06 OKTOBER 2020
DIANDRA LOVIA SARADIKA
_______________________________
JAVAR berjalan lebih dulu untuk membukakan pintu mobilnya dan memintaku untuk masuk. Padahal aku bisa membuka pintu mobil sendiri, tidak manja seperti para perempuan kebanyakan yang harus dibukakan pintu mobil oleh pacar atau suaminya atau... tunangannya. Entahlah, aku tidak tahu harus memanggilnya dengan sebutan apa. Kami kemarin baru saja dijodohkan, tahap awalnya adalah pertemuan dan mungkin sebentar lagi akan menentukan tanggal pernikahan. Rasanya aneh sekali ketika bersama dengan Javar seperti ini setelah delapan tahun tidak bertemu. Aku merasa canggung sendiri, apakah hanya perasaanku?
Javar tampak tenang, dia berlari kecil untuk memutar dan membuka pintu mobilnya. Lalu duduk tepat di kursi kemudi yang berada disampingku. Debaran di dadaku semakin terasa dan napasku memburu. Apakah ini rasanya jatuh cinta? Apakah ini yang seringkali orang-orang katakan tentang perasaan dag-dig-dug karena bersama dengan seseorang. Ah, tetapi bisa saja tidak. Mana mungkin aku menyukainya? Tidak, tidak, tidak, tidak mungkin. Aku hanya bisa mengartikannya sebagai sebuah debaran biasa karena sudah lama tidak bertemu. Itu wajar!
Wajar! Siapa yang mewajarkannya? Tentu saja aku! Aku tidak mau ambil pusing dan pura-pura tidak peduli saja. Ada beberapa hal yang memang lebih baik seperti ini. Harus ada jarak antara kami berdua. Harus ada rasa yang tidak perlu aku katakan dan jelaskan kepadanya. Bukankah dia pernah meninggalkan aku, dulu? Lalu mengapa aku harus berbaik hati menerimanya kembali? Aku tidak ingin terlihat bodoh dengan menerimanya kembali tanpa rasa menyesal sama sekali. Ah, atau mungkin aku yang bersalah selama ini.
Tetapi, di jaman kuliah pun, kami berdua tidak memiliki hubungan apapun. Aku hanya mendengarnya suka kepadaku. Lalu untuk urusan lainnya, aku selalu menolaknya—karena aku benci demo. Dia Javar, terkenal sebagai mahasiswa yang pandai menyuarakan pendapatnya kepada orang-orang, mampu ber-orasi dengan baik, dan namanya sangat terkenal seantero kampus/kampus tetangga. Ah, masa itu, rasanya benci sekali aku membahasnya.
Selama beberapa menit kami diam. Javar sesekali tersenyum manakala aku tertangkap basah meliriknya. Lalu, untuk membuat suasana lebih hidup, Javar memutar sebuah lagu yang aku suka. Lagi-lagi dia masih ingat dengan lagu favoritku. Suara Rizal-Armada langsung masuk ke telingaku dengan sebuah lagu jaman kuliah dulu, hargai aku. Entah apa yang membuatku sangat nyaman sekarang, entah karena lagunya atau karena orangnya—Javar.
"Kamu masih dengar lagu Armada, sampai sekarang?" Tanyanya yang membuatku sedikit kaget. Aku pikir, kami akan diam sepanjang jalan.
"Iya, masih." Jawabku singkat lalu kembali menatap ke arah jendela. Sebenarnya aku berusaha untuk mengalihkan pandanganku darinya, agar tidak terlihat salah tingkah di depan Javar.
"Ada yang baru 'kan lagunya? Yang judulnya Awas jatuh cinta. Benar enggak?" Tanyanya sekali lagi lalu hanya aku tanggapi dengan sebuah anggukan kecil. "Semenjak kamu bilang suka sama Armada, aku juga jadi sering dengar lagu-lagunya. Kamu pernah nonton konsernya?" Sambungnya.
Aku menggeleng, "mana mungkin dibolehin sama Bunda. Baru keluar sebentar ada acara kantor aja, udah diteleponin."
Aku mendengar suara kekehan dari Javar. Spontan aku menoleh dan melihat pemandangan yang sudah lama tidak aku lihat. Aku bisa melihat sepasang lesung pipi yang terbingkai di wajahnya. Javar menatapku lalu tersenyum, senyuman yang dulu adalah milikku. Mengapa aku berkata demikian? Karena dulu, Javar yang mengatakannya sendiri. Senyuman tulus yang dia berikan hanyalah tertuju kepada-ku. Entah itu hanya bualan atau serius, seharusnya aku tidak perlu terganggu.
Setelah itu, kami diam tanpa kata. Javar fokus menyetir dan aku sibuk dengan ponselku yang beberapa kali berdering karena Ratih—teman kerja sekaligus sahabatku sejak kuliah—sudah menelepon berulang kali. Mungkin Ratih penasaran mengapa aku belum sampai di kantor juga. Karena biasanya, aku akan sampai di kantor lebih pagi daripada dirinya. Kali ini, karena ada Javar, semua aktivitasku mundur beberapa menit.
"Gimana kerjaan kamu? Aku dengar dari Bunda, kamu jarang istirahat karena kejar deadline minggu ini?" Tanya Javar yang seolah-olah tahu apa yang aku kerjakan. "Pokoknya, jangan lupa istirahat walaupun banyak pekerjaan." Sambungnya dengan penuh perhatian.
Aku menatapnya lalu mengangguk singkat, "hm, iya.."
"Aku enggak nyangka kalau orang yang dijodohkan dengan aku, itu kamu. Rasanya seperti mimpi dan terasa tidak nyata. Kita sudah delapan tahun tidak bertemu dan tiba-tiba kita bersatu kembali karena sebuah perjodohan orang tua kita. Aku benar-benar senang banget karena orang tuaku menjodohkan aku dengan orang yang aku cintai." Ucap Javar yang membuatku langsung menoleh ke arahnya.
Javar tersenyum, "aku masih sama dengan yang dulu, Lovi. Tentu saja banyak yang berubah dari kita, tetapi perasaanku masih sama. Aku juga tetap tidak akan memaksa tentang perasaanku kamu sama aku. Tetapi, aku akan berusaha untuk membuat kamu jatuh cinta sama aku."
"Udah sampai," ucapku ketika Javar membelokkan mobilnya ke halaman kantorku.
Javar menghela napas panjang lalu tersenyum, "aku berharap, kita bisa ngobrol lagi. Oh iya, tolong ijinkan aku untuk selalu membukakan pintu mobil setiap kali kamu ingin naik atau turun."
"Enggak per—"
"Please, anggap aja permintaanku sebelum mening—"
Aku meletakkan telunjukku di depan bibirnya sebelum dia berhasil untuk menyelesaikan kalimatnya itu. Aku tidak suka mendengarkan kata itu, walaupun keluar dari mulut orang yang aku benci sekalipun.
"Aku enggak suka bahas kaya gitu! Kalau kamu mau buka-in pintu, cepetan! Aku harus on time, masih banyak kerjaan." Gerutuku lalu memasukkan ponselku ke dalam tas.
Javar mengangguk lalu keluar dari mobil untuk membukakanku pintu. Sebenarnya aku tidak biasa diantar seseorang sampai dibukakan pintu seperti ini. Aku bukan seorang putri mahkota yang terbiasa dilayani. Aku juga bukan seorang bangsawan yang antipati dengan melakukan semua sendiri.
Aku keluar dari mobil Javar, dengan begitu aku sudah menjadi tontonan teman-temanku. Banyak diantara mereka yang bertanya-tanya tentang siapa Javar. Mungkin karena selama ini aku jarang terlihat dekat dengan laki-laki apalagi satu mobil. Kadang aku sering menjaga jarak dengan mereka-mereka yang terlihat mulai menaruh hati padaku. Alasannya, tidak nyaman.
"Aku balik ya, assalamualaikum." Pamitnya yang diakhiri dengan salam.
"Walaikumsalam, makasih dan hati-hati di jalan." Ucapku dengan susah payah. Rasanya sulit sekali untuk mengatakannya.
Javar tersenyum lalu masuk ke dalam mobilnya. Aku berjalan terburu-buru untuk masuk ke dalam karena Pak Satpam sudah meledekiku tentang Javar. Katanya, tumben-tumbenan ada cowok yang mengantar sampai ke kantor.
Setelah presensi, aku duduk di tempatku—menghidupkan CPU komputer dan meletakkan botol minumanku di atas meja.
"LOVI..." seru Ratih yang tiba-tiba duduk disampingku dengan menarik kursi milik Dodit yang beberapa hari ini kosong karena sakit.
"Apaan sih!" Ketusku kepada Ratih sambil menekan beberapa tombol di keyboard untuk menuliskan username-ku.
Ratih menampakkan wajah bahagianya sambil menatapku. Walaupun sudah bertahun-tahun menjadi sahabat Ratih, terkadang aku tidak tahu apa isi pikirannya yang kadang-kadang random.
"Kamu ditembak sama Pak Bos?" Tanyaku kepada Ratih yang langsung dibungkam dengan tangannya. Ah iya, aku lupa—ini masih di kantor dan jangan sampai ada yang tahu jika Ratih fans beratnya Pak Bos.
"Bukan!" Gemasnya lalu menata kembali rambutnya yang sebenarnya sudah rapi. "Jadi gini, aku dengar dari anak-anak kalau kamu dianterin sama cowok ganteng. Siapa?" Sumringahnya yang lagi-lagi membahas tentang Javar.
Aku mengalihkan pandanganku ke layar komputer kembali, "kalian itu enggak ada kerjaan. Hal pribadi itu, mah. Aku enggak akan kasih tahu tentang Javar!"
"Oh... Namanya Javar..."
Mati aku. Kenapa bisa sampai keceplosan nama sih? Jika Ratih sampai tahu ke tahap nama, pasti keahliannya sebagai FBI langsung tertantang.
"Udah sana, kerja!" Usirku kepada Ratih karena tidak tahan dengan ledekannya kepadaku. "Kamu mau dipecat sama Pak Bos? Nanti enggak bisa lihat senyumnya," sambungku mengiming-imingi.
Ratih menekuk wajahnya tidak suka lalu beranjak, "tapi nanti harus mau cerita."
"Hm..." Dehemku agar lebih cepat.
Hanya karena masalah Javar yang mengantarkan saja, semua orang menjadi heboh. Lain kali, aku tidak akan ikut dengannya. Terlalu berisiko!
°°°