Bagian Kedua

495 Words
Aku berdecak sebal beberapa kali. Aku sudah menunggu lebih dari satu jam, tetapi Bang Kenan belum juga datang. Dia berjanji untuk menemaniku membeli buku, tetapi sampai saat ini dia belum juga datang. Aku bangun dari duduk lalu berjalan keluar dari pagar. Aku menunggu Bang Kenan di depan jalan, kalau dia datang aku langsung masuk ke dalam mobilnya. "Kenan sedang ada rapat dengan para dekan," ucap seseorang di sebelahku. Aku menoleh seketika dan menemukan Mas Faresta di sana. Aku buru-buru menggeser, memberi jarak lebih jauh antara aku dan dirinya. "Enggak, kok," ucapku tanpa menoleh ke arahnya. Dia memainkan kuncinya. "Saya hanya memberitahu, terserah kalau kamu tidak percaya." Setelah berbicara, dia masuk kembali ke dalam rumahnya. Mas Faresta dan Bang Kenan memang mengajar di universitas yang sama. Keduanya dosen muda. Bedanya, Mas Faresta lebih senior daripada Bang Kenan. Aku mengambilnya ponselku dan mencoba menghubungi Bang Kenan, tapi pria itu tidak juga mengangkatnya. Mungkin benar yang dikatakan Mas Faresta tadi, Abangku sedang rapat. Omong-omong kenapa aku memanggil Faresta dengan sebutan Mas karena dia lebih tua daripada Abangku. Tidak enak aja rasanya kalau memanggilnya dengan sebutan Bang Faresta, pertama dia bukan Abangku dan yang kedua dia jauh lebih tua. Pantas kalau disebut Mas-mas. "Mau ikut saya tidak?" Suara Mas Faresta tiba-tiba kembali terdengar. Pria itu sudah berada di dalam mobil. Tentu aja aku tidak mau. Apa jadinya satu mobil dengan pria seram seperti itu. Bisa-bisanya aku keringat dingin selama di dalam mobil. Biar aku perjelas lebih detail, sebenarnya Mas Faresta ini seram dari pembawaannya bukan wajahnya. Wajahnya aku akui memang tampan, jauh lebih tampan daripada Abangku. Postur di tubuhnya juga sempurna. Tidak kurus dan tidak gemuk, berisi. Kulitnya kuning langsat. Pokoknya dia mendekati kata sempurna dalam aspek fisik. Kata Abangku, Mas Ferasta ini menjadi dosen idola. Banyak mahasiswa yang mendambakannya. Aku heran, dia kan hanya ganteng, tapi pembawaannya menakutkan. Bisa-bisanya jadi idola begitu. Deringan ponselku tiba-tiba terdengar, ada sebuah panggilan dari Bang Kenan. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangkatnya. "Assalamualaikum. Rena, Abang lagi rapat mendadak. Kalau kamu mau tetap Abang temani ke toko buku, kamu ke sini aja nanti pulangnya baru ke toko buku." "Rena udah nungguin loh dari sejam yang lalu." "Maaf ya. Ferasta juga mau ke sini, kamu bareng dia aja. Gimana?" Aku melirik Mas Ferrasta dia juga sedang menatapku. Tatapannya tidak tajam seperti biasanya, kali ini tatapannya hanya datar. "Abang bilang dulu sama dia." "Yaudah. Abang chat dia dulu." Dan tiba-tiba panggilan terputus. Beberapa detik kemudian, ada suara dering ponsel dari arah sebelahku. "Masuk, Rena," ucapnya terdengar tegas. Aku menarik napas, mempersiapkan diri lalu masuk ke dalam mobilnya. Di sepanjang perjalanan, aku tenggelam di dalam pikiranku. Ternyata tidak begitu menakutkan berdekatan dengan Mas Faresta. Aku sama sekali tidak keringat dingin. "Saya tidak pernah melihat pacarmu," ucap Mas Faresta memecahkan keheningan. Aku menatapnya dengan tatapan kaget, kok jadi bahas pacar. Kenapa tidak hal lain, membahas Bang Kenan misalnya. Atau masakan Ibu. Atau yang lain. "Aku enggak punya pacar," jawabku cepat. "Saya juga." Ya terus? Curhat? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD