23. Perkenalan Calon

1279 Words
23 OKTOBER 2020 ALJAVAR GANINDRA ADHINATA ____________________________________ "TADI di kantor ada cerita seru lho, Bunda. Tiba-tiba, teman-temanku di kantor pada diam semua. Bahkan Mbak Inggrid sampai enggak kasih aku kerjaan sama sekali. Terus ada banyak makanan di atas meja yang enak-enak. Ada juga kue yang biasa aku beli itu Bunda, kue kesukaanku. Ternyata, setelah ditelusuri, semua teman-temanku salah paham soal hubunganku sama Pak Bos. Dikira anak-anak kantor, aku sama Pak Bos ada hubungan spesial. Katanya sih, karena Pak Bos dekat banget sama aku. Bunda 'kan tahu sendiri, Pak Bos memang perhatian dan baik." Sejak semalam, ucapan Lovia itu terus berputar di kepala-ku. Lovia memang tidak bercerita secara personal kepada-ku, tetapi aku langsung mendengarkannya ketika sedang bermain catur bersama dengan Ayah di ruang keluarga. Jujur saja, aku sedikit cemburu mendengar semua itu. Memangnya seperti apa sih kedekatan antara Lovia dengan orang yang Lovia panggil dengan panggilan 'Pak Bos' itu. Jika tidak dekat, mana mungkin teman-temannya menerka hal itu. Iya 'kan? Hanya karena itu, aku jadi rela datang ke kantornya siang ini. Membawakan beberapa box kue kesukaannya. Aku tidak tahu apa yang akan Lovia lakukan jika tahu aku berada di kantornya, tanpa bicara padanya terlebih dahulu. Anggap saja ini adalah sebuah perkenalan untuk semua orang di sana. Aku tidak mau ada yang mendekati Lovia walaupun hanya sekedar salah paham. Aku tidak peduli dengan laki-laki sok, yang meminta karyawannya untuk memanggilnya dengan sebutan 'Pak Bos'. Mengerikan! Mobilku berhenti di parkiran depan kantor Lovia. Sebelumnya ada dua satpam yang sibuk mengintrogasi tentang tujuanku datang kesini. Lalu ku jawab saja dengan santai, sedang ingin bertemu dengan tunanganku, Lovia. Dan ya, mereka mengijinkan aku masuk ke dalam. Ah, rasanya aneh ketika masuk ke dalam kantor dengan ruangan yang full AC seperti ini. Biasanya, aku adalah seorang pekerja yang memuja udara alami. Pekerjaan lapangan adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku. Dengan percaya diri, aku berjalan ke arah resepsionis dan menanyakan tentang Lovia. Sebelumnya aku telah memberikan satu box kue kepada perempuan yang bertugas duduk dibalik sekat besar ini. Perempuan itu lalu mengarahkan aku untuk naik ke lantai empat di mana ruangan Lovia berada. Selama berjalan kaki, aku melihat ke kanan dan ke kiri, sibuk memperhatikan bangunan kantor ini. Walaupun hanya sederhana, tetapi kantor ini adalah kantor anakan dari perusahaan besar yang ada di pusat kota. Gedung ini bahkan tidak tinggi seperti gedung lainnya, tetapi dari segi ornamen yang dipasang, sudah menjelaskan bahwa si pemilik adalah orang yang memiliki pemikiran unik. Lift terbuka, seorang perempuan masuk ke dalam bersamaku. Aku hanya memberikannya senyuman ramah padanya, siapa tahu teman Lovia. Setidaknya aku harus sedikit memberikan kesan baik sebagai calon suami Lovia. Biarkan semua orang tahu, aku lah yang menjadi calon suami Lovia yang sah. Bukan Pak Bos itu. Ah, membuat malas saja. "Mas Javar, ya?" Tanyanya dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Aku menoleh ke arah perempuan itu dan mengangguk, "ah, iya. Saya Javar. Apa sebelumnya kita pernah saling kenal? Maaf, saya orangnya pelupa." Perempuan itu menggeleng sambil tersenyum, "tepatnya sih belum, Mas. Kenalkan, saya Ratih, temannya Lovia dari jaman kuliah." "Kuliah yang baru..." Lanjutnya lalu menyodorkan telapak tangan kanannya ke arahku. Aku menyambut tangannya dengan sedikit bingung, "oh, begitu. Saya Javar, calon suaminya Lovia." Ratih mengajakku mengobrol sedikit dan menceritakan tentang Lovia di jaman kuliah dulu. Aku menikmati semua cerita Ratih, sampai pintu lift terbuka dan kami berjalan bersama untuk sampai ke meja Lovia. Sebelum menjangkau meja Lovia, aku sudah memberikan beberapa box kue pada Ratih untuk dibagikan kepada semua teman-teman kantor mereka. "Meja Lovia yang itu, Mas. Kayanya baru ke toilet anaknya." Ucap Ratih sambil menunjuk salah satu meja yang berada di tengah-tengah ruangan. Beberapa orang menatapku dengan tatapan bingung. Mungkin karena mereka tidak mengenalku sama sekali. Lalu Ratih mulai memberikan box-box kue kepada semua orang di sini dan aku hanya bisa tersenyum kikuk ketika mereka mengucapkan terima kasih. Tidak lama kemudian, aku melihat Lovia yang baru berjalan ke arahku. Tiba-tiba dia berhenti di tempat dan melihatku dengan tatapan tidak percaya. "Mas, makasih banyak lho kue-nya. Semoga langgeng terus sama Lovia." Ucap beberapa teman Lovia yang ada di sini. Semua itu memancing wajah kebingungan dari Lovia yang belum kunjung mendekat ke arahku. Lovia menatap Ratih yang berada di belakangnya. Lalu Ratih menaikkan sebuah box kue yang aku bawakan tadi. Sontak Lovia langsung menatap ke arahku dengan wajah kesal. Ah, salah lagi kah? Padahal aku hanya ingin membuat semua orang tahu bahwa dia adalah milikku. Apakah ini berlebihan? Aku hanya tidak ingin Lovia berpaling dariku, walaupun sebenarnya aku tidak tahu apakah dia sudah menatapku. Akhirnya, kami duduk di kantin kantor. Lovia mengajakku untuk duduk di sini, bukan di kantornya. Sejak tadi kami diam, aku tidak tahu apa yang ingin dikatakannya. Tetapi jantungku sudah berdetak tidak karuan, seperti hendak divonis mati saja. Padahal semua baik-baik saja, semoga. "Apa maksudnya sih, Mas?" Tanya Lovia dengan memasang wajah badmood-nya. Aku jadi merasa bersalah. Karena keegoisanku untuk terlihat di mata teman-teman Lovia, aku membuatnya merasa tidak nyaman. Aku mengaduk minumanku dengan sedotan dan menatapnya kembali dalam-dalam, "maaf ya kalau kamu enggak suka aku datang ke kantor. Tapi aku cuma mau memastikan kalau kamu milik aku." "Apa-apaan sih! Enggak jelas!" Sambar Lovia dengan nada kesal. "Kenapa sih kamu selalu bikin urusan hidupku jadi ribet. Apa tanggapan mereka soal kedatangan kamu di kantor?" Sambung Lovia. Aku tersenyum tipis, "aku merasa, apapun yang aku lakukan ke kamu, enggak pernah ada harganya. Aku dengar kamu cerita ke Bunda soal kesalahpahaman anak-anak kantor soal kamu sama Bos kamu. Makanya aku datang untuk meluruskan semuanya saja. Aku enggak mau kamu digangguin sama orang-orang yang enggak bertanggung jawab." "Apaan sih, Mas? Semuanya udah selesai, Pak Bos yang klarifikasi sama mereka semua. Kamu enggak perlu ya datang-datang ke kantor dan sok bawa-bawain mereka makanan. Kenapa sih kamu enggak ngomong dulu sama aku? Kenapa enggak minta ijin dulu?" Kesal Lovia kepada-ku. Aku tersenyum walaupun seperti tidak punya hati sama sekali. Jujur saja, aku ingin mengatakan kepada Lovia jika aku juga bisa patah hati. Tetapi kata-kata itu rasanya sudah tenggelam entah kemana. Sekarang yang tersisa hanyalah senyuman tanpa dia tahu, arti dari senyuman ini. "Maaf ya, lain kali aku enggak akan datang lagi, kalau kamu enggak ijinkan. Ini terakhir kalinya aku datang tanpa minta ijin ke kamu." Jawabku yang lagi-lagi memilih mengalah. Apakah aku bodoh? Apakah aku pantas seperti ini? Tetapi aku mencintainya, sangat! "Javar..." Aku menoleh ke sumber suara, di mana seorang laki-laki dengan jas kantor menatapku dengan senyuman lebar. "Bang Dika..." Ucapku lalu berdiri dan tanpa sadar langsung memeluknya seperti ketika jaman kuliah dulu. Rindu sekali aku dengan Presiden BEM satu ini. "Gila... Kangen banget sama Abang. Udah berapa tahun nih kita enggak ketemu?" Sambungku dengan sumringah. Bang Dika tertawa renyah, bahkan kami menjadi bahan tontonan beberapa karyawan yang sedang makan siang. "Kerja di sini, Bang?" Tanyaku padanya. "Pak Dika ini, Bos-ku." Sambar Lovia. Ah, ternyata 'Pak Bos' yang dimaksud adalah Bang Dika. Astaga, kenapa aku baru tahu jika Bang Dika adalah salah satu anak konglomerat kaya? Bahkan di masa lalu pun, dia tidak terlihat begitu kaya—maksudku tidak menonjolkannya. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak Bos." Pamit Lovia kepada Bang Dika dengan sopan. "Aku balik kerja dulu." Pamitnya kepada-ku dengan nada kesal lalu pergi meninggalkan kami berdua. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Bang Dika, "kebetulan banget bisa ketemu di sini." "Iya, nih! Eh, btw, makasih kuenya ya. Aku jadi kebagian kue enak." Ucap Bang Dika setengah tertawa. Kami mengobrol panjang lebar, menceritakan jaman-jaman kuliah dulu. Lalu tiba-tiba teleponku berdering dan terpaksa aku harus mengecek pekerjaanku terlebih dahulu. Sebelumnya, aku sudah membuat janji temu dengannya nanti. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD