01 AGUSTUS 2011
ALJAVAR GANINDRA ADHINATA
____________________________________
JAVAR, itu namaku. Beberapa orang sering memanggilku 'Ganin'. Hanya beberapa orang saja—Mama, Papa, dan satu lagi Alea. Siapa Alea? Dia mantan pacarku, perempuan yang sangat aku sukai dari jaman Maba sampai akhir semester lalu. Alea itu cantik, pintar, pemberani, dambaan para laki-laki intinya. Sayangnya satu, matre. Alea suka belanja barang branded, make up juga harus jutaan, kendaraan pacar harus mewah dan mahal, outfit pacar juga harus bisa seimbang dengannya. Alea bukan perempuan sembarangan, orang tuanya pengusaha perak. Jadi wajah kalau realistis. Katakan saja begitu.
Lalu, jika kalian bertanya tentang mengapa aku dan Alea putus? Maka jawabannya bukan karena aku tidak sanggup dengan peraturan pacaran yang dibuat Alea. Memang, pacaran denganku pun Alea tidak meminta ini-itu. Kenapa? Karena Alea suka denganku secara serius. Aku pun sama. Aku suka Alea dengan tulus. Sayangnya, Alea tidak bisa bertahan dengan satu laki-laki saja. Alea suka padaku, tapi tidak bisa menolak laki-laki yang memberikan kartu kredit kepadanya.
Lupakan tentang masa laluku dan Alea yang sudah pupus itu. Saat ini aku fokus kepada seseorang yang berada di barisan paling depan. Aku tidak bisa melihat namanya karena silau matahari dan pandangannya sejak tadi menunduk terus. Padahal aku sudah membetulkan simpul tali sepatunya. Tidak adakah ucapan terima kasih? Pura-pura mencari perhatian seperti perempuan yang lainnya? Ah, tampaknya tidak dan aku kecewa.
Siang ini, setelah selesai berkeliling kampus—melihat satu-persatu ruang dan memperlihatkan bagian terbaik dari fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, kami semua beristirahat di tepi lapangan bersama-sama. Senior dan junior berbaur satu sama lain. Aku mengeluarkan permen dari dalam saku celanaku dan memakan isinya. Mataku masih fokus kepada perempuan itu, perempuan yang sedang duduk dibawah pohon dan menatap bekal makannya.
Beberapa mahasiswa melambaikan tangan ke arahku, memintaku untuk bergabung. Tetapi, hanya senyuman yang aku tebar dan terus berjalan ke arah perempuan itu. Aku harus tahu siapa namanya. Aku harus tahu, apakah dia punya pacar atau tidak?
"Hai," sapaku dengan percaya diri kepada perempuan berjilbab warna hitam itu.
Perempuan itu menatapku sekilas lalu tersenyum tipis. Bahkan untuk ukuran senyum yang seperti ini tidak bisa aku kategorikan sebagai sebuah senyuman. Biasanya, orang-orang akan memberikan senyuman terbaik untukku—tetapi perempuan ini tidak begitu. Dia terlalu cuek, cenderung tidak peduli dengan kehadiranku.
"Sendiri aja?" Tanyaku berbasa-basi lalu duduk di depannya, membuat beberapa orang menatap ke arah kami.
Perempuan itu menoleh, "hm, iya."
Entah mengapa, semakin dia cuek, semakin aku tertarik untuk melihat wajahnya yang manis. Jujur saja, aku bukan tipikal orang yang suka untuk berbasa-basi. Jika aku suka kepada seseorang, pasti langsung aku dekati. Mungkin dengan seperti ini, sedikit membuktikan bahwa perempuan ini berhasil untuk menarik perhatianku. Lebih tepatnya aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya. Ya, aku tidak akan menyembunyikan perasaanku—karena setiap manusia wajar jatuh cinta.
Cinta tidak bisa direncanakan, kapan dan dengan siapa. Jadi, selama itu perempuan—kenapa tidak? Lagipula, perempuan di depanku ini sangatlah istimewa di mataku. Jarang-jarang aku menyukai seorang perempuan berjilbab. Biasanya, aku berpacaran dengan mereka-mereka yang tampil modis bak model terkenal. Ah, cinta juga tidak memandang penampilan. Jika sudah suka, mau bagaimana lagi?
"Kenalin," ucapku menyodorkan tangan kananku ke arahnya. "Aku Javar..." Sambungku menyebutkan namaku sendiri.
Perempuan itu menoleh, menatap tanganku yang menjulur ke arahnya. Masih tidak ada reaksi sama sekali, malah cenderung mengabaikanku. Aku tidak tahu apa yang salah denganku atau apa yang membuat perempuan ini tidak nyaman aku dekati. Apa karena tatapan tidak menyenangkan dari beberapa orang? Ah, mungkin iya! Jadi, lebih baik aku meninggalkannya dulu dan bertemu dengannya setelah pulang OSPEK saja.
"Oke, aku pergi dulu." Ucapku lalu sedikit berbisik. "Nanti bubaran OSPEK, kita ketemu lagi di sini. Jangan lupa!" Sambungku dengan senyuman tipis.
Aku beranjak meninggalkannya lalu bergabung dengan teman-temanku yang sedang makan nasi box sambil bergosip. Ada beberapa anak BEM yang masih bergabung dengan para junior—malah tidak jarang ada junior yang memilih bergabung dengan anak-anak BEM. Apalagi kalau ada maksud lain, seperti modus.
"Ngapain Lo tadi?" Tanya Arman sambil membuka tutup botol air mineralnya.
"Enggak ngapa-ngapain," jawabku dengan senyuman tipis.
"Palingan juga modus-in Maba! Tapi, enggak cantik tuh, biasa aja." Ucap Farhan memberikan komentar.
Rian ikutan menganggukkan kepalanya, menyetujui omongan Farhan. "Tumben, selera Lo turun drastis? Masa dari cewek sekelas Alea, jadi turun kasta sama cewek yang biasa-biasa aja?"
Aku hanya menaikkan kedua bahuku acuh, "kalau udah cinta, mau gimana bentuknya—gue suka!"
Rian mengerutkan keningnya, "lah, udah bilang suka? Belum juga sehari udah jatuh cinta. Lo kebanyakan nonton AADC kayanya!"
"Apa hubungannya?" Tanyaku tidak terima karena Rian menyebutkan film yang sering aku tonton berulang kali tanpa bosan. Bagaimana aku bisa berpaling dari wajah cantiknya Dian Sastro? Kadang, aku sering berkhayal untuk menjadi seorang Rangga yang dicintai oleh Cinta. Astaga!
"Enggak ada hubungannya, cuma Lo kebanyakan lihat film romantis, jadi ekspektasi Lo tinggi. Cinta pertama? Gue enggak percaya kalau memang benar-benar ada!" Tandas Farhan yang mendapatkan persetujuan dari Rian dan Arman.
Aku tidak menanggapi, "gue berharap film AADC ada season duanya."
"Hubungannya apaan?" Tanya mereka bertiga kompak.
"Enggak ada hubungannya, gue cuma kebanyakan nonton film romantis." Ucapku dengan menyindir Farhan.
Mereka hanya diam, tidak banyak berkomentar dan melanjutkan makan sebelum jam istirahat selesai. Setelah itu kami memulai OSPEK kembali, lagi-lagi fokusku tercuri kepada perempuan itu. Aku sengaja berdiri tepat di depannya ketika salah satu temanku menjelaskan di mimbar. Perempuan itu tampak mengantuk, terlihat sekali dari matanya. Aku menoleh ke arah sebuah name tag besar yang menggantung di lehernya.
"Diandra Lovia Saradika..."
"Kamu biasanya dipanggil apa?" Tanyaku kepada perempuan itu lagi, ketika barisan dibubarkan.
"Diandra? Lovia? Atau Saradika?"
Lagi-lagi dia mengabaikanku. Apa yang sebenarnya perempuan ini pikirkan?
"Kalau enggak gini, gimana kalau kita mulai kenalan. Aku Javar, nama kamu siapa?" Ulangku untuk berkenalan. "Semuanya aman kok, enggak ada yang lihat kita ngobrol." Sambungku.
Perempuan itu melipat tangannya di d**a lalu tersenyum sinis, "maaf ya Kak, Kakak jangan terlalu percaya diri. Aku memang enggak mau kok kenalan sama Kakak. Bukan karena masalah ada atau enggaknya Maba lainnya, tapi memang karena aku enggak mau kenal sama Kakak. Aku harap Kakak mau mengerti!"
Gila, apa ini rasanya ditolak? Aku belum mengucapkan apapun, tetapi dia sudah berjalan meninggalkan aku seperti orang bodoh. Seorang Javar, ditolak perempuan? Astaga, apa aku sudah tidak menarik lagi? Apa pesona yang aku miliki sudah pudar? Tidak mungkin, 'kan?
"Belagu banget itu cewek," gerutu Arman sambil menepuk bahuku pelan. "Udahlah, masih banyak mahasiswi cantik. Nanti gue cariin yang paling cakep. Jangan khawatir." Ucap Arman lagi-lagi.
Aku melepaskan tangan Arman dari pundakku, "gue maunya dia! Siapa panggilannya kira-kira? Diandra? Lovia? Atau Saradika?"
"Itu namanya?" Tanya Arman lagi.
Aku hanya mengangguk saja.
"Norak banget!" Jawabnya spontan tanpa saringan sama sekali.
"Mulut Lo Man, kasar banget! Awas aja jodoh Lo mirip sama dia." Ucapku asal kepada Arman.
"Amit-amit deh! Kalau bisa, jodoh gue yang sebelas-dua belas sama Alea. Iya enggak?" Ucap Arman meminta persetujuan dari Farhan dan Rian.
"Yaps..." Kompak mereka.
Aku hanya mengabaikan mereka, berjalan menjauh menuju ke parkiran. Mana paham mereka dengan urusan cinta, pacaran saja tidak pernah. Iya, mereka bertiga pintar teorinya saja—tapi tidak pernah berani nembak perempuan. Banyak pengalaman pahit katanya sejak jaman SMA. Dari Arman yang pacarnya hamil duluan sama temannya, Farhan yang diputusin karena kere, dan Rian yang selalu ditolak karena terlalu m***m.
Ya, begitulah. Terkadang, manusia jomblo lebih bijak ketimbang orang yang punya pacar. Mereka terlalu sering menasehati, menganggap jika mereka di posisi ini akan mudah. Tetapi tidak tahu saja bagaimana jika menghadapinya. Baiklah, aku tidak akan menyerah mendekatinya.
...Diandra Lovia Saradika.
°°°