19 AGUSTUS 2011
ALJAVAR GANINDRA ADHINATA
___________________________________
BEBERAPA hari belakangan ini, aku sibuk mengurus lomba tujuh belasan yang diadakan anak-anak BEM. Aku yang awalnya hanya diserahi bagian pembuatan banner dan pamflet, kini sudah mulai beralih profesi sebagai tukang wira-wiri. Sebenarnya acara yang diadakan tidak seperti acara tujuh belasan pada umumnya. Hanya ada lomba membuat film tentang kemerdekaan, pembacaan puisi, lalu ada juga tari yang harus mencakup dari Sabang sampai Merauke. Ada banyak peserta saat audisi dan hanya akan diambil lima besar dari setiap kategori. Malam puncaknya nanti malam. Sampai-sampai, aku tidak sempat melihat Lovia atau menemui dirinya.
Aku masih sibuk mengurus banner yang akan dipasang di panggung. Dan setelah selesai dipasang, barulah bisa menyelesaikan pekerjaan yang lain. Bang Dika juga sudah mempercayai aku untuk menggantikannya walau aku bukan wakil Presiden BEM. Aku hanya manusia yang berguna bagi Nusa dan Bangsa, hehe. Sejauh mata memandang, aku hanya melihat beberapa anak BEM yang sibuk dengan tugas masing-masing. Ada juga Alea yang sejak tadi menempel padaku seperti upil. Benar-benar sangat mengganggu.
"Makan dulu, break!" Ucap salah satu orang yang menjabat sebagai seksi konsumsi.
"Makan yuk, Ganin!" Ajak Alea sambil menggandeng tanganku. Aku hanya diam saja, mengikuti kemana Alea membawaku. Supaya cepat!
Semua anak-anak BEM mendekat ke arah sebuah plastik besar yang ada di atas meja dan mengambil bungkusan nasi padang masing-masing. Aku pun mengambil satu, lalu ikut bergabung dengan ketiga temanku, Arman, Rian, dan Farhan. Sudah lumayan jarang kami bersama karena mempunyai kesibukan masing-masing. Biasanya, kami akan hang out bersama, pergi nongkrong ke kedai kopi, atau pergi ke gunung/pantai untuk camping. Terkadang hal seperti ini bisa membuat pikiran yang awalnya penuh, menjadi sedikit rileks.
"Mana si Alea?" Tanya Arman yang celingukan mencari keberadaan Alea. Teman-temanku ini memang fans beratnya Alea, mungkin. Katanya karena cantik luar biasa. Walaupun aku tidak menyangkal hal itu, tetapi nyatanya Lovia lebih menarik dari seorang Alea yang setiap harinya bisa menolak berbagai macam jenis laki-laki.
"Enggak tahu," jawabku seadanya lalu membuka bungkus nasi padang dan memakannya dengan tangan setelah cuci tangan menggunakan air yang masih setengah di botol air mineral punyaku.
"Hubungan Lo sama Alea baik-baik aja, 'kan?" Tanya Farhan tentang Alea lagi.
Aku menganggukkan kepalaku pelan lalu kembali fokus makan. Selama ini hubungan kami baik-baik saja, hanya saja tidak pacaran seperti dulu. Aku pernah suka padanya, sangat. Tetapi sayangnya, Alea menyia-nyiakan hal itu. Jadi, bukan salahku jika akhirnya aku mempunyai perempuan idaman lain. Walaupun perempuan itu tidak mengidamkan aku sebagai seorang pendamping, mungkin.
"Gue dengar dari beberapa Maba Ilmu Komunikasi, Lo waktu acara seminar itu masuk ke kelas mereka, ya? Salah kelas?" Tanya Rian yang membuat Arman dan Farhan menatap ke arahku.
Aku kembali mengangguk, "enggak salah kelas sebenarnya. Gue cuma ngeles aja dari dosennya. Beberapa hari itu gue enggak lihat Lovia, dan akhirnya gue datang ke kelasnya. Eh, tahunya dosennya masuk."
Aku melihat ekspresi tidak suka dari ketiga temanku. Aku tidak tahu apa alasan mereka lebih suka aku dengan Alea daripada aku dengan Lovia. Jika dipikir-pikir, mereka 'kan fans berat dari Alea. Bukannya bagus jika aku tidak akan pernah balikan dengan Alea lagi? Sehingga, mereka bisa mendekatinya.
"Lo enggak sakit hati apa ditolak mentah-mentah di depan orang banyak kaya waktu itu? Rekor Lo sebagai cowok anti ditolak cewek dipertaruhkan karena kejadian itu tahu," ucap Farhan yang ditanggapi dengan anggukan kepala dari Rian dan Arman.
Aku hanya tertawa, "bagi gue, rekor kaya gitu enggak penting. Namanya juga suka, jadi wajar kalau berjuang walaupun belum kelihatan hasilnya. Lagipula, selama ini gue terlalu mudah mendapatkan perempuan. Gue enggak merasa berjuang keras untuk membuat seseorang jatuh cinta sama gue."
Arman, Rian, dan Farhan, hanya menggeleng tidak percaya. Mungkin, aku yang sering berkencan dengan banyak perempuan tiba-tiba ingin berjuang mendapatkan seorang perempuan yang jelas-jelas tidak menyukaiku. Aku pun tidak paham dengan jalan pikiranku sendiri. Tetapi, itulah kenyataannya. Aku hanya ingin mendapatkan apa yang aku inginkan. Ingin berjuang juga semampuku agar bisa mendapatkan dirinya.
"Jadi, cewek itu cuma sekedar tantangan buat kamu?"
Aku menoleh ke arah Alea yang entah datangnya dari mana, "ya enggak lah! Masa gue jadi-in cewek kaya Lovia sebagai tantangan doang. Gue suka sama dia, karena dia beda sama perempuan pada umumnya."
Alea tersenyum sinis, "kamu anggap aku sama kaya perempuan pada umumnya? Hah?"
Aku menghela napas panjang, "gue enggak ngomong apa-apa soal itu 'kan, Alea? Lo enggak sama, tapi Lo juga enggak jauh beda. Lo tahu 'kan kalau gue udah enggak suka sama Lo? Jadi, please, jangan berlaga kaya Lo punya gue dan gue punya Lo. Kita berdua udah beda, gue Javar dan Lo Alea. Kita enggak sama lagi, gue bukan sweety dan Lo juga bukan sweety. Sadar belum?"
Walaupun terdengar kasar, tapi aku harus menyampaikan kepada Alea. Selain agar kami bisa menjaga jarak, dia juga harus move on dariku. Alea memang terlihat mencintaiku, tetapi aku sudah tidak mencintainya. Alasannya sudah jelas, karena dia selingkuh.
Aku beranjak dari dudukku, melihat Lovia yang berjalan keluar dari arah kampusnya.
"Gue pergi bentar," pamitku tanpa menunggu persetujuan mereka.
Lovia berjalan menuju ke samping halte bus sendirian. Berulang kali mengecek ponselnya sambil berjalan. Aku mulai mendekatinya yang belum sadar dengan kehadiranku di sini. Aku berhenti tepat di depannya, menghalangi sinar matahari mengenai wajahnya. Lovia mulai mendongak, menatapku dengan kedua bola matanya yang naik ke atas.
"Apa?" Tanyanya to the point, dengan wajah setengah dongkol tentunya.
Aku menggeleng pelan, "nunggu siapa sih? Kakakmu atau pacarmu? Kamu belum punya pacar 'kan?"
"Kalau aku punya pacar, kamu mau berhenti gangguin aku?" Tanyanya dengan melipat kedua tangannya di d**a.
"Tentu saja, tidak!" Jawabku mantap.
"Aneh,"
Aku tertawa, "masih pacaran ini, ada kemungkinan untuk putus. Kita 'kan enggak tahu jodohnya siapa. Siapa tahu, jodohmu adalah aku."
Lovia tidak menjawab lagi. Dia kembali sibuk bermain ponsel, sampai ada sebuah motor yang berhenti tepat di depan kami berdua. Aku melihat laki-laki itu dari atas sampai bawah. Apa selera Lovia seorang Abdi negara? Maksudku, apakah Lovia penggila seragam sampai tidak mau melirik ke arah orang-orang sepertiku?
Laki-laki itu membuka helm-nya, memperlihatkan wajah yang tampan. Aku mengatakan itu karena memang benar. Tatapannya bahkan mampir ke arahku. Jika dia benar-benar pacar Lovia, aku harus apa? Akan aku katakan bahwa aku temannya saja.
"Kamu, yang waktu itu 'kan? Yang ikutan demo? Yang pintar ngomong itu?"
"Eh," jawabku atas pertanyaannya. Aku ingat dengan laki-laki di depanku ini.
"Ingat enggak?" Tanyanya antusias.
Aku mengangguk mantap, "makasih minumannya waktu itu, Bang."
"Santai aja!" Jawabnya kepadaku lalu kembali fokus kepada Lovia. "Kamu kenal sama dia?" Tanya laki-laki itu kepada Lovia.
Lovia menatapku sekilas, "hm, iya."
"Pacarmu, Dek?" Tanya laki-laki itu lagi kepada Lovia. Dari pertanyaan itu saja aku bisa tahu jika laki-laki di depan kami bukanlah pacar Lovia.
"Bentar deh, Abang bukan pacarnya, 'kan?" Tanyaku to the point kepada laki-laki itu yang membuatku mendapatkan hadiah injakan gratis dari Lovia.
"Enggak lah," jawabnya setengah tertawa.
Lovia menarik lengan laki-laki itu dengan wajah kesal, "ayo pulang, Bang. Malah ngapain sih, pakai acara ngobrol segala."
"Ya udah, balik duluan ya." Pamit laki-laki itu kepada-ku.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Sepertinya, laki-laki itu suka padaku. Jadi, tidak akan sulit untuk melewatinya ketika meminta restu untuk menikah dengan Lovia suatu saat nanti. Karena, calon Abang ipar-ku sudah menyukai aku.
°°°