19 OKTOBER 2020
DIANDRA LOVIA SARADIKA
_______________________________
"PERASAAN kamu doang kali, Lovi. Orang enggak ada masalah apa-apa kemarin. Kita semua baik-baik aja. Enggak usah ribet!" Ucap Ratih via telepon setelah aku menceritakan keluhanku seharian ini.
Aku menghela napas panjang, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku hanya berusaha mengatakan apa yang aku rasakan seharian ini di kantor. Tidak, tidak ada yang jahat atau berusaha untuk menjatuhkan aku—seperti yang seringkali ada di dalam sinetron-sinetron jaman sekarang. Aku hanya merasa tidak nyaman dengan perlakuan mereka—teman kantorku—yang cenderung sungkan, ramah, dan seperti menjaga jarak denganku. Suasana kantor yang awalnya hangat menjadi berubah tegang. Bukan aku yang tegang, tetapi mereka semua.
Anehnya lagi, mereka memberikan hormat dengan cara tersenyum lalu membungkukkan badan sedikit. Itu tidak biasanya, karena aku terbilang masih junior dibandingkan yang sudah bekerja bertahun-tahun. Tetapi mengapa mereka terlihat sangat menghormati aku, lebih dari hari biasanya. Apa aku naik jabatan? Ah, itu tidak mungkin. Mana ada, naik jabatan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Benar-benar aneh!
"Udahlah, enggak usah dipikirin. Bukannya bagus kalau mereka jadi ramah sama kamu?" Lanjut Ratih dengan nada gembira.
"Enggak gitu konsepnya, Ibu. Aneh enggak sih, kalau mereka tiba-tiba jadi bersikap begitu sama aku? Kantor rasanya hambar gitu, enggak kaya biasanya. Kalau biasanya kita sering ketawa-ketawa terus bercanda, hari ini blas enggak ada, Rat." Ucapku kembali dengan mengeluh.
Jika saja Ratih tidak sedang tugas lapangan, pasti aku bisa bercerita langsung padanya. Sayangnya, dia sedang ada tugas, sedangkan aku berada di kantor dengan suasananya yang begitu sangat aneh. Terkadang aku merasa jika beberapa teman kerjaku saling bicara di belakangku. Yang tidak aku mengerti, mengapa mereka membicarakanku? Apa aku punya salah dengan mereka semua?
"Hm, aku bentar lagi balik kantor sama Hendra. Kita ngobrol di kantor aja ya? Kerjain dulu aja semua pekerjaanmu. Pasti Mbak Inggrid ngasih banyak kerjaan, 'kan?" Tanya Ratih yang aku tahu sedang makan siang sekarang. Buktinya terdengar suara sendok dan garpu yang saling bersentuhan.
Aku mengalihkan pandangan mataku ke arah mejaku, "kerjaan dari mana? Sejak pagi enggak ada kerjaan sama sekali. Kalau ada kerjaan, aku enggak akan repot-repot telepon kamu. Ini aja malah banyak banget makanan yang datang."
"Hah, enggak ada kerjaan? Udah selesai semua?" Kaget Ratih tidak percaya. "Bentar-bentar, makanan apaan? Makan siang?" Sambungnya.
Lagi-lagi aku melihat meja kerjaku yang penuh dengan camilan. Semua camilan itu adalah dari toko kue dan makanan terkenal kesukaanku. Entah ini ide siapa, tapi mengapa hanya aku yang diberikan makanan seperti ini? Mengapa tidak semua mendapatkan makanan yang sama? Apa karena ini, semua teman-teman kantorku jadi berbeda. Tetapi sebelum makanan datang pun, mereka juga sudah berubah. Aku berdiri dari dudukku, menatap semua teman-temanku yang baru saja masuk ke kantor setelah makan siang.
"Teman-teman, ada yang mau makanan ini enggak? Ini di mejaku banyak banget, sampai enggak muat." Tawarku kepada teman-temanku sambil mengangkat piring berisi camilan. Ada banyak makanan seperti pastel, risoles, keripik kentang, dan kue cokelat.
Teman-temanku hanya tersenyum lalu menggeleng, "enggak Bu, makasih."
Bu? Apa maksudnya sih? Tubuhku merosot ke bawah, memilih untuk duduk di kursiku kembali. Tangan kananku meraih ponsel yang masih tersambung panggilan dengan Ratih.
"Dengar 'kan?" Tanyaku pada Ratih.
"Iya, bener. Kenapa mereka jadi aneh sih?" Bingung Ratih yang baru saja menyadari sikap teman-teman kami yang lainnya.
Aku mengambil satu potong kentang goreng dan memakannya, "kalau balik kesini, bawa-in nasi padang."
"Oke, lima belas menit sampai kantor kok. Ini baru nunggu Hendra bentar. Kalau gitu, udahan dulu ya. Nanti langsung otw kantor. Makan dulu aja yang ada. Assalamualaikum..." Pamit Ratih untuk menutup telepon.
"Walaikumsalam..." Jawabku lalu meletakkan ponselku kembali di atas meja.
Sesekali aku melihat ke kanan dan ke kiri, berharap menemukan jawaban dari keanehan mereka semua. Apa aku punya salah? Tetapi mengapa caranya seperti ini? Apa mungkin ini hanyalah prank yang seringkali dibuat para Youtuber itu? Tetapi kenapa harus sekarang? Ketika masih banyak pekerjaan, pula. Bukankah prank harusnya membuat target merasa kesal, ya? Kenapa ini malah seperti permainan tuan putri-tuan putri-an? Diperlakukan istimewa, bahkan tidak diizinkan untuk melakukan pekerjaan apapun. Aku juga tidak sedang ulang tahun.
Dua puluh menit berlalu dengan cepat tanpa adanya kegiatan selain makan. Aku cukup kaget setengah mati ketika seseorang meletakkan layar ponselnya yang menyala tepat di depan mataku. Aku menatap layar ponsel itu dengan cukup kaget lalu menoleh ke pemilik ponsel.
"Ini ujung pangkal masalahnya, Lov. Kamu ada hubungan spesial sama Pak Bos?" Tanya Ratih to the point setelah aku melihat sebuah foto antara aku dan Pak Bos yang sedang duduk di cafe beberapa hari yang lalu. Tepatnya ketika aku pulang dari pertemuan keluarga.
Aku melihat sekitarku, semua orang sedang menatapku dengan bingung. Mereka memilih diam ketika Ratih menanyaiku. Hendra menarik lengan Ratih agar tidak mendesakku. Apa itu artinya mereka sedang salah paham karena foto ini? Mereka menganggap aku dan Pak Bos ada hubungan lebih sehingga mereka memperlakukan aku spesial?
Aku tersenyum ke arah Ratih, "dapat foto dari mana?"
Ratih menunjuk Hendra, "jadi, Pak Satpam kemarin katanya lihat kamu sama Pak Bos lagi ketemuan di cafe malam-malam. Nah, langsung deh di jepret sama Pak Satpam. Mungkin, dia ngiranya kamu itu tunangannya Pak Bos. Soalnya yang paling dekat sama Pak Bos 'kan cuma kamu doang. Terus mereka kira, kamu semacam orang yang melihat kinerja mereka selama di kantor."
Aku semakin tertawa mendengar penjelasan Ratih tentang semua kesalahpahaman ini. Bagiku ini benar-benar lucu dan sedikit aneh. Kenapa mereka tidak langsung klarifikasi kepada-ku? Mengapa hanya menebak-nebak karena aku duduk berdua dengan Pak Bos waktu itu?
"Biar Pak Bos yang jelasin sama kita semua, ya. Supaya semuanya jelas dan tidak akan lagi terulang yang namanya salah paham." Ucapku yang membuat Pak Bos yang baru keluar dari ruangan menatap ke arahku.
"Hah?"
"Kemarin waktu kita bareng di cafe, Pak Satpam nge-foto kita Pak Bos. Dari sana jadi salah paham semua. Dikira, saya tunangannya Pak Bos selama ini." Ucapku menjelaskan kepada Pak Bos yang tampak sedang bingung.
Pak Bos mengangguk pelan, "saya tidak mengerti mengapa saya harus klarifikasi. Tetapi saya tegaskan kepada kalian semua, bahwa saya dan Lovia tidak mempunyai hubungan apapun. Jika saya dekat atau biasa mengobrol dengan dia, itu semua karena saya senior dari calon suaminya Lovia ketika kuliah dulu."
Aku menoleh tidak percaya, "hah, senior-nya Javar?"
Pak Bos mengangguk sambil tersenyum. Mengapa aku tidak tahu ada orang ini di kampus? Astaga, apa Pak Bos tahu kelakuanku selama di kampus yang lama? Ah, malu! Tahu begitu, aku tidak akan menyuruh Pak Bos untuk klarifikasi. Setidaknya aku tidak perlu tahu tentang hubungan Pak Bos dengan Javar.
"Bilang sama Javar, dicari Bang Dika. Dia pasti kenal." Ucap Pak Bos sambil menahan tawanya. "Kalau begitu, saya mau ke depan dulu. Baik-baik kalian semua, ya. Saya masih jomblo kok." Sambungnya lagi lalu keluar dari ruangan.
Setelah itu terdengar suara sorak-sorai teman-teman perempuanku, termasuk Ratih.
"PAK BOS JOMBLO... HORE!!! MASIH ADA KESEMPATAN!"
Aku hanya menggeleng pelan, apa yang mereka lakukan? Padahal tadi saja antipati begitu. Ratih meletakkan bungkusan di atas mejaku dengan wajah berbinar.
"Nih, nasi padang. Enggak usah bayar! Gratis buat kamu." Ucap Ratih dengan wajah sumringah. "Kamu dengar 'kan kalau Pak Bos masih jomblo. Dia lagi kasih tanda ke aku, maybe. Semangat Ratih!" Sambungnya.
"Gila!" Ketusku kepada Ratih.
Baru saja hendak duduk dengan tenang kembali. Mbak Inggrid datang dengan membawa sebuah flashdisk dan meletakkannya di atas mejaku. Aku yang tidak tahu apa-apa hanya plonga-plongo.
"Karena kamu enggak jadi tunangan Pak Bos, sekarang kerjain yang ini. Jangan lupa nanti dikirim e-mail ya Lovia, cantik." Senyum Mbak Inggrid.
Aku cemberut, "tahu gitu enggak ngaku kalau bukan tunangannya Pak Bos. Setidaknya bisa makan gaji buta dan makan enak selamanya."
"Bodoh sih!" Umpat Ratih sambil tersenyum, mungkin sedang halu.
Nasib! Nasib!
°°°