11. Tertangkap Basah

1324 Words
08 OKTOBER 2020 ALJAVAR GANINDRA ADHINATA ___________________________________ AKU keluar dari kamar setelah rapi dengan mengenakan kemeja hitam yang lengannya ditekuk sampai siku. Sebenarnya aku malas keluar malam ini, karena baru saja pulang dari bertemu klien baru, tadi sore. Tetapi mau bagaimana lagi, sudah berjanji. Pantang seorang laki-laki ingkar janji, menurutku. Walaupun terkadang aku juga sering lupa, tetapi aku selalu berusaha untuk menepati janjiku kepada siapapun. Meskipun janji temu dengan mantan pacarku pada jaman kuliah dulu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih. Seharusnya aku tidur selepas sholat isya', nyatanya semuanya gagal total. Rencanaku untuk menjemput Lovia pun tidak pernah terlaksana dua hari ini karena sibuk. Kata Ayah, mobil Lovia masih di bengkel dan sekarang pulang-pergi naik ojek online, kalau tidak pun biasanya bareng dengan teman satu kantornya. Ingin sekali aku menunjukkan rasa perhatianku kepadanya. Tetapi aku masih saja sibuk dengan urusanku sendiri. Lebih tepatnya lagi adalah urusan pekerjaan. Proyek-proyek kemarin memang hampir selesai. Aku sedikit mengambil hari libur karena Mama yang meminta. Mama juga melarangku untuk mengambil proyek beberapa bulan ke depan karena dikhawatirkan akan bertabrakan jadwalnya dengan pernikahanku dan Lovia yang belum tentu kapan tanggalnya. Jika bisa pun, aku berharap secepatnya. Walaupun aku belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hati Lovia selama ini. Apakah dia mencintaiku atau tidak? Lagipula, aku benar-benar belum siap dengan satu konsekuensi, yaitu : Lovia tidak mencintaiku seperti dulu. Membayangkannya saja aku merasa takut. Pernikahan harus didasari rasa suka sama suka, bukan? Jika hanya salah satunya, apakah pernikahan akan berhasil? Apakah kami akan baik-baik saja nantinya? Aku terus kepikiran hal itu. Lalu sebuah pertanyaan muncul kembali, apakah aku bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik? "Duh," rintihku ketika menabrak meja di ruang keluarga. Sontak Papa dan Mama menoleh menatapku yang sedang kesakitan karena belum bersepatu. "Ngapain kamu?" Tanya Mama penasaran. Aku menggeleng pelan lalu duduk di kursi sofa yang kosong, "nabrak kaki meja, Ma. Rasanya pengen ngomong kasar tadi! Sakit banget!" "Dalan jembar, iso-isone." Heran Papa dengan bahasa Jawa yang artinya adalah 'jalan lebar, bisa-bisanya'. Kurang lebih begitu lah. Aku menghela napas panjang lalu menatap kakiku yang malang. Benar kata pepatah yang mengatakan jangan sering melamun. Ternyata dibalik pepatah itu ada maksud agar tidak menendang meja sembarangan. Lagipula aku sok kuat sekali, kakiku lawan meja—bukan tandingannya. Aku bicara apa, sih! "Arep lungo neng ndi, Nin?" Tanya Papa yang lagi-lagi menggunakan bahasa Jawa, bertanya tentang mau kemana aku pergi. Aku berjalan ke rak sepatu yang berada di pojokan ruangan. Tepatnya di bawah tangga yang dibuat seperti lemari. Aku mengambil sepatu dan kaos kaki lalu kembali duduk di sofa, memakainya. "Mau ke cafe," jawabku seadanya. "Tumben," sahut Mama heran. Aku mengangguk, "mau ketemuan sama Alea, Ma. Ingat enggak?" "Mantan kamu itu?" Kompak Mama dan Papa yang aku tanggapi dengan anggukan kepala. "Kamu, enggak balikan 'kan sama Alea, Nin?" Curiga Mama kepada-ku dengan wajah menyelidik. "Enggak Ma, aku cuma mau ketemu doang karena udah janji. Waktu itu kita sempat ketemu di Sabang. Dia bilang kalau misalkan datang kesini lagi, dia mau aku temuin dia. Alea enggak punya siapa-siapa di sini, kebetulan dia ada pekerjaan. Karena waktu itu biar cepat, aku iya-in aja. Eh malah beneran nagih janji." Curhatku kepada Mama. Mama hanya tersenyum, "jangan pulang malam-malam. Kasih kabar sama Lovia, biar dia enggak salah paham nantinya." Aku mengangguk, menyalami Papa dan Mama secara bergantian lalu pergi dengan menggunakan mobil milikku ke arah sebuah cafe di mana aku dan Alea janjian. Aku memang sengaja datang terlambat karena tidak terlalu niat. Baru masuk ke dalam cafe tersebut, aku melihat seorang perempuan melambaikan tangan ke arahku. Aku tersenyum segaris lalu memesan minuman terlebih dahulu sebelum duduk di depan Alea. Walaupun sudah lama tidak bertemu, sikapnya masih sama kepada-ku. Tak ada bedanya sama sekali. Alea juga masih terjebak di masa lalu, selalu membahas kenangan semasa kami berpacaran. Rasanya tidak betah untuk mendengarnya. Kadangkala aku juga membahas masalah pekerjaan yang digunakannya sebagai alasan untuk bertemu denganku. Tetapi fokusnya tetap sama, membahas masa lalu kami berdua. Aku malas dan bosan. Apalagi isi kepalaku hanya dipenuhi oleh Lovia yang tidak kunjung membalas pesan w******p-ku. Disela celoteh Alea, aku menuliskan pesan kembali untuk Lovia. ________________ Untuk : Lovia Lovi, hari ini aku ketemuan sebentar sama Alea. Ada pekerjaan yang harus aku obrolin juga. Kamu udah tidur, ya? Kok enggak balas pesanku? ________________ Sekarang yang terlihat di layar ponselku malah centang satu. Padahal tadi centang dua walaupun belum berubah warna biru. Tetapi, pesanku itu, belum dibaca atau memang tidak ada centang birunya? Ah, aku semakin gelisah sendiri. Tidak fokus dengan semua omongan Alea. Aku terus memikirkan Lovia. Apa dia tidak ingin membalas pesanku sehingga mematikan datanya? Atau jangan-jangan aku di blokir? Apa mungkin? "Ganin..." Panggil Alea cukup keras. "Ha?" Hanya itu yang keluar dari mulutku. Ekspresi kaget dengan wajah bingung pun semakin menjelaskan bahwa sejak tadi aku tidak mendengarkan Alea bicara. Alea cemberut, "mikirin apa sih? Kalau sama aku, fokus dong! Aku baru bahas pekerjaan nih! Kamu enggak mau dapat proyek baru?" Aku hanya mengangguk walaupun sebenarnya tidak minat, "ngomong apa tadi? Soalnya yang gue dengar dari tadi cuma tentang dulu kita sering... Gue enggak dengar soal pekerjaan, makanya diam." "Nin, aku jauh-jauh datang dari luar kota cuma mau ketemu sama kamu. Gini ya cara kamu memperlakukan aku? Dulu kamu se-bucin itu sama aku, terus kenapa sekarang berubah sih?" Tanya Alea yang kembali mengungkit masa lalu. Aku menghela napas panjang, "Lo tahu alasannya, 'kan? Kenapa masih tanya sih, Lea. Gue udah mau nikah! Puas?" "Nikah, sama siapa?" Kagetnya. "Lovia..." "Lovia siapa?" Tidak, aku sedang tidak menjelaskan nama orang yang akan menikah denganku. Tetapi aku sedang melihat orang yang akan menikah denganku. Orang itu ada di depanku, mejanya berseberangan denganku. Ya Tuhan, mati aku! Aku beranjak dari dudukku dan melihatnya duduk sendirian di sana. Sekarang dia melihatku, memasang wajah tanpa ekspresinya. "Lovi, aku bawa-in pesanan kam—" ucapan seorang perempuan di depan kami terpotong karena melihatku yang berdiri di depan Lovia. "Ini, bukannya calon suam—" Lovia buru-buru membungkam mulut perempuan itu dengan telapak tangannya sebelum menyelesaikan ucapannya. "Kamu ngapain di sini?" Tanyaku kepadanya. "Bukan urusan kamu!" Bentaknya dengan wajah kesal. Alea beranjak dari duduknya dan mendekat ke arah kami, "jadi cewek ini yang mau nikah sama kamu? Dia bukannya cewek yang bilang enggak suka sama kamu waktu jaman OSPEK dulu, 'kan? Kenapa sekarang jadi mau? Ternyata cewek modelan gini suka menjilat ludahnya sendiri ya, Nin. Munafik! Ini cewek yang mau kamu nikahin?" "Aku bisa jelasin ke kamu," ucapku kepada Lovia yang diam saja. "Aku enggak butuh penjelasan!" Jawabnya dingin. "Ini cuma masalah kerja doang! Aku enggak ada hubungan apa-apa sama dia lagi kok." Lovia hanya memasang wajah malas seperti biasanya, "aku enggak peduli kamu mau ketemu siapapun. Mau dia atau bukan. Mau mantan atau bukan. Urusan pekerjaan atau bukan. Aku enggak peduli! Bukan urusanku!" Lovia menatap tajam ke arah Alea, namun tidak mengatakan apa-apa. Lovia memilih untuk mengambil tasnya dan berjalan meninggalkan cafe. Aku spontan mengejarnya dari belakang, berusaha membuatnya berhenti. Tetapi Lovia tetap berjalan dengan terburu-buru. Aku hendak mengikutinya, tetapi perempuan yang bersama Lovia tadi menahanku. "Kak, sorry, biar aku aja yang susulin Lovia. Nanti dia semakin marah kalau Kak Javar kejar. Besok Kak Javar temui Lovi kalau sudah tenang aja. Oke Kak, aku tinggal ya." Ucapnya lalu melambaikan tangannya ke arahku. Aku menurut saja, padahal katanya perempuan suka dikejar. Lalu apa tindakanku untuk menahan diri sekarang, benar? Aku memilih untuk beranjak dari dudukku. "Ganin, mau kemana?" Tanya Alea setengah berteriak karena aku tinggalkan begitu saja. "Pulang," jawabku seadanya. "Aku gimana?" Tanyanya yang kali ini  mengikutiku sampai ke depan cafe di mana aku memarkirkan mobilku. "Aku gimana?" Ulangnya sekali lagi. Aku membuka pintu mobil lalu menatapnya, "gue pesanin taksi online sampai ke hotel Lo." "Enggak, aku maunya kamu yang anterin." Manjanya kepada-ku, padahal isi kepalaku sudah ruwet dengan bagaimana caranya menjelaskan kepada Lovia. Aku diam, tetap memesankannya taksi online. Untuk masalah tega, aku juga bisa tega. Karena pertemuan bodoh seperti ini, hubunganku berantakan. Sialan! Astaghfirullah... Ngomong apa kamu Javar! °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD