Bab 3

1004 Words
"Jadi, kamu udah coba cari kerjaan baru, An?" Ana menggeleng."Aku...enggak semangat, Mia. Rasanya...aku masih enggak rela keluar dari sana." "Iya, sih...kamu udah lama banget kerja di sana. Pasti banyak kenangan ya di sana. Tapi, ana...Kamu kan harus lanjutkan hidup. Kamu juga harus kirim uang ke kampung, kan?" Ana mengangguk. Ia tahu itu, tapi rasanya saat ini ia benar-benar belum ingin mencari pekerjaan baru. Rasanya juga sudah malas. Biarlah dia begini untuk saat ini. Setidaknya dalam waktu satu Minggu ke depan. Ia butuh waktu untuk bangkit. Sementara itu, di tempat lain, Randy baru saja berhenti di depan sebuah rumah mewah bernuansa Eropa. Ia keluar dari sana dengan membawa bingkisan dengan warna dan pita yang cantik. Ia memasuki rumah besar itu. Suasana begitu ramai dengan para tamu undangan. Pandangan Randy tertuju pada seorang gadis yang memakai gaun bewarna biru muda. Dengan jantung yang berdegup kencang, ia menghampirinya. "Rachel...." Gadis itu menoleh, lalu matanya tampak berkaca-kaca."Papa." Keduanya berpelukan, melepaskan kerinduan selama bertahun-tahun tidak bertemu. Rachel adalah anak Randy dengan mantan isterinya. Hak asuh sepenuhnya jatuh di tangan sang isteri. Lalu, sang isteri dikabarkan menikah lagi dengan warga kebangsaan Italia dan tinggal di sana. Rachel dibawa serta ke sana dan ia tidak pernah bertemu dengan anak semata wayangnya itu. Sesekali ia mencoba menghubungi untuk sekedar melihat wajah Rachel. "Papa...aku rindu." "Papa juga rindu." Randy mengecup puncak kepala Rachel. Lalu ia menyerahkan hadiah yang ia siapkan pada gadis yang tengah berulang tahun ke dua belas tahun. Rachel menatap hadiah itu dengan air mata yang berlinang."Ini hadiah untukku, Papa?" "Ya...ini untukmu." "Terima kasih, Pa." "Rachel!" Suara itu terdengar dingin dan membuat Rachel dan Randy terpana. Keduanya bertukar pandang, lalu menyiapkan hati mereka untuk menghadapi sebuah perpisahan yang panjang lagi. "Hai,"sapa Randy. Ini kali pertama ia bertemu dengan mantan isterinya sejak bercerai. Isterinya itu tentu saja ia semakin cantik dan sepertinya sangat bahagia dengan suami yang sekarang. Tapi, entah dengan Rachel. Apakah gadis itu bahagia atau tidak. "Jangan berlama-lama di sini. Suamiku pencemburu,"kata Rein. Randy tersenyum kecut."Aku hanya ingin bertemu dengan Rachel, aku enggak akan dekat-dekat denganmu." "Suamiku sangat sayang dengan Rachel, so...jangan berlama-lama." Rein segera pergi meninggalkan Randy dan Rachel. "Papa...." "Iya, sayang...?" "Aku mau tinggal sama Papa,"ucap Rachel dengan nada suara yang sedih. "Bagaimana kalau kamu minta izin sama Mama? Katakan kalau...kamu ingin mengunjungi papa." Rachel menggeleng."Sudah pernah Rachel lakukan, Pa, tapi Padre melarangku." "Karena dia sangat menyayangimu. Tapi, Papa lebih menyayangimu, Rachel." "Rachel tahu itu, Pa. Papa yang terbaik!!" "Terima kasih, Sayang." "Papa sendiri?" "Iya. Tentu saja...." "Dimana isteri Papa?" "Isteri?" Randy melepaskan pelukan mereka. Kini ia menatap Rachel."Kamu menanyakan isteri Papa? Papa belum menikah lagi sayang." "Apa Papa masih mencintai Mama?" Randy tersenyum tipis."Dulu, Papa sangat mencintaimu. Tapi, sekarang...Mama sudah milik Padre." "Papa...carilah seorang teman, agar Papa tidak kesepian. Andai Rachel bisa tinggal dengan Papa...Rachel akan terus bahagiakan Papa." "Teruslah belajar, sayangi orangtua dan...raih cita-citamu, tentu Papa akan sangat bahagia." "Iya,Pa." "Rachel...ke sini, sayang, acaranya akan dimulai!"teriak Rein. Randy harus berbesar hati hanya memiliki waktu yang sedikit bersama sang buah hati. Ia punya hak untuk lebih lama lagi bersama Rachel. Tapi, ia tidak suka berdebat. Lebih baik mengalah saja. "Pa, nanti Rachel hubungi." Rachel mengecup pipi Randy, kemudian melambaikan tangannya."Rachel sayang Papa!" Randy membalas lambaian tangan Rachel dengan hati terluka."Papa juga sayang kamu, Rachel." Saat ini, ia hanya bisa menatap Rachel dari kejauhan. Bukankah seharusnya ia yang  dan di sana mengapit puterinya. Memberikan kecupan, ucapan, serta doa-doa terbaik untuk Rachel. Randy menarik napas panjang, lalu ia memutuskan untuk pergi sebelum hatinya terus terluka. Randy singgah di sebuah kafe yang ia lihat secara tak sengaja. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti dan menikmati minuman hangat sejenak. Ia merasa kesepian. Kedua sahabatnya, Rion dan Randy sudah menikah. Dulu, sebelum Rion menikah ia sering menghabiskan waktu bersamanya karena rumah mereka berdekatan. Randy mengembuskan napas berat. Ia segera mengambil ponsel dan mencoba mengirim pesan pada Rion. Randy : Dimana, Yon? Rion : Di rumah. Randy : capek, Yon. Rion : capek apa Haha. Tidurlah kalau capek Randy : capek sendiri. Rion tertawa terbahak-bahak di rumahnya. Sang isteri pun sampai kaget dibuatnya. Rion : slow, ma bro...kayaknya lagi stres. Randy : lumayan Rion : pergi liburan. Randy : gak sempat. Rion : yaelah payah Randy : liburan kemana? Rion : ke rumah namboru Panjaitan            makan daging ayam sama sayur kol. Randy : kampret. Serius eh. Rion : terserah kemana. Yang penting liburan. Haha Randy : curhat sama Rioner itu enggak pernah               nemukan solusi ya. Rion : nah itu tahu, tapi aku adalah orang pertama            yang kau cari kalau ada masalah. Haha Randy : pret!! Rion : pergilah liburan. Jangan kerja aja.           Cari sesuatu yang baru. Jernih kan pikiran. Randy terdiam usai membaca pesan Rion. Ia menutup ponselnya, lalu mulai memikirkan kata-kata Rion. Mungkin, sebaiknya ia pergi liburan.   ** Ana terbangun dengan mata yang berat sekali. Rasanya ia masih ingin tidur. Sudah satu Minggu ia hanya bermalas-malasan di kost. Kamar dan penghuninya sama-sama tak terurus. Mia dan Thea sudah menyerah untuk menyemangati Ana agar bangkit dan memulai hidup baru. Tapi, sepertinya gadis itu belum siap untuk bangkit. Ponselnya berbunyi dengan keras. Ana menatap layar ponselnya dan nama Ibu tertera di sana. Ia tersentak, lalu mengangkatnya dengan cepat. "Halo, Bu?" "Iya ,Ana...apa kabarmu di sana? Kayaknya seminggu ini kamu sibuk ya? Biasanya kasih kabar terus." "Ehmm...iya, Bu, maaf Ana lupa kasih kabar." "Gimana kerjaan kamu, Ana?" "Ehm...lancar, Bu." "Syukurlah kalau begitu. Kamu lagi dimana ini? Kok senyap banget? Biasanya kalau di kantor kamu, Ibu seringnya denger suara temen kamu telpon-telpon orang." Ana pura-pura tertawa."Eh, Ana lagi di toilet, Bu." "Ana, Ibu mau kasih kabar kalau Minggu depan, Ibu sama Aryo mau pindah rumah." "Loh kenapa, Bu?" "Kan rumah ini masih milik bersama, Ana. Namanya warisan, masih punya Ibu dan adik Ibu. Kemarin kan mau kita bayarin enggak jadi." Ana terdiam, rasanya tega sekali ia membiarkan Ibu dan Adiknya pergi dari rumah yang selama ini mereka tempati. Lagi pula, mereka mau tinggal dimana. "Uang yang Ana kasih kemarin enggak cukup untuk bayarin rumah itu,ya, Bu?" "Nggak cukup,An, itu kan juga kemaren kepake sedikit untuk sekolah Aryo."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD