part 1

572 Words
Udara di dalam kastil terasa dingin dan lembap. Suara hujan di luar hanya terdengar samar, tertahan oleh dinding batu tebal. Zea menutup pintu kayu besar di belakangnya, mencoba mengatur napas. Langkahnya bergema di lantai marmer yang kusam. “Sepertinya… sudah lama tidak ada orang di sini,” gumamnya pelan, menatap chandelier berdebu yang tergantung di langit-langit tinggi. Ia melangkah perlahan menyusuri lorong, tangannya sesekali menyentuh meja panjang yang ditutupi kain putih. Aroma samar tanah basah dan sesuatu yang… tidak biasa… menyelusup ke hidungnya. Zea berhenti ketika mendengar suara gesekan—seperti kuku panjang menggores lantai batu. Degup jantungnya meningkat. “Siapa di sana?” suaranya bergetar, meski ia tahu tidak akan ada jawaban. Hening. Lalu, dari ujung lorong yang gelap, dua titik cahaya kekuningan muncul… bergerak perlahan mendekat. Cahaya itu—tidak, mata itu—memantulkan kilau seperti milik seekor binatang buas. Zea mundur satu langkah, lalu dua. Napasnya memburu. Bayangan besar keluar dari kegelapan—sesosok tubuh tinggi dengan rambut panjang berwarna perak yang berantakan, mata tajam seperti serigala, dan senyum tipis yang membuat darahnya berdesir dingin. “Kau… manusia,” suara pria itu dalam, serak, dan entah bagaimana terasa mengancam sekaligus memikat. Zea terpaku. Mulutnya ingin berteriak, tapi suaranya terkunci. Pria itu—atau makhluk itu—mendekat hingga ia bisa merasakan hawa panas napasnya. “Tidak banyak yang berani masuk ke wilayahku… dan tetap hidup.” Kilatan petir di luar jendela membuat wujudnya terlihat jelas—cakar hitam yang panjang, taring tajam di balik bibirnya. Zea akhirnya bisa bergerak, mencoba mundur. “Aku… aku hanya tersesat!” serunya gugup. Siluman itu memiringkan kepala, seakan menilai setiap inci tubuhnya. “Tersesat… atau ditakdirkan?” gumamnya. Zea mundur hingga punggungnya membentur dinding batu yang dingin. Siluman serigala itu berdiri di depannya, matanya yang kekuningan tak lepas menatap wajahnya. “Aku tidak punya urusan denganmu,” ucap Zea, berusaha tegar meski suaranya bergetar. Senyum tipis itu melebar, memperlihatkan taring tajamnya. “Sayangnya… sekarang kau punya urusan denganku.” Tiba-tiba, siluman itu bergerak cepat. Cakarnya menoreh tipis kulit di pergelangan tangan Zea—cukup untuk membuat darah segar merembes. Zea terlonjak, ingin berteriak, tapi secepat itu pula makhluk itu menggenggam tangannya dan menempelkan bibirnya pada luka itu. Seketika hawa hangat—atau mungkin panas—menyebar ke seluruh tubuh Zea. Pandangannya berkunang-kunang, jantungnya berdetak kencang tak terkendali. Di sekitarnya, udara seolah bergetar, dan simbol aneh bercahaya merah muncul di punggung tangannya. “Apa yang kau—” suaranya tercekat. “ini,” siluman itu berbisik di telinganya, “ini adalah kontrak darah. Sekarang kita terikat.” Zea memandangnya dengan panik. “Untuk apa?!” Siluman itu mundur sedikit, matanya yang tajam seperti memandang jauh ke masa lalu. “Aku dikutuk… untuk selamanya menjadi setengah manusia, setengah binatang. Kutukan itu hanya bisa dipatahkan oleh darah seorang manusia terpilih—darahmu—saat bulan purnama.” Zea menggeleng cepat. “Tidak! Aku tidak mau ikut campur!” “Kau tidak punya pilihan,” jawabnya dingin. “Mulai malam ini, hidupmu adalah milikku. Jika kau mencoba kabur…” ia mengangkat tangannya, dan simbol di tangan Zea berdenyut panas, membuat gadis itu meringis kesakitan, “…kontrak ini akan mengingatkanmu siapa tuanmu.” Di luar, petir menyambar. Hujan belum berhenti, dan hutan yang basah di luar kastil kini terasa lebih berbahaya daripada siluman di depannya. Dalam hati, Zea tahu… ia tidak hanya harus bertahan hidup, tapi juga mencari cara untuk memutus ikatan mematikan ini sebelum bulan purnama tiba.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD