24. Kabar Buruk

1410 Words
24 OKTOBER 2020 DIANDRA LOVIA SARADIKA _______________________________ BAWAH mataku membentuk kantung hitam—mata panda. Padahal sudah aku akali dengan menggunakan concealer, tetapi tampaknya tidak berefek sama sekali. Kali ini, bukan mata panda yang aku dapatkan akibat begadang untuk menyelesaikan pekerjaan. Melainkan begadang karena tidak bisa tidur karena terus memikirkan Javar. Aku tahu, ini tidak penting sama sekali. Bisa-bisanya aku tidak bisa tidur hanya karena Javar. Padahal, selama ini aku adalah spesies manusia yang pelor atau nempel-molor. Tetapi kenapa semalam sulit sekali rasanya untuk tidur pulas? Tidur pun hanya memejamkan mata saja. Hanya membuat kembung dan kepala pusing saja. Aku sudah berusaha tidur dengan mendengarkan lagu-lagu pengantar tidur, tetapi tidak mempan sama sekali. Mendengarkan lagu galau, malah ikutan nangis karena ingat dengan perlakuanku kepada Javar yang kadang-kadang kurang ajar. Akhirnya beralih menonton film di salah satu aplikasi berbayar, tetapi film-film itu hanya membuatku merasa bosan. Lalu akhirnya aku mengulangi menonton film Ocean's Eight entah ke berapa kali. Intinya aku sudah hapal jalan ceritanya, tetapi selalu aku ulang. Ternyata semua cara itu tidak munjur, aku tidak bisa tidur. Tetapi ketika menjelang adzan subuh, kantuk itu datang luar biasa. Benar-benar setan tidak tahu diri, memberikan kantuk disaat yang tidak tepat. Lalu akhirnya aku menambah tontonan lagi, Jumanji : The next level. Tepat ketika film itu selesai, adzan subuh berkumandang. Aku langsung sholat dan memilih untuk memejamkan mata sejenak. Ah, tidak baik tidur selepas subuh, tetapi mata ini tidak tahu diri. Akhirnya aku tumbang juga dan tidur begitu saja. Alhasil, aku menjadi tontonan Ratih karena kantung mataku ini. Tidak elit sekali jika aku mengatakan tidak bisa tidur karena memikirkan Javar dan merasa bersalah padanya karena sudah bicara tidak baik kemarin. "Mbak Inggrid ngasih kerjaan sampai segitunya, ya?" Tanya Ratih sambil menggelengkan kepalanya pelan. Aku tersenyum kaku, "hm, begitu deh." Maaf, Mbak Inggrid, namamu sedikit tercemar hari ini. Masalahnya, aku malu jika harus mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang terjadi padaku semalam. Walaupun memang pekerjaan yang diberikan Mbak Inggrid lumayan banyak, tetapi tidak akan membuat kantung seperti ini. "Aku merasa, apapun yang aku lakukan ke kamu, enggak pernah ada harganya. Aku dengar kamu cerita ke Bunda soal kesalahpahaman anak-anak kantor soal kamu sama Bos kamu. Makanya aku datang untuk meluruskan semuanya saja. Aku enggak mau kamu digangguin sama orang-orang yang enggak bertanggung jawab." Kenapa masih saja kepikiran tentang kata-kata Javar. Apa benar yang dia katakan tentang aku yang tidak pernah menghargai dia? Aku hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa. Kemarin pun aku kelepasan karena kesal dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk membuatnya berpikir demikian, tetapi apa yang sebenarnya aku inginkan? "Halah... Paling ada masalah lagi nih sama calon suami. Iya 'kan?" Tebak Ratih yang seratus persen benar. Ratih menggeser tempat duduknya dan mendekatiku, "ada masalah apa lagi sih? Bukannya kemarin baik-baik aja? Sampai-sampai kita semua enak karena dibawain kue mahal. Kenapa? Cerita coba!" "Aku bilang sama dia, kalau aku enggak suka dia datang ke kantor tanpa kasih tahu aku dulu. Dia malah salah paham dan bilang kalau aku selama ini enggak pernah hargai apapun usahanya. Enggak gitu lho maksudku," keluhku kepada Ratih. "Oh, jadi bukan karena kerjaan dari Mbak Inggrid mata panda-mu ini." Tunjuk Ratih ke kedua kantung mataku yang menghitam. "Semua itu karena kamu enggak bisa tidur karena kepikiran sama Mas Javar. Iya, 'kan?" Sambungnya yang lagi-lagi benar. Aku menghela napas panjang lalu mengangkat kedua bahuku, "enggak tahu deh! Padahal dia enggak marah sama sekali. Dia juga udah minta maaf sama aku. Tapi kenapa aku yang merasa enggak enak?" "Nah, ini nih penyakit perempuan. Udah tahu salah, tapi enggak mau minta maaf. Kamu ngerasa enggak enak karena kamu tahu kalau salah. Udahlah, minta maaf sana. Enggak ada salahnya kok kalau perempuan juga minta maaf. Kalaupun kamu keukeuh enggak punya salah sama Javar, tetap aja hati kamu enggak nyaman. Coba deh, sesekali kamu lihat usaha dia. Jarang-jarang cowok bisa jatuh cinta sampai selama itu." Ucap Ratih menasehatiku. Aku tersenyum hambar, "itu 'kan karena dia belum bisa dapetin aku. Makanya dia usaha mati-matian. Mungkin aja, kalau dia udah dapetin aku, enggak akan seromantis atau seperhatian sekarang. Enggak ada yang tahu itu dan enggak ada yang bisa menjamin." "Tapi Mas Jav—" "Sejak kapan kamu panggil orang pakai kata Mas?" Tanyaku menyelidik. Ratih tertawa, "dari kemarin kayanya. Habisnya kamu kalau ngomong soal dia pakai Mas. Jadi spontan aja ikutan." "Lovia..." Aku menoleh ke arah Pak Bos yang baru saja masuk ke ruangan. Sontak aku langsung berdiri, "iya, Pak Bos. Ada apa?" "Inggrid kebetulan enggak masuk hari ini karena ada sesuatu hal. Jadi kamu gantikan Inggrid untuk presentasi soal pekerjaan tim kalian, ya. Siap 'kan?" Ucap Pak Bos yang membuat kedua bola mataku melotot seketika. "HAH!" Hanya itu yang keluar dari mulutku dengan intonasi yang cukup keras karena kaget. Ratih buru-buru mencubit lenganku karena tidak sopan. "Kenapa?" Tanya Pak Bos lagi. Aku menggeleng pelan, "enggak ada apa-apa kok, Pak Bos. Baik nanti saya ke ruangan meeting." Pak Bos hanya tersenyum lalu masuk ke dalam ruangannya. Astaga, kenapa harus begini ceritanya? Kenapa pula Mbak Inggrid tidak masuk kerja? Ah, kenapa tidak bilang padaku semalam. Setidaknya aku bisa menyiapkan diri untuk menghadapi Pak Bos. Pasalnya, Pak Bos di depan karyawan ketika sedang bekerja biasa dengan ketika presentasi akan berbeda jauh. Aku menatap Ratih, "mati aku, Rat. Belum persiapan apapun. Gimana dong? Apa aku pura-pura sakit aja, ya?" "Hush... Sakit beneran baru tahu rasa. Udahlah, hadapi aja. Lagipula Pak Bos enggak seseram yang kamu pikirkan. Tenang aja!" Ucap Ratih sok tahu. Tidak lama kemudian ada e-mail dari Mbak Inggrid yang berisi materi untuk presentasi. Walaupun aku tahu detailnya seperti apa, tetapi aku jarang tampil untuk mempresentasikannya. "Gimana kalau kata-katanya kurang pas? Launching produk tinggal satu minggu lagi." Hebohku kepada Ratih yang ikutan panik karena melihatku. "Udah, bikin panik aja kamu!" Ketus Ratih yang menarik kursinya kembali ke mejanya. "Eh, hampir lupa. Lovi, katanya Pak Bos, dia kenal sama Mas Javar. Kalau bisa, comblangin dong aku sama Pak Bos. Kalau aku jadi Bu Bos, nanti kerjamu lebih ringan lagi." Sambungnya ngawur. "Nah, 'kan, setress!" Kesalku yang membuat Ratih tertawa. Setelah memantapkan hati, aku langsung menyusun semuanya di dalam flashdisk dan segera menuju ke meeting room yang ada di lantai dua. Entahlah mengapa Pak Bos tidak memilih ruangan di lantai dua saja, padahal lebih luas. Setelah keluar dari lift, aku berjalan menuju ruangan meeting. Tidak lupa aku menyapa beberapa teman kantor dari divisi lainnya yang tentunya berada di lantai dua. Aku masuk ke dalam dan menatap beberapa senior-ku di kantor yang sudah sangat berpengalaman dalam urusan presentasi. Apalagi aku baru mendapatkan e-mail beberapa menit yang lalu dari Mbak Inggrid. Jujur saja, aku belum membaca semua isinya. Hanya saja aku ingat dengan beberapa pekerjaan yang aku tangani minggu-minggu ini. Kami—bagian promosi produk—sudah berusaha untuk membuat kata-kata yang bagus dan kekinian, walaupun itu menurut kami. Semoga saja tidak mengecewakan. Satu-persatu maju ke depan untuk presentasi hasil kerja dari tim masing-masing. Ada beberapa tim penting yang meliputi pemasaran produk, promosi, peninjauan konsumen, dan masih banyak lagi. Sebenarnya setiap perusahaan berbeda, hanya saja di perusahaan kami seperti ini garis besarnya. Sekarang tiba giliranku untuk maju ke depan. Setelah melihat banyak orang terkena semprot kemarahan Pak Bos, aku pun juga kena. Pak Bos tidak setuju dengan banner promosi yang kami buat. Payahnya lagi, ada beberapa pekerjaan tim yang belum dimasukkan Mbak Inggrid ke dalam power point yang dikirimkan padaku. Aku kembali ke ruanganku dengan wajah masam. Kesal sekali aku karena dimarahi habis-habisan. Aku sampai kewalahan menjawab dan berulang kali ditanyai tentang niat kerja atau tidak? Astaga, aku tidak tahu bahwa mulut itu seperti boncabe level 30. Ketika berada di dalam rasanya seperti terintimidasi. Aku kesal sekali. "Gimana?" Tanya Ratih seraya tersenyum. Aku meletakkan kertas-kertasku di atas meja, "ditolak mentah-mentah. Dimarahi pula!" "Hah, kok bisa?" Tanya Ratih tidak percaya. Aku menggeleng pelan, "udahlah, nanti biar aku yang urus. Pusing banget sumpah!" Drt... Drt... Drt... Suara ponselku terdengar nyaring. Ada telepon dari Bunda beberapa kali. Ada apa ini? Tumben Bunda telepon di jam kerja. Ah, karena ponselku ketinggalan, pesannya jadi banyak dan telepon pun jadi penuh. "Halo, assalamualaikum Bunda. Ada ap—" "Walaikumsalam, Lovia ke rumah sakit sekarang ya. Javar kecelakaan tadi." Nut... Nut... Nut... Sambungan telepon dimatikan begitu saja oleh Bunda. Aku buru-buru mengambil tasku dan memasukkan beberapa barang yang penting. "Ratih... Tolong save semua data di komputerku. Aku ijin ke Pak Bos dulu ya. Sekalian tolong dimatiin." "He, mau kemana?" Aku tidak menjawab, hanya langsung buru-buru pergi. Rasa khawatir ini benar-benar menjadi. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD