12 AGUSTUS 2011
DIANDRA LOVIA SARADIKA
_______________________________
RINTIKAN hujan membasahi bumi, mendung menggantung semakin pekat dengan suara guntur kecil yang menggelegar. Aku masih betah duduk di rooftop, tepatnya di bawah payung parasol yang membentang. Air hujan sedikit mengenai kakiku, walaupun begitu aku tidak berniat untuk masuk ke dalam. Fokus mataku tertuju pada buku-buku tebal yang berada di atas meja, belum aku sentuh sejak tadi karena bingung mau memulai dari mana. Jika orang-orang akan sangat bersemangat menyambut hari pertama mereka kuliah, sepertinya itu tidak berlaku padaku. Sebelum masuk kuliah saja, sudah banyak masalah. Seperti yang terjadi ketika OSPEK waktu itu. Belum lagi ada senior rese yang mengata-ngatai aku di kantin waktu itu.
Bahkan aku merasa dikucilkan dan tidak punya teman semenjak masuk kuliah. Pertama kali aku masuk ke kelas, mereka langsung memandangi aku dari atas sampai bawah. Tidak ada yang menyapaku atau sekedar memberikan senyuman ramah. Jika aku yang melakukan kedua hal di atas, mereka hanya tersenyum tanggung lalu pergi begitu saja. Seperti merasa terganggu dengan adanya diriku. Ketika di toilet, aku pun pernah mendengar percakapan antara beberapa orang di depan wastafel. Mereka membandingkan aku dengan Alea—perempuan yang tempo hari melabrakku di kantin.
Memangnya aku sebuah bahan perbandingan? Aku tidak pernah membandingkan diriku dengan orang lain karena aku sadar jika manusia memiliki kekurangan maupun kelebihan. Tetapi mengapa manusia lain malah melakukan hal tidak pantas seperti itu. Terkadang aku ingin marah, tetapi akhirnya aku biarkan saja. Tidak ada yang perlu aku lakukan selain diam dan bersabar. Toh, untuk apa meladeni mereka, tidak penting.
Tok... Tok... Tok...
Suara pintu kaca diketuk terdengar dari dalam. Aku melihat Bang Syail yang masih berseragam lengkap sedang melambaikan tangannya. Aku tahu maksudnya, memintaku untuk masuk ke dalam. Tetapi aku belum ingin dan hanya menggeleng pelan. Bang Syail membuka pintu kaca dan keluar dari sana. Berlari kecil untuk masuk ke payung parasol lebar yang tentunya muat untuk kami berdua.
"Tadi, pulang naik apa?" Tanya Bang Syail sambil mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.
"Naik bus," jawabku singkat lalu membuka bungkusan plastik yang berisi pisang goreng hangat.
Aku mengambil satu pisang goreng itu dan memakannya. Sudah lama tidak makan gorengan. Dulu, ketika masih tinggal di desa, aku sering membeli gorengan seperti ini di warung depan rumah kami. Tidak seperti sekarang, harus membeli keluar kompleks. Itu saja aku sudah malas untuk melakukannya. Tetap saja rasanya lebih nyaman untuk tinggal di daerah pedesaan.
"Abang enggak mandi dulu?" Tanyaku kepada Bang Syail yang memilih untuk menikmati pisang gorengnya bersamaku ketimbang mandi terlebih dulu. Padahal aku tahu jika Abang naik motor dan menggunakan mantol.
Abang menggeleng, "nanti aja deh, nunggu kamu dulu. Ngobrol-ngobrol dulu di sini. Kalau kamu udah masuk kamar, pasti Abang enggak boleh masuk. Jadi, mumpung kamunya di luar, Abang nanti aja mandinya."
Aku hanya tertawa mendengarkan ucapan Bang Syail. Semenjak SMP, aku memang sudah tidak pernah mengijinkan orang lain untuk masuk ke dalam kamarku. Bahkan Ayah dan Bunda yang mengajarkannya padaku. Setiap kali Ayah atau Bunda ingin masuk, maka mereka mengetuk pintu kamarku terlebih dahulu. Ayah dan Bunda selalu menghormati privasi anaknya sendiri. Walaupun kadang aku suka malas membuka pintu jika sudah berada di ranjang.
"Gimana kuliahnya?" Tanya Abang yang membuat mood-ku berantakan.
Aku menggeleng pelan, "buruk!"
"Hah? Buruk? Apanya yang buruk? Bilang yang jelas!" Ucap Abang bingung.
"Semuanya Bang, enggak nyaman kuliah di sana. Aku merasa enggak punya teman, aku merasa kalau semua orang mengucilkan aku, aku juga merasa kalau mereka diam-diam benci sama aku." Curhatku kepada Abang.
"Itu perasaan kamu aja kali, Dek." Jawab Bang Syail dengan cepat.
"Enggak! Itu bukan cuma sekedar perasaan aku aja," kesalku karena Bang Syail tidak tahu posisinya.
Bang Syail menatapku yang mulai marah, "kok jadi marah sama Abang? Abang 'kan cuma berpendapat aja. Siapa tahu, kamu yang enggak mau berbaur sama mereka. Bisa aja 'kan? Kehidupan kota dan desa 'kan beda, Dek."
"Abang enggak akan pernah ngerti apa yang aku rasakan. Abang punya banyak teman, Abang ganteng, Abang populer, Abang pintar, Abang hampir sempurna. Jadi, mana mungkin Abang paham tentang pandangan orang yang enggak suka sama Abang? Ah, tapi mana mungkin ada orang yang enggak suka sama Abang!" Ucapku dengan emosi. Sebenarnya aku salah karena meluapkannya kepada Bang Syail, tapi aku benci dengan kata 'kamu yang enggak mau berbaur sama mereka'.
Aku mengambil buku-buku milikkku dan memilih untuk masuk ke dalam rumah, meninggalkan Abang yang hanya bisa terdiam sambil menatap kepergianku. Setelah itu, aku memilih untuk masuk ke dalam kamar dan merebahkan diriku di ranjang. Aku selalu bilang, aku tidak peduli pada mereka semua. Tetapi aku juga manusia, aku juga ingin berteman. Bagaimana mungkin aku mengajak mereka berteman, sedang ekspresi mereka ketika melihatku saja sudah tidak baik. Apa itu salahku?
Kling. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Aku membukanya, sebuah pesan dari nomor baru tertera di sana.
_______________________
Dari : 087689xxxxxx
Hai, Lovia. Ini nomor Javar. Tolong disimpan ya. Siapa tahu kamu butuh. Selamat malam dan selamat tidur.
______________________
Tanpa basa-basi, aku langsung menghapusnya. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah dan sikap seniorku di kampus itu. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Bukankah kami baru mengenal sebentar? Mengapa dia bersikap layaknya orang yang sudah lama mengenal? Apalagi pernyataan cintanya yang begitu tiba-tiba. Aku tidak suka.
"Dek, mau keluar enggak? Katanya ada karnaval di depan balai kota. Mumpung hujannya udah mulai mereda nih," ucap Bang Syail dari depan pintu kamarku.
"Enggak," jawabku singkat dengan malas. Lagipula aku sedang marah dengan Abang. Kalau aku mau pergi, pasti tidak jadi marah.
"Ada banyak makanan kaki lima, murah-murah. Enggak mau kulineran di sana, Dek? Mumpung Abang punya uang." Tawar Abang sekali lagi. Dan tawaran ini cukup menggiurkan untukku.
Aku berpikir sejenak, "tapi... Abang yang bayarin?"
"Iya, Abang yang bayar. Siap-siap ya, Abang mau mandi bentar." Jawab Bang Syail lalu terdengar suara pintu dibuka lalu ditutup lagi.
Aku memilih-milih pakaian lalu berganti pakaian, setelah itu aku memoles make up tipis agar tidak terlihat pucat. Setelah siap, aku mendengar ketukan pintu yang tentunya bersumber dari Abang. Dengan setengah hati aku keluar, melihat Abang yang sudah berganti pakaian dengan kaos berkerah warna abu-abu dan celana pendek.
Malam ini kami naik mobil untuk sampai ke tempat karnaval. Sehabis hujan udara berubah dingin, maka dari itu Abang tidak menghidupkan AC. Selama perjalanan pun aku hanya diam, walaupun Abang banyak bicara. Setelah sampai di sana, Abang mencari parkir dan mengajakku berjalan-jalan melewati satu-persatu pedagang kaki lima yang berjajar di pinggiran.
Sepanjang jalan Abang merangkul pundakku, membelikan apapun yang aku mau. Sehingga rasa kesalku pada saat itu hilang sudah. Abang memang tahu caranya membuatku lebih baik. Abang memang tidak meminta maaf karena aku tidak menyukainya. Aku tidak suka orang meminta maaf kepada-ku, tetapi aku lebih suka orang yang membuktikan rasa menyesalnya karena membuatku sedih atau marah dengan cara yang unik. Seperti Abang.
"Makasih Bang," ucapku ketika kami duduk di pinggir jalan berdua sambil memakan pisang goreng, lagi.
Abang mengangguk, "Abang sayang banget sama kamu! Ngerti 'kan?"
Aku mengangguk lalu tersenyum tipis. Tentu saja aku tahu Abang sangat menyayangi aku. Terima kasih sudah menjadi Abang yang baik, Bang.
°°°