15. Salah Kelas!

1105 Words
15 AGUSTUS 2011 ALJAVAR GANINDRA ADHINATA ___________________________________ SEPERTI biasa, awali pagimu dengan kemacetan. Aku masih saja menatap lampu merah di depan sana, padahal baru jalan sepuluh detik. Aku sudah terkena lampu merah selama tiga kali ini, sebuah rekor yang membuatku jengkel. Tapi mau bagaimana lagi, 'kan? Setidaknya aku masih seorang pengemudi dengan akhlak yang baik—tidak membunyikan klakson berulang kali ke mobil di depanku. Tidak seperti pengemudi stress yang sejak tadi membunyikan klakson tidak jelas. Namanya juga lampu merah, wajar kalau mobil lainnya tidak mau menyingkir. Menyingkir pun mau kemana? Jalanan penuh begini. Belum selesai dengan suara klakson yang berisik, ada juga ibu-ibu yang sekarang saling serang dengan kata kasar, mengabsen nama-nama para penghuni kebun binatang. Aku tidak tahu masalahnya, tetapi mereka sudah asik saling mengatai satu sama lain. Tidak ada yang mau mengalah sampai lampu berubah hijau dan aku langsung menekan gas agar segera terhindar dari lampu merah, lagi. Selama perjalanan, aku hanya sibuk bersenandung riang. Mendengarkan semua lagu Armada yang lagi-lagi mencuri perhatianku. Aku baru tahu jika lagunya memang enak-enak didengar. Biasanya aku suka sekali mendengarkan lagu jadul seperti Berita kepada kawan, Untuk kita renungkan, dan masih banyak lagi lagu-lagu yang dinyanyikan musisi jaman dulu. Aku pikir, lagu dari band jaman sekarang biasa saja, ternyata ada satu-dua yang bagus menurut versiku. Tidak lama kemudian aku sampai di kampus, lalu memarkirkan mobilku di tempat yang paling teduh. Kasihan snelli—nama mobilku—jika berada di bawah panas terik matahari. Setelah itu aku bergegas untuk turun dengan menenteng jas almamater milikku. Sebenarnya tidak ada kegiatan yang penting sekali hari ini. Hanya saja ada kegiatan seminar nasional di gedung serbaguna yang berada diantara Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Biasanya anak-anak BEM tingkat universitas sepertiku ini akan membantu untuk pelaksanaan acara. Dari penataan gedung, rangkaian acara, dan juga segala macam t***k-bengeknya. Walaupun kali ini aku hanya akan membantu menjadi seksi wira-wiri. "Lama banget sih Lo, dari mana aja?" Tanya Rian yang mulai merapikan beberapa kursi di dalam ruangan serbaguna bersama dengan anak BEM yang lainnya. "Gue nge-print dulu tadi, malah kejebak macet pula. Di persimpangan depan kampus sana, gue kejebak lampu merah tiga kali. Mana ada orang tukang klakson, bikin pusing aja." Curhatku pada Rian sambil membantu menata kursi. "Javar, dicari Bang Dika." Panggil salah satu temanku di BEM. Aku menoleh ke arahnya, "oke, di mana dia, Bro?" "Samping gedung, baru koordinasi sama Resimen Mahasiswa." Aku bergegas untuk keluar dari gedung setelah berpamitan dengan Rian yang sibuk menata kursi. Aku berjalan mendekat ke samping gedung ini di mana Bang Dika—Presiden Mahasiswa—memanggilku. Terdengar Bang Dika sedang sibuk memberikan arahan kepada Menwa (Resimen Mahasiswa) yang akan ikut andil dalam acara seminar siang nanti, tentunya. Setelah selesai, aku langsung mendekat ke Bang Dika. "Bang," sapaku lalu bersalaman ala-ala anak-anak gaul. "Udah belum, Jav?" Tanya Bang Dika yang meminta pekerjaanku kemarin. Aku mengangguk lalu mengambil sebuah kertas dari dalam tasku dan memberikannya kepada Bang Dika. Bang Dika tampak serius melihat contoh banner untuk acara kampus Minggu depan. Biasanya, aku adalah tukang membuat banner acara dan pamflet-pamfletnya. "Duh, mantap! Bagus lah ini, Jav. Enggak bakalan kecewa kalau Lo yang bikin. Makasih ya!" Ucap Bang Dika menepuk bahuku beberapa kali. "Siap Bang, berarti fix ya. Nanti sore gue bawa ke percetakan deh!" "Lo ada kerjaan enggak sekarang?" Tanya Bang Dika kepada-ku sebelum pergi. Aku menggeleng, "kalau untuk seksi acaranya sih, free, Bang. Paling cuma angkat-angkat doang." "Kalau gitu, Lo urus masalah banner aja deh. Masalah angkat-angkat juga masih banyak anak lain. Kelarin ya, biar besok tinggal susun anggaran akhir. Pusing gue lihat acara semua berantakan gara-gara acara kampus tiba-tiba muncul enggak koordinasi pula sama kita," ucap Bang Dika yang tampak lelah. Aku mengangguk senang, "siap deh, Bang. Mau ijin dulu lihat masa depan sebentar, sekalian jalan." Bang Dika tertawa, "jadi benar kabar yang heboh kemarin? Yang katanya Lo ditolak mentah-mentah sama Maba itu, bukan?" "Yee, enggak benar itu. Yang benar itu Bang, belum diterima aja." Ucapku ngeles. Bang Dika hanya tertawa lalu mulai berjalan meninggalkan aku untuk kembali ke gedung. Sedangkan aku yang sudah mendapatkan ijin langsung melipir ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk menemui masa depanku. Sebelumnya aku sudah mengecek jadwal Lovia yang sudah aku dapatkan dengan cara merayu Mbak-mbak TU kemarin. Untung kenal. Aku berjalan mendekat ke arah ruang 201, mengecek Lovia dan benar saja dia ada di sana—duduk di bangku paling belakang, tidak punya teman. Aku nyelonong masuk ke ruangan itu dan tentunya mendapatkan tatapan bingung dari mahasiswa yang lain. Aku hanya berdada ria dengan mereka semua, meminta ijin untuk masuk ke kelas. "Mau kasih pengumuman ya, Kak?" Tanya salah satu perempuan yang berambut pendek di depanku. Aku menggeleng pelan, "enggak kok, cuma mau ngapel doang." Aku berjalan mendekat ke arah Lovia dan duduk di salah satu bangku yang berada tepat disampingnya. Sontak Lovia langsung kaget dan menatapku yang sedang tersenyum. Tanganku melambai ke arahnya, memberikan sapaan yang menurutku lucu. Dulu, Alea suka diperhatikan seperti ini. Bahkan mungkin para perempuan pun suka diperlakukan istimewa, bukan? "Hai," sapaku kepada Lovia dengan senyuman. "Ngapain sendirian?" Tanyaku dengan sangat amat ramah. Lovia menghela napas panjang lalu memalingkan wajahnya, "cobaan apa lagi ini ya Allah!" Aku tertawa mendengarkan keluhan Lovia. Belum selesai tertawaku, ada seorang perempuan paruh baya berjilbab masuk ke dalam kelas. Mati aku! Sudah ada dosennya pula ini kelas. Semua mahasiswa sibuk duduk di tempat masing-masing. Aku hanya diam sambil menatap Lovia yang tampak tidak peduli. Lovia memilih untuk membuka laptopnya dan tidak mempedulikan aku. "Selamat pagi mahasiswa semuanya, sebelum perkuliahan pada pagi hari ini kita mul—" ucapan dosen itu berhenti lalu memasang kaca matanya. "Lho, Javar?" Ucap dosen itu kepada-ku. "Lho, kenal saya, Bu?" Ucapku sambil menunjuk diriku sendiri. Bu dosen hanya mengangguk sambil melipat tangannya di d**a, "kamu ngapain di kelas, Ibu? Kamu 'kan anak teknik." Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, "hehe, saya salah kelas, Bu. Saya kira fakultas teknik udah pindah kesini. Ruangannya juga mirip sama kelas yang biasa saya tempati, Bu." Bu dosen hanya menggelengkan kepalanya pelan. Lalu aku beranjak dari dudukku, melangkah keluar dari dalam kelas sambil membungkuk. Walaupun sebentar, setidaknya aku bisa melihat Lovia. Walaupun harus bertindak bodoh, setidaknya aku bisa menemuinya. Mungkin dia terlihat malas, kesal, atau menganggapku laki-laki kurang kerjaan yang suka menggodanya. Tetapi aku akan membuktikan padanya, jika aku serius menyukainya. Aku tidak main-main. Lovia, aku memang tidak pernah serius mengejar perempuan, sebelumnya. Tetapi setelah aku bertemu dengan kamu, duniaku rasanya terus berporos kepadamu. Aku selalu berharap kamu melihat ke arahku walaupun sebentar. Aku juga ingin bilang, jika perasaanku ini bukan hanya sekedar rasa suka biasa. Tetapi aku benar-benar jatuh cinta. °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD