20. Cie, Punya Pacar!

1174 Words
19 AGUSTUS 2011 DIANDRA LOVIA SARADIKA _______________________________ LAGI, Abang membahas soal Javar. Setelah melihat Javar bersamaku, Abang jadi memujinya berulang kali. Padahal aku sudah mengatakan jika aku dan Javar tidak punya hubungan khusus. Kami, hanya sekedar senior dan junior. Tidak lebih dan tidak kurang. Lagipula, siapa yang mau mempunyai hubungan dengan orang tidak jelas semacam itu. Javar orang yang aneh, tidak habis pikir aku dengan sikapnya selama ini. Beberapa hari yang lalu dia masuk ke kelasku, mengatakan kepada dosen jika dia salah kelas. Pada kenyataannya, dia hanya sedang menggodaku. Entah aku yang terlalu percaya diri, atau memang dia orangnya begitu. Motor Abang berhenti di depan sebuah warung bakso. Aku hanya mengikuti Abang tanpa berniat untuk bertanya. Tumben Abang mengajak aku makan di luar ketika pulang dari kampus begini. Biasanya buru-buru mengantar sampai rumah agar aku bisa makan makanan rumahan. Lagipula, biasanya Abang harus kembali ke kantor lagi. Takut ada tugas penting. Sepertinya, untuk kali ini, Abang lumayan santai. Aku memilih tempat duduk yang ada di pojokan, sedangkan Abang sedang memesankan dua porsi makanan untuk kami berdua. Aku kembali mengeluarkan ponselku, tidak ada notifikasi apapun. Baguslah jika dia tidak memberikan pesan seperti kemarin-kemarin. Ah, mengapa aku jadi memikirkan Javar. Padahal aku sudah bertekad untuk tidak jatuh cinta dengan laki-laki sepertinya. Karena jujur saja, aku tidak suka cowok tukang demo. Mereka terlalu merepotkan. "Mikirin apa? Javar, ya?" Tanya Abang dengan wajah menggoda. "Cie, punya pacar!" Sambungnya lagi. Aku menghela napas panjang lalu menatap Bang Syail, "mau berapa kali aku bilang? Aku sama dia itu enggak ada hubungan apa-apa, Bang. Dia-nya aja yang aneh!" "Lho, kok jadi marah-marah? Abang 'kan cuma bercanda. Lagipula enggak masalah kalau suka, mah. Kayanya dia anak baik-baik." Ucap Bang Syail memberikan pendapatnya. Aku menggeleng dengan cepat, "sok tahu, Abang. Dia suka ikut demo dan Abang tahu itu. Kenapa bisa-bisanya dibilang anak baik-baik! Menurutku, anak baik-baik itu yang tidak pernah menyulitkan dirinya sendiri. Kenapa enggak belajar aja sih? Kenapa harus ikutan acara enggak penting semacam itu? Biar dikira famous?" Abang tersenyum karena mendengar semua keluhanku, "setiap orang 'kan berhak untuk menyuarakan apa yang dia ingin suarakan. Menurut Abang, Javar enggak sepenuhnya salah. Dia keren lho kalau udah berdiri sambil bawa toa. Dia leader yang oke dan enggak pernah memprovokasi teman-temannya. Demo enggak semuanya berakhir rusuh, Dek. Enggak semuanya juga membuat celaka. Mereka sebagai mahasiswa hanya mem—" "Udahlah! Ngapain ngomongin soal Javar lagi," potongku. Abang hanya tersenyum, tetapi tidak melanjutkan ucapannya. Minuman kami datang dan tiba-tiba kami hanya diam sambil menikmati minuman masing-masing. Aku tahu Bang Syail bukanlah orang yang mudah sekali men-judge seseorang. Abang juga bukan orang yang selalu memilah orang yang baik atau orang yang buruk. Abang selalu menganggap semua orang memiliki tujuan hidup masing-masing. Kita tidak bisa menyalahkan atau membenarkan. Toh, apa yang menurut kita benar, belum tentu benar di mata orang lain. Begitupula sebaliknya. Sampai akhirnya makanan kami datang, semangkuk bakso kuah untukku dan mi ayam bakso untuk Abang. Terkadang Abang menjelaskan tentang beberapa hal tentang hidup yang katanya akan aku temui selama masa kuliah. Abang tidak pernah mengatakan dirinya orang yang serba tahu, tetapi Abang adalah orang yang selalu memberikan apapun yang aku butuhkan. "Abang pernah suka sama seseorang?" Tanyaku kepada Abang yang baru selesai dengan makannya. Abang mengangguk, "pernah dong! Jatuh cinta, wajar bagi orang yang masih hidup." "Abang memperjuangkannya?" Tanyaku lagi. Abang menggeleng, "berjuang yang bagaimana? Mengatakan padanya tentang perasaan Abang?" Aku hanya mengangkat kedua bahuku bingung, aku juga tidak paham bagaimana seseorang yang memperjuangkan cintanya atau tidak. Aku penasaran, mengapa mudahnya orang-orang mengatakan jika sedang berjuang mendapatkan cinta seseorang. "Menurut Abang," ucap Abang yang kali ini menatapku. "Perjuangan cinta itu ketika mengajaknya menikah. Itu saja! Perjuangan untuk mendapatkan dirinya dan sekedar mengajak untuk pacaran, itu bukan perjuangan yang sesungguhnya. Jika hanya sekedar berpacaran, itu namanya hanya kesepakatan antara perempuan dan laki-lakinya. Tetapi menikah, adalah sebuah perjuangan yang lebih tinggi. Perjuangan mendapatkan restu dari orang tua dan tentunya..." Abang menunjuk ke atas. "Allah..." Aku menatap Abang, "tapi enggak semua laki-laki yang mengajak menikah itu baik, Bang." Abang mengangguk, "jelas! Enggak semua orang yang mengajak menikah baik, enggak semua orang yang mengajak pacaran tidak baik. Tapi, semua itu soal caranya 'kan. Mau menikah atau hanya sekedar pacaran. Sama halnya dengan orang yang demo, tidak semua orang yang demo itu tidak baik." Aku menatap Abang kesal, lagi-lagi disangkut-pautkan dengan Javar. Apa sih yang membuat Abang suka pada laki-laki tidak jelas itu. Maunya apa saja aku tidak tahu. Dia hanya bilang suka padaku. Tidak mengatakan soal ingin pacaran atau menikah. Tetapi, apa orang seperti itu mau serius denganku? Maksudnya, apa orang seperti Javar bisa mengajak perempuan menikah? "Jodoh di tangan Allah... Mau kamu lari kemanapun, kalau dulu namanya Javar yang disebut sebagai jodohmu dan sudah menjadi perjanjianmu dengan Yang Maha Kuasa, kamu bisa apa?" Ucap Bang Syail sambil tertawa kecil. Bang Syail beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju Bapak penjual untuk membayar makanan kami. Setelah itu, kami pulang dengan pikiranku yang bercabang-cabang. Apa yang Abang katakan benar? Tentang tidak semua orang tukang demo buruk? Lima belas menit kemudian, kami sampai di depan rumah. Abang tidak ikut masuk ke dalam rumah karena harus pergi ke kantor terlebih dulu. Sedangkan aku memilih untuk masuk ke dalam rumah walaupun keadaan rumah masih sepi. Entah di mana Ayah dan Bunda, tetapi akhirnya aku memilih untuk duduk di sofa ruang tamu sendirian. Helm aku letakkan di atas meja sedang aku meluruskan kaki di atas sofa. Mumpung tidak ada orang. Aku kembali memikirkan tentang Javar. Sebenarnya ini tidak penting sama sekali. Tetapi sikapnya yang terkadang aneh, membuatku sedikit sebal—tidak jarang aku ingin juga tertawa karena sikap bodohnya itu. Lalu, apa benar Javar menyukaiku dengan tulus? Maksudnya, tidak ada maksud lain dari perasaannya kepada-ku? "Dia itu anak yang baik. Abang pernah lihat dia ngasih minumannya ke orang lain. Sedangkan Abang tahu banget, kalau dia juga kehausan. Setelah itu, Abang kasih dia minum. Makanya dia kenal Abang." Aku menghela napas panjang, kenapa tiba-tiba kepikiran Javar? Jika Javar adalah anak yang baik, dia tidak akan pernah ikut demo. Bagiku, tidak semua masalah harus diselesaikan dengan unjuk rasa. Menurutku juga, masalah lebih baiknya di diamkan saja, agar tidak menjadi lebar. Tetapi itu pendapatku. Aku tidak peduli dengan pendapat orang lain. Karena kita masing-masing, menggunakan sudut pandang yang berbeda. Aku lebih suka dunia tenang tanpa adanya demo, hanya itu saja keinginanku. Sehingga, Mahasiswa maupun Abdi negara, aman tinggal di negaranya sendiri. Setidaknya, aku sudah berusaha untuk tidak pernah jatuh cinta kepada Javar. Jika Abang mengatakan hal yang baik-baik tentang Javar atau tidak semua tukang demo buruk, maka aku tidak akan menyangkalnya atau mengiyakannya. Aku tetap kepada prinsipku. Aku tidak pernah suka dengan laki-laki tukang demo. Hanya itu! "Jangan terlalu membenci sesuatu. Kalau suatu saat kamu suka, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, kamu akan merasa malu tapi akhirnya mengakuinya. Dan kedua, kamu akan merasa gengsi untuk mengakuinya dan akhirnya memilih untuk memendam semuanya. Opsi kedua adalah yang bahaya, karena gengsi akhirnya tidak mengakui. Sakitnya jadi double-double." "Lovia... Ngapain sih mikirin omongan Abang! Stop! Semua akan baik-baik saja. Kamu enggak akan suka Javar, selamanya!" °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD