ayahnya? “Apa?! Kau meratapi ponsel murahanmu itu? Kau tidak lihat gaunku ini harganya berapa, hah? PULUHAN JUTA! TIDAK SEBANDING DENGAN PONSEL JELEKMU ITU!” Sang nona kaya tampak tidak memiliki rasa bersalah sama sekali, dia memarahi Claris seolah-olah yang merusak ponsel itu adalah pemiliknya sendiri. Air mata Claris mengucur sangat deras, teringat dengan ayahnya di rumah sakit, tapi keadaan terjepit sekarang ini, rasanya sudah mau membuatnya gila! Emosi merangkak naik di dadanya sang pelayan muda, bangkit dengan cepat dengan tubuh gemetar, berdiri dengan wajah penuh tekad di depan sang nona kaya. Mengabaikan semua rasa sakitnya. Benar! Kalau bukan dia sendiri yang membela dirinya, lantas siapa lagi? Claris mengencangkan raut wajahnya, berjalan tertatih menuju sang nona muda. Sebuah tamparan cepat dan super keras diberikan Claris pada wajah cantik sang nona kaya. Tidak peduli lagi rasa sakit di tangannya oleh luka pecahan gelas yang menggores dagingnya. Semua orang di ruangan ini langsung terkesiap super kaget daripada sebelumnya. Saking kagetnya, bahkan sudah ada yang tiba-tiba pingsan melihat kenekatan Claris tersebut. Bisik-bisik heboh terdengar lebih keras menghiasi aula super luas itu. Bu Mirna yang melihat keberanian Claris melawan sang nona kaya, seketika juga masuk dalam daftar orang-orang yang pingsan di tempat! “KAU! KAU! BERANINYA MENAMPARKU?! KYAAA!!! DASAR KURANG AJAR!!!” jerit sang nona kaya sudah seperti orang gila. Raut wajahnya kini terlihat bagaikan orang yang tengah kesurupan. Ingin membunuh Claris saat ini juga! Sebuah tamparan lagi tidak kalah keras diberikan kepada Claris, membuat sang pelayan kembali jatuh terduduk ke lantai. “RENDAHAN! KOTOR SEKALI TANGANMU MENYENTUHKU! KAU PIKIR DIRIMU ITU SIAPA?!” Wajah cantik nona muda itu tampak bengkak, dan sedikit berhias darah Claris di sana. Di lantai, Claris melotot tajam ke arahnya dengan mata gelap berkilat berbahaya. Penuh tekad dan amarah terpendam. Entah kenapa, rasa muak seketika memenuhi dadanya, membuatnya panas hingga menghapuskan akal sehat wanita pelayan ini. Dia pun segera bangkit, mengenyampingkan sekali lagi semua rasa sakit di tubuhnya. Otaknya tiba-tiba bagaikan sebuah bohlam lampu yang berpijar terang benderang. Sebuah kekuatan aneh mengalir dalam darahnya, membuatnya jadi bertenaga berkali-kali lipat. Claris tidak mau kalah! Dia menamparnya kembali. Sangat keras, sangat kuat, lalu meludahinya sama seperti nona kaya tadi mempermalukannya. Nona kaya itu sudah ingin meledak kembali. Tapi, Claris mendominasinya dengan cepat, membuatnya tertegun kaget. Dengan tangan perih, Claris meraih bagian depan gaun lawan bicaranya, wajahnya menampakkan aura gelap mengerikan, membuat sang nona kaya terkaget-kaget dibuatnya. Semua orang yang melihat hal itu tercengang parah hingga membeku, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Suara bisik-bisik pun semakin keras dan keras. Ekspresi para tamu sudah tidak bisa ditahan lagi, semuanya syok dan bingung dengan keadaan yang malah semakin seru dan tidak terduga itu. “Ka-ka-ka kau mau apa?!” pekik sang nona kaya, mundur selangkah melihat Claris maju ke arahnya, mencoba melepaskan tangan sang pelayan. Suara Claris mendesis tajam dan dingin penuh kekuatan, wajahnya mengencang dengan ekspresi tegas miliknya. “Kau pikir, karena dirimu adalah orang kaya, maka bisa berbuat sesukanya kepada semua orang? Aku sudah minta maaf kepadamu begitu rendah. Gaunmu yang terkena minuman adalah murni kecelakaan. Tidak sengaja terjadi. Kenapa masih tidak mau memaafkanku? Aku juga sudah bilang akan mencucinya untukmu. Tidak bisa menggantinya meski aku jual diri, bukan? Tapi kenapa kau masih saja ingin menyudutkanku? Menekanku sedemikian rupa? Apa kelakuan orang kaya semuanya seperti dirimu? Sungguh menjijikkan! Sikapmu yang menindas orang lemah dan miskin lebih rendah daripada sampah! Kotor dan bau! Tempat sampah pun pasti akan lari dibuatnya!” Orang-orang yang berada dalam jangkauan perkataan Claris, tiba-tiba merasa malu sendiri mendengarnya. Kepala mereka ditundukkan menatap lantai dengan perasaan bersalah menggelayut di hati masing-masing. Semuanya sebenarnya sadar, mereka punya kedudukan tak biasa, dan juga nama baik dan posisi tinggi. Tapi, kalau melawan nona kaya itu. Mereka juga pasti akan kesulitan, kan? Berbuat baik tidak selamanya mendatangkan kebaikan kepada diri sendiri. Ini adalah aturan keras tak tertulis yang berlaku jika berada di dunia yang bermain dengan kekuasaan dan uang. Tidak bisa serta merta menjadi pahlawan sok berani demi menuntut kebenaran dan keadilan hanya karena itulah yang seharusnya terjadi. Dunia para orang kaya memiliki aturannya sendiri. Para tamu yang melihat perkembangan situasi itu mulai merasa tidak nyaman, dan berpikir hal ini sepertinya akan berakhir dengan sangat buruk jika tidak segera dihentikan. Tapi, masalahnya, bagaimana menghentikannya? Sang nona kaya tidak terima dengan ucapan menghina Claris, dia menoleh ke arah para tamu, berharap ada yang mewakilinya berbicara membalas kata-kata sang pelayan, tapi semuanya mundur selangkah dan menundukkan kepala seperti kambing cengok. Menyadari mereka mulai goyah dan tidak mendukungnya lagi, sang nona kaya menjerit gila, langsung menyundul kepala Claris hingga sang pelayan terhuyung pusing, mundur beberapa langkah ke belakang. Belum sempat mengendalikan diri, sepiring kue tart di lemparkan ke wajah Claris, membuatnya jatuh terduduk kembali ke lantai. “KURANG AJAR! DASAR PELAYAN GILA! TIDAK TAHU DIRI! AKAN KUBUAT MASA DEPANMU HANCUR BERANTAKAN SELAMANYA!” Claris duduk membeku di lantai mendengar jeritan sang tamu. Kontan membola ngeri ketika menyadari hal gila apa yang baru saja dilakukannya. Hawa dingin bagaikan menggigit semua permukaan kulitnya. Memucat suram bagaikan tertimpa seluruh beban dunia ini. Melihat Claris terdiam syok, sang nona muda kaya semakin menjadi-jadi. Berbagai makanan satu per satu diarahkan ke tubuh sang pelayan hingga penampilannya benar-benar kacau. Wajah sudah tidak karuan, menghilangkan dan menyembunyikan wajah cantiknya. Segala keberaniannya yang semula tampak keren dan hebat, kini gugur perlahan begitu kalimat ancaman sang nona kaya terngiang-ngiang di telinganya, mengancam akan menghancurkan masa depannya selamanya saat itu. Kepala Claris menunduk malu, tubuhnya gemetar menyadari masalah baru yang dibuatnya. Tamat sudah riwayatnya! “Di mana keberanianmu tadi, hah? Bukankah tadi kau sangat sombong? Ayo, berdiri dan lawan aku! Kita lihat seberapa berani dirimu itu!” Sang nona muda kaya ini makin jelek saja mukanya oleh rasa jijik dan seringai jahatnya, tertawa sinting bagaikan seorang badut mengerikan di sebuah pesta megah. Isi dari meja prasmanan masih saja terus dilemparkan ke tubuh sang pelayan yang diam saja di lantai. Nirmala terbahak angkuh, lalu mulai mengoceh arogan! “Dasar orang tidak tahu diri! Sudah miskin masih saja berlagak! Diancam sedikit saja sudah tidak melawan! Kau pikir aku akan melepaskanmu karena sudah seperti tikus got begini? Bermimpilah!” Sang nona kaya tertawa semakin kencang, lalu berteriak murka dengan nada setengah meraung geram: “SIAPA PUN YANG MENCOBA MENOLONGNYA, AKU PASTIKAN AKAN MEMILIKI NASIB YANG SAMA DENGANNYA!” Semua tamu di sana langsung memundurkan tubuh mereka, bahu menciut takut. Kekuasaan keluarga nona muda itu, tidak main-main, bahkan masuk dalam wilayah politik dan pemerintahan. Bagaimana akan melawannya dan menjadi sok pahlawan demi seorang pelayan cantik yang bodoh itu? Dia cari mati sendiri! Semua orang berpikir hal yang sama bagaikan kontak batin, tidak berani melakukan tindakan apa pun untuk menghentikannya. Claris ingin segera pingsan mendengarnya, tapi dia juga masih linglung dan kesadarannya selalu diusik oleh rasa sakit menyengat yang datang dari berbagai bagian tubuhnya yang terluka. Sang nona muda tertawa gila melihat semua orang patuh kepadanya. Mereka sudah ada yang tua, terkenal, dan memiliki nama besar, serta berpengaruh, tapi mereka akhirnya tunduk kepadanya karena memiliki latar belakang yang hebat. Ya! Inilah yang namanya kekuatan orang kaya berkuasa! “Kau lihat? Di ruangan ini tidak ada yang berani melawanku! Tapi, apa yang kau lakukan barusan, hah?!" Claris kembali ditendang, membuatnya jatuh nyaris memeluk lantai. Dia hanya terdiam dengan pikiran nyaris kosong, tapi segera akal sehat dan amarahnya berperang ketika mendengar ucapan sang nona muda. “Lihatlah! Inilah perbedaan antara orang kaya dan miskin! Mereka ini rendahan! Tidak tahu aturan dan tempat! Harga diri begitu tinggi buat apa? Jangan membuatku tertawa!” Wajah Claris dilempari lagi dengan kue tart, membuat sang pelayan jadi semakin konyol. “Orang rendahan dan miskin sepertimu, sudah pasti memiliki orang tua yang sangat buruk, kan? Tidak heran kau disuruh jual diri demi pekerjaan kotor ini! Menjijikkan! Orang tuamu pasti sangat mata duitan dan rendahan!” hina sang nona kaya dengan seringai penuh tatapan merendahkan. Claris merasakan keperihan di hatinya ketika mendengar hal itu. Meringis gelap sangat marah! Kedua tangannya yang perih dan berdarah mengepal kuat. “Minta maaf,” desis Claris berbisik tajam ke arah sang nona muda. Pelayan wanita ini yang penampilan dan wajahnya berlumuran makanan sampai tak bisa dikenali hingga hanya menyisakan kedua mata, mulut, dan hidung mancungnya terlihat jelas, menatap tanpa kedip kepada lawan bicaranya yang berhenti bergerak untuk melemparinya lagi dengan makanan. Semangkuk lasagna sudah terancang-ancang di udara, siap untuk dilemparkan ke arah Claris. Sang nona muda tampak memerah, mata membeliak ngeri, nada suaranya mendesis sinting, “apa katamu?” Claris merapatkan bibirnya, menatapnya tajam dengan penampilan berantakannya. Bukannya membuatnya terlihat konyol, malah membuatnya jadi semakin garang. “Aku bilang, minta maaf kepada kedua orang tuaku!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD