21. Besok pun Enggak Suka!

1254 Words
23 AGUSTUS 2011 ALJAVAR GANINDRA ADHINATA ___________________________________ AKHIRNYA kuliah hari selesai juga. Aku sudah bosan duduk berjam-jam dan mendengarkan dasar materi dari apa yang akan kami lakukan pada semester ini. Mungkin akan lebih menyenangkan jika mata kuliah praktik lapangan segera dilakukan. Tetapi semua itu harus melewati banyak prosedur yang ditetapkan oleh dosen pengampu mata kuliah tersebut terlebih dahulu. Sebagian besar anak teknik memang lebih menyukai terjun lapangan secara langsung ketimbang duduk di dalam ruangan dan mencatat materi yang diberikan. Katanya, materinya lebih nyantol jika langsung melakukan. Aku tidak langsung pulang setelah kuliah, karena jujur saja aku bukan mahasiswa kupu-kupu. Kampus sudah seperti rumah kedua yang nyaman untuk ditinggali, bahkan sampai larut malam. Biasanya, jika ada kegiatan atau rapat BEM, bisa sampai tengah malam. Tetapi menurutku, semua itu seru dan meninggalkan kenangan yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan selama hidupku. Katanya, pengalaman adalah guru terbaik. Maka dari itu, aku suka mengikuti berbagai macam organisasi. Di mana aku bisa bertemu dengan banyak orang, dari latar pendidikan serta pemikiran yang berbeda. Arman merangkul pundakku dari belakang dan ikut berjalan menuju ruangan BEM yang berada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Rasanya ingin datang ke kelas Lovia, tetapi tampaknya Lovia tidak ada kelas hari ini. Jadi, aku memutuskan untuk langsung datang ke ruangan BEM saja. Menyelesaikan tugas lebih berfaedah daripada pulang lebih awal. Jika tugas sudah dibawa ke rumah, akan kalah dengan keinginan untuk tidur. Apalagi setiap kali melihat kasur, seperti sedang dipanggil untuk segera tidur. "Lah sepi," ucapku ketika membuka pintu ruangan BEM yang sepi tidak berpenghuni. Untunglah aku punya kunci cadangan dari ruangan ini, sehingga bisa masuk dengan leluasa. Arman melongokkan kepalanya ke dalam ruangan, "pada kuliah kali, Jav? Lo ada perlu sama Bang Dika, enggak?" Aku menggeleng, "perlu apaan?" "Kali aja! Biasanya Lo kalau datang kesini langsung deh lupa sama gue dan yang lain karena keasikan sama Bang Dika." Tandas Arman yang memilih untuk masuk terlebih dahulu. Aku menaikkan kedua alisku, "lah, Lo cemburu?" "Enggak gitu juga maksud gue. Ah, susah ngomong sama Lo." Kesal Arman yang hanya aku tanggapi dengan tertawaan. Kami berdua duduk di lantai karpen dan mengeluarkan laptop serta buku masing-masing. Daripada melakukan kegiatan tidak berguna, lebih baik mengerjakan berbagai macam laporan yang belum terselesaikan karena sibuk dengan kegiatan BEM kemarin. Tidak lama kemudian, Farhan dan Rian datang dengan membawa kopi serta gorengan. "Laporan mana dulu yang mau kita kerjakan?" Tanya Farhan yang sudah membuka salah satu buku untuk dia baca. "Perancangan perkerasan jalan aja dulu. Gue ada beberapa sumber juga dari buku yang Rian pinjam di perpus kemarin." Jawabku memberikan keputusan yang langsung mereka setujui. Kami kembali fokus dengan laptop dan buku, saling bertukar pendapat tentang laporan yang akan kami buat. Walaupun terbilang malas kuliah, kami selalu mengerjakan tugas. Aku dan teman-temanku tetap berusaha untuk melakukan yang terbaik demi masa depan kami semua. Nakal boleh saja, tapi jangan sampai berpengaruh kepada masa depan dan uang orang tua yang sudah dikeluarkan untuk sekolah kami. "Jenis perkerasan jalan, apaan?" Tanya Rian yang bertugas sebagai juru ketik dan lainnya membaca sambil menyimpulkan bersama. "Flexibel pavement atau perkerasan lentur." Jawab Farhan. "Yang kedua, Rigid pavement atau perkerasan kaku." Sahut Arman. "Terakhir, Composite pavement atau gabungan dari Rigid dan Flexibel pavement." Imbuhku. Tidak sengaja aku menatap ke arah pintu di masa seorang perempuan baru saja lewat. Kalau tidak salah, itu adalah Lovia. Tetapi bukankah dia sedang tidak ada jadwal kuliah hari ini? Aku sudah melihatnya di jadwal. Diperkuat dengan dosen pengampu mata kuliah tersebut sedang ada dapat di fakultas. Ah, aku benar-benar sudah gila. Bagaimana mana aku bisa se-detail ini mencari informasi untuk mengetahui semua kegiatan Lovia. "Perbedaan antara Flexibel pavement dengan Rigid pavement, apa?" Tanya Rian lagi. "Bentar ya, gue keluar dulu." Pamitku kepada teman-temanku yang hanya ditanggapi dengan saling pandang. Sayangnya aku tidak peduli, aku langsung keluar sebelum Lovia jauh. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, mencari kemana Lovia melangkah. Sampai akhirnya aku melihatnya sedang berdiri di depan papan pengumuman. Aku tersenyum sendiri setiap melihatnya. Rasanya nyaman dan menyenangkan ketika melihat dia setiap hari. Katakan saja aku sudah gila, tetapi semua orang juga berhak untuk jatuh cinta kepada siapapun. Aku berdiri tepat disampingnya tanpa bicara apapun. Sama sepertinya, dia hanya diam sambil membaca tulisan di papan pengumuman. Walaupun aku sangat yakin jika sebenarnya Lovia tahu yang berada disampingnya adalah aku. Lovia beranjak, hendak meninggalkan aku. Tetapi aku sudah menahannya, memegang pergelangan tangannya. "Apa-apaan sih! Enggak sopan!" Ketus Lovia dengan menghempaskan tanganku. Aku hanya tersenyum tidak enak lalu menatapnya yang memasang wajah tidak suka, "maaf ya, tadi reflek gitu aja. Langsung pegang tangan kamu, soalnya kamu mau pergi." Lovia melipat tangannya di d**a lalu menghela napas panjang, "untuk hari ini aja Kak, jangan gangguin aku bisa enggak?" Aku menggeleng dengan cepat, "aku enggak pernah gangguin kamu, Lovi. Aku cuma mau sedikit lebih dekat dengan kamu." "Mau Kakak apa sih?" Tanyanya yang membuat kerutan di dahiku. Iya, apa yang aku mau sebenarnya? Aku menatapnya dalam-dalam dan mencari kemauanku selama ini dari mendekati Lovia. Apakah aku ingin menjadikan Lovia seorang pacar? Ah, aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Tetapi aku selalu yakin setelah aku melihatnya. "Aku mau menikah dengan kamu," ucapku spontan tanpa berpikir sama sekali. Mulutku ini terlalu lancar berbicara atau memang semua itu dari dalam hatiku yang paling dalam? Terlihat raut wajah kaget dari Lovia setelah mendengar apa yang aku katakan baru saja. Lovia terdiam cukup lama lalu memalingkan wajahnya. Aku jadi penasaran, apa tanggapan Lovia tentang ucapanku baru saja. Aku serius ingin menikah dengannya. Karena selama ini, aku tidak pernah seyakin ini kepada seorang perempuan. "Kenapa kamu enggak suka aku sekarang?" Tanyaku serius. Lovia menatapku, "besok pun enggak suka! Mendingan Kak Javar cari cewek lain yang bisa digombalin setiap hari. Tentunya, cewek itu bukan aku. Permisi!" "Lovia..." Panggilku. Lovia menoleh sebentar ke arahku dengan senyuman tipis yang tidak pernah dia perlihatkan kepada-ku selama ini, "assalamualaikum, Kak Javar." "Walaikumsalam, Lovi." Jawabku sambil melihat kepergiannya dari hadapanku. Bahkan, melihat punggungnya saja aku tenang dan nyaman. Bagaimana mungkin aku melepaskan bidadari yang setiap malam mengganggu tidurku. Membuatku terus kepikiran dan akhirnya berakhir dengan berkhayal untuk bersama. Aku suka melihat Lovia walaupun dengan wajah kesalnya. Aku suka Lovia ketika tersenyum seperti tadi. Begitu manis dan membuatku semakin jatuh cinta. Diam-diam aku menatapnya bahkan sampai dia menghilang ditelan koridor yang gelap. Andaikan kami bisa berjalan bersama, tertawa bersama, dan melewati semua hari-hari sulit maupun bahagia bersama, pasti akan sangat menyenangkan. Aku akan selalu menantikan hari ini. Hari di mana Lovia akan menerimaku. "Setan..." Kagetku ketika ada sebuah tangan yang dengan teganya memukul pundakku dengan keras. "Setan-setan," kesal Farhan yang baru saja memukul pundakku dengan tangan penuh dosanya. Aku mengelus pundakku sambil menggerutu, "apa-apaan sih? Orang lagi bengong juga, malah dihajar tanpa dosa." "Tugas Lo numpuk! Jangan lihatin tembok terus sambil senyam-senyum. Kaya orang gila aja Lo!" Tegur Farhan yang menarikku untuk kembali ke ruangan BEM. Aku hanya pasrah untuk kembali ke ruangan BEM, sampai akhirnya aku melihat Alea berada di dalam bersama dengan Rian dan Arman. Mereka berdua sedang menikmati makanan fast food yang aku yakini berasal dari Alea. Teman-temanku ini memang mudah sekali disogok rupanya. "Makan, Ganin." Ucap Alea sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku masuk ke dalam ruangan lalu mengambil tasku dengan buru-buru dan keluar begitu saja. Aku tidak membenci Alea, walaupun sikapku seperti mengatakan hal sebaliknya. Tetapi, aku hanya ingin membuat dirinya sadar tentang beberapa hal : terkadang kita harus meninggalkan apa yang kita suka, agar kita bisa bahagia. Jangan terlalu terpaku kepada masa lalu, apalagi masa lalu sepertiku. Karena aku, akan tetap sama. Terlalu menyakitkan untuk Alea. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD