Eps 3

1831 Words
Waktu 24 jam untuk berfikir dan menentukan pilihannya. Mungkin waktu selama itu akan berjalan sangat lambat bagi mereka yang menunggu seseorang, tetapi bagi Angkasa dan keluarga, bagi Vasha dan semua keluarganya sama sekali waktu yang seperti mencekik. Menikahi Kaella, berarti Angkasa memilih mamanya. Menyelamatkan mamanya dari kasus pembunuhan ini. Membebaskan mamanya dari hukum. Tetapi jika dia menolak dan tetap melanjutkan pernikahannya dengan Vasha yang sudah tertata, berarti dia memilih kehilangan wanita yang telah menjadi cinta pertamanya. Angkasa menyugar rambut, lalu menjambaknya kasar untuk melampiaskan kebingungannya. Rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar keadaan di dalam hatinya sana tidak sesakit sekarang. Tetapi dia tak tega dengan mama yang sudah pasti akan merasa bersalah karna sudah membuatnya begini. Vasha memang bukan cinta pertama, tetapi dia sudah memantapkan hati pada gadis berjilbab itu. Angkasa ingin Vasha yang menemaninya sampai tua nanti, bukan gadis lain yang bahkan dia tak mengenalnya. Menunggu Vasha selama lima tahun, sampai dia selesai kuliah dan kembali ke Indonesia lalu memiliki bisnis sendiri. Sungguh, itu bukan hal yang instan. Dan saat semua sudah di depan mata …. Whuus! Hangus dalam sekejap. Ddrtt … ddrtt …. Lamunan Angkasa buyar oleh suara dering ponsel serta getar yang menyatu dengan meja. Dia merah benda tipis itu, menatap si penelpon lalu ssamenempelkan benda itu di kuping. “Assalamu’alaikum, kak,” sapa seorang gadis di seberang sana dengan suara lembut, khas dia. Angkasa memjam merasakan getar yang begitu perih hadir di dalam hatinya sana. Suara yang sudah ia bayangkan akan menjadi pembuka di setiap paginya, mungkin selamanya akan menjadi bayangan saja. “Wa’alaikumsalam, Va,” balasnya setelah lama terdiam. “Kak Angkasa baik-baik saja, kan?” Angkasa menekan kedua ujung mata dengan helaan nafas panjang. dia tak mengatakan apa-pun, tapi pasti Vasha tau keadaannya seperti apa. “Aku tau, kak, ini … ini berat untuk kita berdua. Jika boleh egois, aku … aku ingin dipertahankan ….” Lalu suara itu menghilang, terjeda. “Tapi aku juga tau kalau orang tua itu adalah orang yang paling utama untuk kita. Terlebih ibu ….” Angkasa makin erat menggenggam ponsel mendengar isakan tangis Vasha. Dan ini adalah pertama kalinya dia mendengar suara serak serta tangis Vasha. “Sahabat Rasulullah pernah bertanya. Siapa orang yang harus aku hormati di dunia ini, ya Rasul? Lalu Rasul menjawabnya; ibumu. Sahabat kembali bertanya; Setelah itu, siapa? Rasul menjawab lagi; Ibumu. Sahabat bertanya lagi, kemudian siapa lagi, ya Rasul? Jawaban sama dari Rasul; Ibumu baru setelah itu, bapakmu.” Terdengar helaan nafas panjang dari seberang sana. “Aku … aku baru saja shalat istikharah, kak. Dan aku … aku ikhlas.” “Va,” seru Angkasa dengan suara tertahan. “Aku ikhlas memberikan semua persiapan pernikahan yang sudah kita susun ini untuk kak Angkasa laksanakan dengan Kaella.” Isakan itu terdengan, tapi kemudian diam karna sudah pasti Vasha menutup bagian bawah ponselnya. “Vasha, aku … aku mencintaimu.” Aku Angkasa dengan kedua mata yang memerah. “Iya, kak, aku bisa melihat ketulusan kak Angkasa. Aku percaya kalau kak Angkasa serius dengan hubungan ini. Tapi sekali lagi, Kak, aku nggak mau egois. Aku juga nggak mau mama masuk ke penjara dalam hitungan waktu yang lama.” Angkasa menjambak rambut dengan kedua mata yang memejam. Dia membiarkan dua bulir menetes mengaliri pipi putihnya. Sakit di dalam d**a sana teramat luar biasa rasanya. Sesuatu yang sudah ada digenggaman, lalu dipaksa untuk melepaskan. “Kak mungkin kita memang tidak berjodoh. Aku juga merasakan sakit yang sama, tapi jika ini memang jalan yang sudah di gariskan oleh Allah, aku yakin semuanya pasti akan baik-baik saja. Aku yakin Allah juga akan menjaga hati kita berdua, menghilangkan rasa sakit hati ini dengan berjalannya waktu. Entah … akan berapa lama.” Di sana Vasha menutup mulut, berusaha untuk tidak menunjukkan kerapuhannya. “Mari kita kubur semuanya mulai sekarang, kak. kita sudahi hubungan ini dengan baik-baik dan secara damai. Aku kenal Kaella, dia gadis yang baik dan aku yakin … lambat laun pasti kak Angkasa akan bahagia … sama dia.” Tak bisa lagi untuk menahan tangisnya, Vasha memejamkan mata. “Aku … aku mencintai kak Angkasa. Terima kasih sudah pernah menjagaku, terima kasih sudah pernah menyayangi aku. Mari berpisah.” “Vasha, enggak, Va. Aku nggak mau pisah sama kamu. aku—” “Kak Aku paling tidak bisa berbahagia di atas penderitaan orang lain. Jalan hidup setiap manusia sudah ada garisnya sendiri. Jika memang kita berjodoh, pasti akan ada jalan, tanpa harus membuat hati seseorang terluka. sudah dulu ya, kak. Assalamu’alaikum ….” “Vasha, Va, Vasha!” Vasha menarik ponsel, menekan tombol off di sini kanan dan meletakkan ponsel itu di atas meja. Dia melepas mukena yang masih menempel di kepala. Meletakkannya begitu saja di atas sajadah lalu menjatuhkan tubuh di atas ranjang tidurnya. Vasha menyembunyikan wajah di bantal, menumpahkan tangis di sana. Lewis yang mendengarkan obrolan itu sejak awal, membuka pintu kamar Vasha lebih lebar. Dia duduk di tepi ranjang dan mengusap punggung adiknya yang bergetar kencang. “Aku tau ini nggak mudah, dek,” ngomongnya. “Tapi aku juga tau, pilihan kamu ini nggak salah.” Vasha makin menangis mendengar kalimat kakaknya. Sungguh, mengikhlaskan semua itu tidak semudah narik kolor celana. Dia bangun, langsung memeluk kakaknya, menangis di dekapan Lewis. “Hatiku sakit banget, kak. sakit banget … ya Allah ….” Lewis membalas pelukan adiknya erat. Mencium puncak kepala Vasha dengan rasa sakit yang juga menyalur ke hatinya. Ya, dulu pernah mengingatkan Angkasa untuk tak mendekati Vasha, untuk tak menyakiti adik yang begitu dia jaga. Siapa sangka, justru takdir Tuhan lah yang seperti menghempaskan semuanya. “Pindah kuliah di Jogja aja, Va, tinggal bareng sama kakak di sana.” Ajak Lewis, yang tantu saja tak mau melihat adiknya semakin terpuruk. Vasha mengangguk dalam pelukan. Dia memang perlu menjauh, perlu mengobati luka dengan menyendiri. ** Mama Selly menangis di dekapan papa Awan. “Semua salahku … kenapa aku nggak mati aja pas kecelakaan kemarin sih, Pa. Aku udah hancurin kebahagiaan Angkasa dan Vasha. Aku melukai banyak orang … aku—” “Sayang, ssttt ….” Awan makin erat mendekap istrinya. Dia mengecup puncak kepala Selly dengan kedua mata yang memerah juga. Ingin rasanya menyalahkan diri sendiri tentang semua ini. Andai membiarkan Selly masuk ke penjara da dia mengeluarkannya dengan menebus beberapa uang, itu bisa dia lakukan. Tetapi setelahnya, semua keluarganya akan hidup di pinggir jalan. Termasuk Galaksi yang masih bisa meneruskan kuliah atau enggak. Lalu perusahaan milik dia yang akan lenyap begitu saja. Dan bagaimana dengan keadaan kesehatan Selly? Astagfirullah …. ** Angkasa keluar dari kamar, tatapannya bertemu dengan Galaksi yang ada di ruang tengah lantai atas. Di depan sofa sana, tepatnya di atas meja. Tiga tumpuk kartu undangan dan buku catatan nama-nama keluarga, sahabat serta teman keluarga Vasha dan keluarga Angkasa. Dia melangkah mendekat, tangannya mengambil selembar. Ada yang kembali teremas menatap foto dia dan Vasha yang terpampang di depan kartu itu. Nama ASA menjadi pembuka kartu dengan ukiran warna emas yang berkesan mewah. “Kak,” seru Galaksi. “Bakar aja.” Angkasa langsung beranjak pergi, menuruni anak tangga. Galaksi mendesah kasar, menyugar rambut sembari menatap punggung kakaknya yang menghilang. Dia ikut merasakan kesedihan ini juga. Angkasa masuk ke kamar mamanya, dia berusaha menyembunyikan rasa yang sebenarnya sudah tak bisa lagi dijelaskan sehancur apa. “Sa,” seru mama Selly. “Kamu—” “Aku biasa aja, Ma. Nggak masalah besok nikah sama Kaella. Dia … dia teman Vasha. Dia baik kok.” Mama Selly makin menangis, dia mengusap kedua matanya. “Ya Allah ….” “Aku mau ke KUA, mau ngurus perubahan namanya.” Pamitnya, langsung berbalik dan melangkah pergi. Angkasa menunduk, mengusap embun yang hampir menetes di kedua pipi. jika memang jalannya harus seperti ini, dia akan melewatinya dengan cara menikmati. ** “Angkasa Kalaga Efendi!” “Saya.” “Saya nikah dan kawinkan engkau dengan Kaella Nerana Husia binti Agung Sumarja dengan maskawin seperangkat alat sholat serta uang senilai dua ratus juta dan rumah beserta seluruh isinya dibayar tunai.” “Saya terima nikah dan kawinnya Kaella Nerana Husia binti Agung Sumarha dengan maskawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana para saksi? Sah?” “SAH!” “Alhamdulilahirobil’alamin ….” Acra ijab kobul serta resepsinya berjalan dengan lancar. Keluarga Vasha datang memberikan ucapan selamat dengan doa yang tentu saja baik, tetapi Vasha tidak hadir. Siapa pun, mungkin akan memilih tak hadir seperti Vasha ini, dari pada hadir mengacau dan menyakiti hati sendiri. Pukul 11 malam asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Angkasa mendorong kursi roda Kaella. Membawanya masuk ke kamar hotel yang sudah disiapkan untuk pengantin. “Mau saya bantu melepas asesorisnya, non?” tawar mbak Irma. Kaella mengangguk dengan senyum tipis. “Boleh, mbak.” Kaella menatap pantulan wajahnya di cermin depan. Wajah putihnya yang full make up terlihat sangat berbeda dengan kain putih yang menutupi kepala. Ini adalah busana pernikahan milik Vasha, jadi sudah pasti muslim, jauh berbeda dengan pilihannya. “Non Kaella mau saya siapkan air hangat?” kembali mbak Irma menawarkan. Kaella hanya mengangguk. Begitu mbak Irma masuk ke kamar mandi, dia mulai melepaskan jilbab lalu meraih tissu dan membersihkan wajah. Mungkin tiga puluh menit, dia masuk ke kamar mandi. Tepat saat Kella keluar dari kamar mandi, Angkasa membuka pintu kamar. Angkasa melangkah masuk dengan tangan yang mengendurkan dasi. Tatapannya langsung tertuju ke arah Kaella yang juga menatapnya. Cuek banget Angkasa melepaskan jas, melemparkannya begitu saja di sofa. Menganggap seperti tak ada orang lain, Angkasa ngeloyor masuk ke kamar mandi tanpa menyapa Kaella yang masih duduk di kursi roda depan pintu kamar mandi. Kaella meneguk ludahnya, tentu saja merasakan sakit. Cckk, tapi dia kemarin lebih sakit ketika harus kehilangan Dimas. Dia mengeringkan rambutnya sendiri dengan sedikit kesusahan. Ini adalah kali pertama dia harus berusaha sendiri dengan bantuan kursi roda. Kaella beberapa kali menoleh, menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Wajar, kan, kalau dia takut? Dia adalah seorang wanita. Kaella melirik hapenya, ini sudah jam satu dini hari dan suaminya itu belum keluar dari kamar mandi. Tak pedulikan itu, dia beranjak dari kursi roda. Berusaha dengan susah payah untuk mengistirahatkan diri di atas ranjang. “Aaa!” jerit Kaella terkejut saat tubuhnya terangkat dengan tiba-tiba. Kedua tangan Kaella langsung melingkar di leher Angkasa, karna ternyata dia diraih. Lalu berada dalam gendongan Angkasa. Untuk sesaat tatapan keduanya beradu, cukup lama. “Ang—Angkasa—” “Jujurly, gue nggak bahagia dengan pernikahan ini. Tetapi karna semua udah terjadi, tak ada pilihan lain selain menikmatinya.” Ucapan yang biasa saja, tetapi terdengar menusuk di dalam hati Kaella. “Jangan pernah bermimpi lo akan bahagia setelah merusak kebahagiaan gue!” Kaella meneguk ludah mendengar kalimat yang seperti ‘warning’ baginya. “Angkasa!” pekiknya saat dia ditidurkan di atas ranjang. Lalu di sisi ranjang, Angkasa yang hanya bertelanjang d**a dengan handuk melilit di pinggang itu tersenyum menyeringai. Pelan tangannya menarik handuk, membukanya dan melamparkan ke lantai. “Gue akan menikmati jalan yang tidak pernah gue pilih ini.” ucapnya sebelum naik ke atas ranjang. ** Lanjutannya bisa kalian baca di k********a ya gaes ... sangkyu

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD