08 AGUSTUS 2011
ALJAVAR GANINDRA ADHINATA
___________________________________
SEMENJAK aku tahu Lovia suka lagu dari band Armada, aku jadi sering mendengarkannya. Ternyata cinta bisa merubah orang, ya? Dari yang awalnya tidak suka, menjadi suka. Semoga saja semua itu berlaku pada perasaan Lovia kepada-ku juga. Aku berharap dia bisa menerimaku dan membalas perasaanku. Walaupun pada kenyataannya, dia masih saja cuek dan tidak pernah melihat ke arahku. Jika selama ini aku tinggal menunggu perempuan-perempuan mendekatiku lalu memilihnya satu, sekarang aku tidak begitu. Aku jatuh cinta kepada seseorang yang tidak mencintaiku, bahkan cenderung menganggap aku sebagai seorang mengganggu.
Aku memasang earphone ke telinga dan bersenandung kecil sambil berjalan menyusuri koridor kampus yang masih sepi. Biasanya aku akan datang ke kantin untuk menikmati segelas kopi untuk memulai hari di semester baru ini. Sekarang aku sudah berada di semester lima dan menikmati waktu-waktu kuliah yang katanya akan berjalan sangat cepat untuk menuju ke semester akhir. Aku ingin lulus 3,5 tahun. Bukan karena aku ingin menunjukkan betapa hebatnya aku, tetapi karena aku sudah malas berpikir.
Percayalah kalian para siswa SMA yang sedang menunggu periode kuliah dengan sukacita. Berharap jika masa kuliah adalah masa yang indah, itu tidak sepenuhnya benar. Kadang ekspektasi dunia perkuliahan yang menyenangkan karena terlalu sering melihat film atau membaca novel percintaan tentang senior atau dosen. Padahal prakteknya, tidak demikian. Kuliah terkadang minim kisah percintaan, ada pun tidak seindah yang dipikirkan. Tugas-tugas yang menggunung, materi-materi yang membuat kaget karena tidak pernah ditemui di manapun, buku-buku tebal berbahasa asing dan diwajibkan membaca jurnal, tesis, dan lainnya sampai mau muntah rasanya.
Kembali ke fokus pandanganku kali ini, di mana seorang perempuan tengah duduk sendirian di salah satu bangku kantin kampus. Aku tidak berniat untuk kesana, takut dia terganggu dengan kegiatannya yang sibuk mencoret-coret kertas, seperti biasanya. Itu Lovia, kali ini sangat cantik dengan mengenakan jilbab warna merah maroon. Semenjak ada dirinya di kampus ini, semua perempuan di sekitarku biasa saja.
Aku memesan secangkir teh, tidak jadi kopi—karena melihat Lovia memesannya juga. Dari kejauhan aku melihatnya, seperti candu yang sulit untuk dihilangkan. Aku tidak peduli soal ditolak atau apapun itu. Tetapi aku hanya peduli tentang bagaimana bisa mendapatkannya. Aku yakin ini bukan sekedar rasa penasaran saja. Tetapi rasa suka kepada seseorang yang begitu dalam. Terdengar bodoh bukan? Tetapi aku merasa sangat beruntung.
"Heh!"
Aku melepaskan salah satu earphone yang terpasang di telingaku. Melihat tiga orang perempuan yang sedang mendekati Lovia. Dahiku berkerut, apa yang akan dilakukan Alea dan kedua temannya kepada Lovia di sana. Aku masih menahan diri jika tidak ada yang parah apalagi sampai main tangan. Alea memang terkenal meresahkan, tetapi dia jarang datang bersama dengan teman-temannya untuk mendekati Maba.
"Jadi ini yang godain Javar?"
"Muka pas-pasan kaya gini mau saingan sama cewek kaya Alea! Dih, enggak level banget sih,"
Aku mendengar Sonia dan Ima sedang mengatakan hal-hal yang kurang pantas dikatakan senior kepada juniornya. Tapi kali ini aku masih menahan diri untuk tidak datang kesana. Aku ingin melihat apakah yang dilakukan geng itu kepada perempuan-perempuan yang dulu sempat dekat denganku. Ya, semenjak bersama dengan Alea, banyak teman perempuanku yang menjaga jarak denganku. Dan aku yakin jika itu semua karena intimidasi dari geng itu.
"Lo enggak usah sok kecakepan deh! Mentang-mentang baru dikasih harapan dikit aja, udah belagu banget." Ucap Alea kepada Lovia yang hanya diam saja.
Aku tidak melihat wajah takut atau terganggu dari Lovia. Perempuan itu cenderung diam saja dan tidak mau tahu sama sekali dengan apa yang Alea tuduhkan kepadanya. Diam-diam aku tersenyum melihatnya. Aku tahu dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan, termasuk mengabaikan Alea yang mengomel tidak jelas di depannya. Perempuan itu memang unik.
"Lo dengar enggak?" Bentak Alea yang sudah mulai terdengar kasar.
Lovia mengangkat kepalanya, "saya dengar, tapi saya tidak mau memberi komentar apapun. Bukannya Kakak adalah orang yang seharusnya menjadi panutan Maba? Kenapa repot-repot datang untuk mengatakan hal-hal omong kosong di depan saya. Kakak tahu sendiri 'kan kalau saya tidak suka Kak Javar. Saya yakin Kakak paham sekali! Lalu kenapa datang kepada saya dan marah-marah? Kenapa tidak memarahi Kak Javar yang mengatakan itu kepada saya? Memangnya saya minta? Memangnya saya bilang suka juga? Dunia ini aneh, perempuan seringkali menjatuhkan sesamanya untuk melihat dirinya yang paling tinggi."
Mampus, Alea. Dia benar-benar terkena skakmat dari juniornya sendiri. Aku rasanya ingin berteriak karena ucapan Lovia yang begitu sangat logis dan berani. Jarang ada perempuan yang seperti Lovia selama ini. Kebanyakan korban bully hanya diam karena takut, dan hari ini aku melihat Lovia berani membela dirinya sendiri. Dan menurutku, itu keren.
"Lo bisa sopan enggak sama senior?" Bentak Sonia yang merampas pulpen dari tangan Lovia.
Lovia menatap Sonia sekilas lalu mengeluarkan pulpen lagi dari dalam tasnya, tidak mau peduli. Memang badai perempuan satu ini. Tidak pernah aku menemukan perempuan modelan seperti ini, tetapi versiku. Mungkin diluaran sana ada, tetapi yang aku temui baru Lovia saja. Semoga saja hanya Lovia dan akan terus Lovia.
"Lo bisa sopan enggak sih sama senior!" Marah Alea yang meremas kertas Lovia. Aku cukup kaget dengan apa yang Alea lakukan. Itu bisa disebut sebagai hal yang tidak menyenangkan, bukan?
Aku hendak berjalan mendekat dan melerai pertengkaran mereka. Alea juga sudah keterlaluan terhadap Lovia dengan meremas kertasnya. Menurutku itu adalah hal yang sangat lancang dan tidak wajar. Aku akhirnya berjalan mendekat ke arah mereka berempat.
"Kemarin waktu OSPEK, dengan bangganya Kakak bilang di depan semua Maba—tidak ada senioritas. Lalu sekarang apa? Apa semua itu hanya berlaku ketika OSPEK saja?" Ucap Lovia kepada Alea dengan senyuman sinis. "Begitu Kak Javar?" Sambungnya yang menatap ke arahku.
Alea sontak langsung menoleh dan melihatku yang berada di belakang dirinya dan teman-temannya. Alea tampak kaget dan menunduk. Sonia maupun Ima hanya saling pandang, berusaha untuk menghindari kontak mata denganku.
"Apa yang terjadi?" Tanyaku kepada Lovia.
"Ganin..." Panggil Alea sambil memegang lenganku. "Aku mau ngomong sama kamu!" Sambungnya dengan setengah memaksa.
Aku melepas genggaman tangan Alea dan memilih untuk berdiri di depan Lovia, berusaha untuk menjauhkan Lovia dengan Alea.
"Ganin..." Rengeknya kepada-ku.
"Jangan kelewatan ya, Lea. Gue udah bilang sama Lo untuk jangan ganggu orang-orang disekitar gue. Lo enggak paham juga?" Tandasku dengan kesal.
"Udahlah Kak, kenapa malah jadi drama sih? Aku juga enggak suka ya Kakak sok bela-in aku di depan orang banyak kaya gini. Permisi!" Ucap Lovia yang lagi-lagi pergi meninggalkan aku.
Beberapa mahasiswa yang kebetulan baru masuk ke kantin pun menatap ke arahku. Aku tidak terlalu peduli dan hendak melangkah pergi setelah mengambil pulpen milik Lovia yang sempat dirampas Sonia tadi. Kami semua bubar, termasuk Alea dan teman-temannya yang menanggung malu. Walaupun begitu, beberapa orang masih sempat-sempatnya mengata-ngatai Lovia yang tidak-tidak. Aku benci dengan orang-orang yang mudah sekali menilai orang lain. Padahal 'kan, mereka belum mengenalnya dengan baik.
Aku kembali ke fakultas Teknik—fakultasku. Fakultasku dan fakultas Lovia bersebelahan, memudahkan aku untuk bertemu dengannya saja. Apalagi aku sering pergi ke kantin di fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Mungkin sudah kebiasaan sejak menjadi Maba. Apalagi kegiatan anak-anak BEM tingkat universitas sering dipusatkan di gedung yang berada dekat dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
"Dari mana aja Lo?" Tanya Farhan yang sudah duduk di bangku paling pojok pagi ini.
"Kuliah berangkat duluan bukannya duduk di depan, malah di belakang. Gimana sih Lo!" Tegurku kepada Farhan.
"Yee, Elo aja sono yang pintar. Biar gue yang di belakang. Jawab dulu pertanyaan gue, dari mana?" Tanya Farhan kembali.
"Palingan main ke fakultas sebelah. Makin rajin aja dia semenjak ada kanebo kering kuliah di sana." Ucap Arman asal.
Aku memukul mulutnya, "bilang kanebo kering sekali lagi, gue enggak kasih contekan pas ada tugas, mau Lo!"
"Ngancam terus..."
"Gitu aja ngambek..." Sahut Rian.
Lovia, Lovia, kapan kamu suka aku?
°°°