Bab. 2 Selalu Begitu

1034 Words
Rafian PoV. Aku berjalan cepat demi mengejar waktu. Meskipun aku tahu pertemuan dengan klien masih lima belas menit lagi. Tapi aku tak yakin dia akan menepati janjinya. Bukan karena apa-apa. Hanya saja aku mendapat informasi jika jadwal pertemuan klienku dengan CEO PT. BINTANG LARAS KARYA lebih awal daripada pertemuanku dengannya. Dan aku sangat yakin. Beliau akan serta merta menyetujui kontrak kerja dengan Boss modal cantik itu sebelum menepati janjinya denganku. Dari kejauhan aku melihat Pak Anwar berjalan keluar dari salah satu restoran bintang lima di Jakarta Selatan. Aku pun segera mempercepat langkahku. Yap! Benar. Dialah klien yang kumaksud. Salah satu pengusaha Departemen Store terbesar di Indonesia. Beliau hendak membuat pusat perbelanjaan baru di daerah Bekasi. Dan seandainya aku berhasil mendapatkan proyek besar ini, perusahaan konstruksi ku pasti akan mendapat rating tinggi diantara para perusahaan konstruksi lainnya. Termasuk musuh bebuyutanku. PT BINTANG LARAS KARYA itu. "Pak Anwar. Pak Anwar!!" panggilku yang langsung membuatnya menghentikan langkah. Ia pun menoleh saat aku berlari kecil ke arahnya. "Oh, halo Rafian. Apa kabar?" ucapnya sambil bersalaman denganku. "Kabar baik. Pak Anwar, sekitar lima belas menit lagi, kan kita ada janji ketemu. Bagaimana jika kita percepat saja. Kebetulan saya sudah menyiapkan semuanya," tawarku to the point pada laki-laki berbadan gempal itu. "Oh, untuk tender yang kita bicarakan di telpon itu ya?" tanya Pak Anwar. "Iya, Pak. Benar sekali. Jadi, bagaimana kalau kita percepat saja. Mumpung kebetulan kita bertemu disini," ucapku sedikit berbohong. Padahal aku memang berniat menunggunya sejak tadi. "Rafian. Sebelumnya saya mau minta maaf sekali sama kamu. Saya baru saja melakukan kontrak kerja sama dengan PT. BINTANG LARAS KARYA. Jadi, saya harap kamu bisa mengerti," balas Pak Anwar sambil menepuk pundakku. Kemudian berlalu. Jederrr!!!! Bak tersambar petir di siang bolong. Harapanku hancur berkeping-keping. Sudah lama aku menginginkan proyek besar ini. Sebab, akhir-akhir ini perusahaanku hanya mendapat proyek-proyek kecil. Dan semua itu hanya karena satu orang wanita yang bernama 'Dilea'. Entah mengapa dia selalu mendapat tender yang aku incar. Tak terasa kedua telapak tanganku pun mengepal. 'Awas kau Dilea. Akan ku balas semua ini suatu hari nanti,' tekadku pada diri sendiri. "Pak Rafian. Sedang apa berdiri di sini?" ucap Githa. Sekretaris baruku yang mampu membuyarkan lamunanku. Aku pun terperanjat. "Ah, tidak apa-apa. Ayo kita masuk ke dalam!" ajakku sambil berbalik arah lalu berjalan ke arah restoran di samping kiriku. "Baik, Pak," balasnya lalu mengikuti jalanku. Kami pun berjalan beriringan. Hingga di pintu resto aku bertemu dengan si Bos modal tampang itu. "Ini dia. Bos cantik yang hanya bermodal wajah untuk bisa menang tender," ucapku sengit. Dilea pun langsung melirikku dengan tatapan tak suka. "Jaga ya mulut lemes loe. Bos muda sok tampan," balasnya tak kalah jutek. Aku pun mendengus. Lalu menangkap lengannya sebelum ia sempat berlalu. "Kau mau kemana cepat-cepat pergi. Mau ke salon ya. Biar besok menang tender lagi," ejekku sambil tersenyum meremehkannya. "Oh, tentu. Kenapa? Loe mau ikut maskeran biar muka loe makin kinclong?" Sekali lagi dia tak mau kalah. Aku hanya menatapnya dengan tajam. Deg! Jantungku terasa berhenti tiap menatap manik matanya yang terlihat berkilauan. Dan tanpa kusadari  dia menyingkirkan tanganku di lengannya kemudian ia berlalu. Aku hanya dapat menatap langkahnya yang kian menjauh. Hingga lagi-lagi Githa menyadarkan lamunanku. "Pak Rafian. Kita jadi masuk ke dalam?" tanyanya. "Nggak usah. Kita balik ke kantor saja," jawabku setengah memerintah. "Tapi, Pak. Bapak kan belum makan siang dari tadi?" ucapnya mengingatkan. Yap! Aku juga baru sadar jika perutku belum diisi dari tadi. Karena terlalu sibuk memikirkan tender itu. "Kamu istirahat dulu aja. Kalau mau makan siang di sini ya silahkan. Saya mau balik dulu ke kantor. Belum lapar," jawabku yang kasian melihat Githa belum mendapatkan jam istirahatnya sejak tadi. Sedang buatku sendiri, tak ku ambil pusing. Jujur, aku sering malas makan jika apa yang kuinginkan tak ku dapatkan. "Baik, Pak," balasnya sambil menundukkan kepala dengan sopan. "Nanti kamu naik taxi saja ya," ucapku. "Iya, Pak. Nggak papa," balasnya dengan tulus. Aku pun berlalu dan ku yakin dia masih menatap kepergianku. Sampai di kantor aku langsung berjalan ke salah satu sudut ruang kerjaku. Di situ ku desain lapangan basket kecil untuk membuang rasa jenuhku di sela-sela aktivitas kantorku.  Ku gapai bola basket yang tersedia dalam keranjang di bawah ring basket itu. Ku dribel bola oren itu beberapa kali sebelumku lempar ke arah ring. Dug! Bola malah membentur dinding di atas ring lalu melesat ke sisi kiri. Cekrek! Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruanganku dan hampir terkena bola basket itu. "Eits. Nggak kena," ucap orang itu sambil meraih bola itu dengan gesit. Dia si Yoga. Temanku dari kuliah, temen segeng dan setim basket juga dulu. Makanya reflek dia cepat agar bisa menangkap bola yang tiba-tiba muncul ke arahnya. "Main basket tuh di lapangan. Bukan di kantor kayak gini. Untung aja gue yang datang. Coba kalau yang lain. Sudah benjol deh kepala mereka," sindir Yoga sambil melempar bola itu balik ke pemiliknya. "Kalau yang lain yang masuk. Mereka ketuk pintu dulu. Nggak main nyelonong aja kayak loe," balas Rafian tak mau kalah. Sedang tangannya kembali mencoba shooting keduanya. "Gimana presentasinya?" tanya Yoga sambil merebut bola itu dari tangan Rafian. "Biasa," jawab Rafian tak bersemangat. Yoga pun melayangkan bola itu ke arah ring dan lagi-lagi hanya membentur tembok. "s**t!" umpat Yoga. "Biasa gimana maksud loe?" tambahnya penasaran. Rafian kembali merebut bola kesayangannya. "Biasa diambil sama si penjilat," jawabnya sambil kembali menembakkan bolanya. Blung! Bola pun masuk ke dalam ring dengan sempurna. "Maksud loe si Dilea?" tanya Yoga lagi sambil melipat tangannya di depan d**a dan memperhatikan sahabatnya yang tengah bermain basket seorang diri. Ia tahu betul Rafian sedang melampiaskan amarah yang ia tahan dari tadi. "Siapa lagi?" balas Rafian dengan nada tak enak didengar. "Hanya cewek itu yang selalu buat gue marah kayak gini. Pertanyaan gue. Kenapa setiap proyek yang gue mau pasti diambil sama cewek modal tampang itu?" "Udahlah Yan. Nggak usah uring-uringan gitu. Kayaknya loe butuh refreshing deh. Ntar malem kita dugem yuk!" ajak Yoga penuh semangat. "Ah. Males gue. Nggak berselera. Loe pergi aja sendiri," balasnya tanpa menghentikan permainan basketnya. "Ck. Justru ini kesempatan loe dapet tender baru. Mr. Roland dateng ke Jakarta tadi pagi. Gue yakin banget dia pasti mau diajak ke tempat begituan kalau sama loe. Nah, ntar disana loe bisa deh deketin dia biar dapet proyek barunya. Secara, ngapain lagi dia balik ke Indonesia kalau bukan untuk buat hotel baru lagi," ucap Yoga sambil menaik-naikkan sebelah alisnya. Dia memang paling bisa membuat mood rekan kerjanya itu kembali muncul. Lihat saja bibir Rafian yang langsung mengembangkan sebuah senyuman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD