05 OKTOBER 2020
DIANDRA LOVIA SARADIKA
_______________________________
"ASTAGHFIRULLAH, Lovia bangun! Udah jam berapa ini? Kamu enggak sholat subuh?"
Kedua mataku terbuka lebar, alarm berdering nyaring dan suara Bunda menjadi backsound tambahan yang membuatku semakin panik. Sudah pukul 05.10 WIB, harus segera sholat subuh. Aku membuka pintu setelah memakai jilbab praktisku. Ada Bunda di depan pintu, sengaja aku abaikan karena sudah telah sholat berjamaah dengan Ayah dan Bunda. Kebetulan masjid dan mushola di daerahku ini lumayan jauh. Jadi, Ayah mengalih fungsikan salah satu ruangan untuk digunakan sebagai tempat sholat.
Aku mengambil air wudhu terlebih dahulu dan segera sholat. Beberapa menit berlalu, dua rokaat akhirnya terlaksana walaupun dengan susah payah. Hari ini aku kesiangan sholat subuh, hal yang seringkali membuat aku menyesal sekaligus malu kepada Sang Pencipta. Bagaimana aku bisa hidup dengan tenang, padahal aku seringkali melalaikan perintah-Nya. Setelah selesai berdoa, aku masih setia duduk di atas sajadah. Belum berniat untuk meninggalkan tempat sholat.
Aku memikirkan kembali tentang pertemuanku dan Javar yang tidak terduga. Bagaimana mungkin kami bisa dipertemukan kembali setelah delapan tahun tidak ada kabar. Ah, Allah memiliki segudang rencana tentang kehidupan makhluknya. Tetapi, kenapa harus Javar? Kenapa tidak orang lain saja yang setidaknya tidak ku kenal. Sungguh, aku tidak paham bagaimana jalan takdirku. Tetapi, bertemu dengan Javar—bukan hal yang aku inginkan.
Gara-gara pertemuan itu, aku tidak bisa tidur semalam dan akhirnya bangun kesiangan. Sebenarnya aku tidak bisa menyalahkan orang lain karena kesalahanku sendiri. Tetapi, siapa lagi yang bisa aku salahkan jika bukan Javar? Ah, kepalaku terus dibayang-bayangi dengan wajah seniorku itu. Senior yang pernah mengajakku berkenalan di depan umum. Karenanya, aku dibenci beberapa orang. Bahkan aku tidak bisa punya teman waktu itu.
"Lov," panggil Bunda yang baru saja masuk ke dalam ruangan di mana tempat kami biasanya sholat.
Aku yang baru melipat mukena hanya tersenyum lalu membiarkan Bunda mendekatiku. Biasanya, Bunda akan memberikan aku pertanyaan atau memberikan kata-kata motivasi yang menenangkan selepas sholat subuh. Entah mengapa, cara Bunda ini sangat manjur untuk diterapkan. Mungkin karena selepas beribadah, pikiran masih oke, badan pun sudah bugar, sehingga energi positif berkumpul menjadi satu. Setidaknya, Bunda adalah orang tua yang memberikan ruang kepada anak-anaknya untuk berpendapat dan mendengarkannya ketika dibutuhkan.
"Apa Javar yang kamu ceritakan waktu jaman kuliah itu, Javar yang akan menikah sama kamu?" Tanya Bunda lembut.
Aku diam beberapa saat, menatap Bunda yang tampak penasaran sekali dengan jawabanku. Aku memegang kedua tangan Bunda lalu tersenyum tipis. Bunda dan Ayah memberikan kepercayaan penuh kepadaku dan Abang, mereka adalah orang tua yang selalu memberikan kenyamanan kepada anaknya—diatas kenyamanan mereka sendiri. Jadi, walaupun aku tahu kemana arah Bunda bicara, untuk sekali ini saja, aku tidak akan mengelak.
"Lovia enggak pa-pa kok, Bunda. Lovia enggak akan bikin malu dan membuat kalian kepikiran." Ucapku kepada Bunda untuk menenangkan.
Bunda menggeleng, "bukan itu yang Bunda khawatirkan. Tapi kamu.. anak Bunda sendiri. Bunda enggak mau bikin anak Bunda sedih, Bunda enggak mau lihat kamu kaya dulu! Bunda enggak mau!"
"Bun, Lovia enggak mau bikin Ayah dan Bunda kecewa. Lagipula, Lovia enggak pa-pa kok walaupun Javar adalah masa lalu Lovia. Kita enggak tahu kapan datangnya jodoh, 'kan? Kalau memang nantinya jodoh, ya udah. Lovia enggak mau membuat masalah lebih besar. Lovia enggak akan membatalkan perjodohan ini, biar Javar yang melakukannya kalau dia mau!" Ucapku kepada Bunda seraya tersenyum.
Bunda mengelus kepalaku, sedikit khawatir dengan perjodohan ini. Padahal, kemarin Bunda terlihat senang ketika melihat Javar untuk pertama kalinya. Bunda sangatlah antusias karena Javar sopan dan nyambung diajak bicara orang tua. Katanya, anak jaman sekarang jarang yang bisa nyambung diajak bicara orang tua. Aku pun sudah tahu bagaimana kepribadian Javar—sifatnya yang mudah bergaul dengan siapa saja membuatnya begitu terlihat menawan. Apalagi dia berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. Hebat, bukan?
"Ya udah Bun, Lovia mau siap-siap berangkat ke kantor." Pamitku kepada Bunda untuk pergi ke kamarku—menghindari pembahasan yang lebih intens lagi tentang Javar.
Bunda menganggukkan kepalanya dan aku bergegas untuk keluar dari ruangan sholat setelah meletakkan mukena di dalam lemari kecil. Aku menoleh sebentar, menatap Bunda yang masih duduk di ruangan sholat sendirian. Mungkin Ayah dan Bunda ingin aku bahagia. Tetapi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Tentang bagaimana rasa kagetku ketika melihatnya untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun tidak bertemu.
Aku masuk ke dalam kamar, melihat beberapa kertas berserakan di atas meja kerjaku yang berada di dekat jendela besar. Ya, aku punya tempat ternyaman ketika membawa suatu pekerjaan ke rumah—tempat itulah yang kadang-kadang menjadi sebuah tempat penuh inspirasi. Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi dan aku belum bersiap-siap sama sekali. Kantor buka jam sembilan—tempat kerjaku memang diwajibkan datang jam sembilan pagi. Enak bukan?
Jika beberapa perusahaan akan buka jam tujuh atau setengah delapan, di tempatku bekerja, jam sembilan adalah waktu yang normal untuk masuk kerja. Atasan kami adalah orang yang baik dan pengertian, beliau sangat memperhatikan semua karyawannya. Walaupun perusahaan kami adalah perusahaan anakan atau cabang dari perusahaan keluarga Pak Bos—tetapi beliau sangat hebat dalam memimpin. Ah, jika membahas tentang Pak Bos, sepertinya tidak akan habis aku memujinya.
Aku masuk ke dalam kamar mandi, untuk mandi. Setelah selesai mandi, aku mengganti pakaianku dengan blouse floral yang dipadukan dengan long pants orange. Untuk hijab aku mengenakan jilbab segiempat biasa warna hitam. Setelah itu aku duduk di depan meja rias untuk memakai make up seperti biasa. Hanya butuh waktu lima menit untuk berdandan dan selebihnya untuk bersiap-siap.
Setelah selesai bersiap-siap, aku tinggal mengenakan heels warna hitam dan mengambil tas warna hitam dengan tali rantai yang sudah aku siapkan. Barulah aku keluar dari kamar dengan penampilan yang menurutku sudah sangat maksimal. Aku menuruni anak tangga rumah dan berhenti di ujung tangga saat melihat seseorang yang berada di meja makan—sedang mengobrol santai dengan Ayah.
Aku menghela napas panjang, baru semalam kami bertemu dan Javar sudah berani datang ke rumahku. Mengapa hal seperti ini terjadi kepadaku? Ku pikir, dia tidak akan senekat ini—seperti jaman kuliah dulu. Tetapi kenyataannya, Javar ketika dewasa dengan Javar di masa kuliah sama saja. Tidak ada bedanya. Bahkan cenderung menyebalkan sekali.
Ayah menoleh ke arahku, "sini Dek, ada Nak Javar lho. Katanya mau nganterin kamu ke kantor. Mobil kamu baru di bengkel 'kan?"
Aku berjalan pelan menuju ke meja makan, menatap Javar yang duduk dengan tenang disamping Ayah. Dia tidak menoleh sama sekali, tetapi semenit kemudian—dia menoleh tepat ketika aku berada di depannya. Laki-laki itu memang masih sama seperti pertama kali kita bertemu, rambut cepak, senyuman tipis, dan kharisma yang memang tak pernah pudar termakan jaman.
"Selamat pagi, Lovi." Sapanya sambil tersenyum.
Dia? Dia calon tunanganku? Atau mungkin calon suami, yang akan segera menikah denganku? Ya Allah, apa lagi rencana gila selain ini?
°°°