06 OKTOBER 2020
ALJAVAR GANINDRA ADHINATA
____________________________________
SEMALAM, aku tidak bisa tidur—karena pertemuan yang membuat aku kepikiran. Aku baru saja pulang dari luar kota setelah menyelesaikan proyek-proyek pembangunan jalan. Lalu, tiba-tiba Papa dan Mama ingin aku bertemu dengan seseorang yang akan dijodohkan denganku. Bahkan, Papa dan Mama belum bertanya apa aku mau atau tidak. Mereka seperti membuat keputusan sendiri tanpa persetujuanku. Papa memang selalu bertanya tentang apakah aku punya hubungan dengan seorang gadis?
Papa sepertinya sangat khawatir jika anak semata wayangnya ini tak akan pernah menikah. Pasalnya, semenjak lulus kuliah, aku tidak pernah sama sekali pacaran. Jangankan pacaran, terlihat dekat dengan perempuan manapun saja tidak. Alasanku untuk tidak berhubungan dengan siapapun adalah, fokus kuliah. Pada waktu itu aku pindah keluar negeri setelah mendapatkan beasiswa. Maka dari itu, aku memutuskan untuk total dalam menjalankan kuliahku. Lalu, untuk masalah lainnya adalah, aku masih mencintai seorang perempuan yang menjadi masa laluku.
Jika kalian bertanya siapa? Maka aku akan menjawabnya dengan mudah, Lovia. Dia adalah masa lalu termanis yang pernah aku temui. Walaupun tidak sempat aku miliki, tetapi aku akan berusaha sedikit lagi. Toh, saat ini dirinya sudah menjadi orang yang akan dijodohkan denganku. Ataukah mungkin, boleh aku panggil dengan calon istriku. Entah, takdir Tuhan memang luar biasa. Pertemuanku dengannya pun tanpa diduga-duga.
Pagi ini, aku mengabaikan semua rasa lelahku. Biasanya, setelah pulang dari luar kota, aku akan memanjakan diri di dalam kamar dengan rebahan. Tapi untuk kali ini, aku akan datang ke rumah Lovia. Aku juga ingin terus bertemu dengannya, melihat apakah perasaan Lovia berubah kepadaku atau masih sama saja. Jika masih sama seperti dulu, maka aku akan merubahnya menjadi cinta. Memang terlihat bodoh, mencintai orang yang belum tentu mencintai kita. Tetapi, tidak ada yang salah dalam cinta. Menurutku, aku berhak mencintai Lovia dan Lovia berhak untuk tidak mencintaiku. Tapi, Tuhan lah yang Maha Tahu. Jadi, jangan sok Tuhan—karena kita semua manusia.
Dengan mobil paling bagus karena baru aku beli bulan lalu, aku segera bergegas ke rumah Lovia. Dengan semangat, sambil menghidupkan musik-aku bersenandung kecil. Rasanya bahagia sekali, aku tidak percaya jika hari ini akan datang kepadaku. Aku sampai sulit tidur, hampir telat menjalankan kewajiban dua rokaat-ku. Tetapi untunglah Mama menyelamatkanku dengan mengetuk pintu kamarku dengan keras.
Setelah lima belas menit, aku sampai di rumah Lovia. Ada Pak Tukang kebun yang membukakan gerbang lalu mempersilakan aku masuk ke halaman rumah. Aku menyapanya setelah memarkirkan mobil dan meminta ijin untuk masuk ke dalam rumah karena ingin bertemu dengan Ayah-aku sudah memanggilnya begitu mulai semalam. Sejak semalam, kami semua seperti membuat kesepakatan bersama. Tidak ada Om-Tante, tetapi sudah Ayah-Bunda dan Papa-Mama. Itu bagus, menurutku.
"Assalamualaikum, Yah." Sapaku setelah masuk ke dalam rumah dan diarahkan ke meja makan oleh salah satu ART yang bekerja di rumah Lovia.
Ayah menoleh dan tersenyum lebar ke arahku, "walaikumsalam. Lho, kok enggak bilang kalau mau datang, Nak Javar. Nanti 'kan disiapin sarapan yang enak."
Aku mendekat lalu menyalami Ayah yang sedang duduk sendirian di meja makan, "aduh Yah, ini aja sarapannya sudah enak-enak kok."
"Kamu ini 'kan sudah lama di luar negeri. Biasanya pasti sarapan ala-ala luar negeri begitu, 'kan?" Ucap Ayah antusias.
Aku menggeleng, "enakan masakan Indonesia, Yah. Dulu, kalau di luar, yang paling Javar kangenin adalah masakan rumahan kaya gini. Kalau pulang ke rumah, pasti Mama bikin makanan khas Jogja semuanya. Ada gudeg, sayur lombok ijo, brongkos, pokoknya semua masakan khas deh. Katanya, biar Javar enggak lupa sama budaya sendiri. Padahal, yang paling dikangenin dari rumah 'kan, memang masakan buat Ibu sendiri."
"Wah, Ayah jadi bangga sama kamu! Jarang-jarang lho, orang kaya kamu. Biasanya, orang yang sekolah di luar negeri sombong-sombong. Pulang ke Indonesia langsung sok Inggris. Terus katanya lagi, sudah terbiasa pakai bahasa internasional. Ya, walaupun enggak semua orang yang sekolah di luar negeri sombong. Tapi beberapa anak tetangga itu, baru tiga bulan di luar negeri—pulang-pulang sudah lupa pakai bahasa Indonesia. Kalau malam sering dugem, katanya sudah biasa di sana. Budaya boleh berbeda, tetapi agama tetap harus nomor satu. Menurut Ayah, tapi." Ucap Ayah panjang lebar.
"Ayah ini, ngajakin Nak Javar gibah pagi-pagi."
Aku menoleh dan mendapati Bunda yang baru keluar dari dapur. Sontak aku berdiri lalu menyalami Bunda dengan tersenyum.
"Siapa yang gibah, Bun? Ayah cuma bicara fakta," jawab Ayah menatap Bunda yang meletakkan kopi di atas meja-tepat di depanku.
"Diminum, Nak Javar. Sarapan juga, ambil sendiri, ya. Anggap saja rumah sendiri." Ucap Bunda ramah. "Lovia baru dandan kayanya. Dia memang begitu, lelet." Sambung Bunda yang sedikit berbisik.
Aku terkekeh kecil, "iya, Bunda. Javar jadi enggak enak, datang-datang udah numpang makan aja."
Bunda menggeleng, "enggak pa-pa, Bunda malah senang kalau ada tamu yang ditawarin apa-apa itu mau. Ya, walaupun sebenarnya kamu bukan tamu juga sih. Tapi calon mantu."
Aku tersenyum menanggapi ucapan Bunda lalu mengambil piring dan menyendokkan nasi dan lauk ke piringku. Kata Bunda, sarapan di rumah ini sedikit siang, mengapa? Karena Ayah dan Lovia sama-sama berangkat jam 8-an. Setidaknya memudahkan Bunda—tidak terlalu terburu-buru menyiapkan makanan. Bunda pun sudah tidak bekerja lagi karena Ayah sudah melarang, katanya anak-anak sudah mapan, jadi Bunda tidak boleh bekerja lagi.
Sambil makan, aku dan Ayah saling bicara. Kami membicarakan banyak hal, dari proyek yang Ayah jalankan, sampai hal-hal kecil tentang kisah di masa lalu. Orang tua seringkali suka menceritakan perjuangannya untuk meraih kesuksesan. Terkadang, hal tersebut dianggap membosankan untuk kita para kaum muda, tetapi cobalah untuk mendengarkan saja. Mereka—para orang tua—akan merasa dihargai jika didengarkan. Terkadang, kita—kaum muda—lebih pintar berbicara ketimbang mendengarkan, bukan? Jadi, tidak ada salahnya menyenangkan orang tua dengan mendengarkan ceritanya yang kadang berulang dan sangat membosankan.
"Sini Dek, ada Nak Javar lho. Katanya mau nganterin kamu ke kantor. Mobil kamu baru di bengkel 'kan?" Suara Ayah yang memanggil seseorang di belakangku, membuatku kaget.
Ah, itu pasti Lovia. Bagaimana aku bisa bersikap kepadanya? Langkah kakinya semakin mendekat dan aku sontak menoleh—dia berada tepat di depanku. Ternyata Lovia masih sama saja, tidak ada senyuman yang aku harapkan. Tetapi, aku masih terus mengaguminya. Bodoh? Kurasa tidak. Tuhan selalu tahu caranya memberi anugerah ditengah kebimbangan ini.
"Selamat pagi, Lovi." Sapaku pelan dengan senyuman tipis.
"Pagi," jawabnya singkat lalu duduk di kursi yang tepat berada di depanku.
Oh, begini rasanya duduk satu meja makan dengan seseorang yang aku cintai. Subhanallah, betapa cantik makhluk ciptaan-Mu, Ya Rabb. Jika bisa, tolong secepatnya nikahkanlah kami berdua.
"Kamu masuk kerja jam berapa, Lov?" Tanyaku kepada Lovia yang sedang menyantap sarapannya.
Perempuan itu menatapku sekilas lalu kembali fokus dengan makanan di piringnya, "jam sembilan, Kak."
"Kamu manggilnya diganti Mas gitu, Dek. Lebih enak didengar menurut Ayah." Ucap Ayah yang membuat kami berdua terdiam. Aku tidak berani berkomentar-sedangkan dadaku sudah dag-dig-dug tidak karuan.
"Iya, Yah." Jawab Lovia yang terdengar keberatan.
"Enggak pa-pa kok, Yah. Lovia 'kan butuh wak—"
"Jangan diperpanjang lagi, Mas. Aku bisa kok, cuma masalah panggilan ini."
Lovia yang memanggilku dengan sebutan 'Mas', aku yang gemetaran sendiri. Belum ada perempuan yang berhubungan denganku dari jaman dulu yang memanggilku dengan sebutan seperti itu. Biasanya mereka akan memanggilku dengan sebutan anak-anak muda, yang, beb, say, love, dear, dan kawan-kawannya. Tetapi, kenapa baru dipanggil Mas oleh Lovia saja, aku sudah terbang ke angkasa rasanya.
"Yuk, berangkat, Mas."
Ya Allah, jangan pingsan sekarang!
°°°