Chapter 1

1170 Words
"Dan, itu bukan aku. Aku berani bersumpah! Aku nggak bakal ngelakuin hal itu di belakang kamu." Liliana atau wanita yang kerap di panggil Liana bersujud itu memohon pada suaminya agar menghentikan kesalahpahaman yang terjadi. Semua ini tidak benar, ia difitnah! Tadi pagi, mereka masih baik-baik saja. Menghabiskan sarapan bersama dan bahkan mereka masih bercanda ria, berperilaku layaknya pasangan yang romantis dan harmonis. Tetapi sekarang semua hancur. Siang ini Aidan pulang dengan emosi yang meledak-ledak. Aidan melemparkan sebuah amplop yang berisi beberapa foto menjijikkan, ia sendiri jijik melihat foto tersebut. Liana sangat yakin itu adalah palsu, di edit. Foto itu menunjukkan pemandangan yang menjijikkan, seorang wanita yang berwajah sepertinya sedang memeluk seorang laki-laki tua. Selain memeluk, ada lagi fotonya dan pria itu yang berciuman dengan pakaian yang telah lenyap dan menyisakan pakaian dalam. Sangat menjijikkan, begitu pula dengan orang yang memfitnahnya, tega sekali dia melakukan itu padanya.  Mana mungkin ia berselingkuh dari Aidan. Janji yang ia ucapkan di depan Tuhan tidak mungkin ia ingkari. Liana sangat menghormati pernikahan, terlebih ia sangat mendambakan dan menginginkan pernikahan sekali seumur hidup dan tidak ada kata perceraian. Aidan memandang Liana datar, bukti sudah jelas. Kenapa istrinya masih bersikeras menjelaskan?! "Kita akan bercerai, dalam seminggu surat perceraian akan selesai. Sekarang, tinggalkan rumah ini," ujar Aidan dingin. Dalam hati, sebenarnya ia sedikit tidak tega pada Liana, ia sangat mencintai wanita ini. Namun, Liana dengan tega bermain api di belakangnya. Airmata Liana sejak tadi tak berhenti keluar, ia menatap suaminya dengan perasaan yang campur aduk. "Aku nggak mau, Dan!" tolak Liana dengan tegas kemudian ia menggelengkan kepala kuat pertanda menolak usiran Aidan. Aidan tersenyum miring, "Aku sudah tidak ingin tinggal bersama wanita yang berpenampilan baik tapi ternyata adalah seorang wanita sewaan di club." Sungguh, ia tidak ingin mengatakan hal itu. Aidan sadar, kalimatnya menyakiti dirinya, buktinya ia juga merasakan nyeri di hatinya. Liana menggeleng, menolak keras ucapan yang Aidan lontarkan. Wanita itu memegang erat lengan kekar Aidan. “Kamu harus dengar dulu penjelasanku, kamu nggak bisa sembarangan menghakimiku, Dan.” "Sekarang kemasi baju kamu, dan pergi dari rumah ini," usir Aidan lalu menepis tangan Liana dengan kasar dari lengannya. "Jangan pernah muncul di hadapan ku lagi. Aku membencimu, kamu sangat menjijikkan," ujar Aidan. Setelah itu Aidan berlalu menuju kamarnya. Meninggalkan Liana yang semakin histeris di tempatnya. *** Dua Minggu kemudian... Liana melangkahkan kakinya dengan gontai memasuki gedung pengadilan. Semangatnya hilang dan tubuhnya kini terasa tidak bertenaga. Hari ini adalah persidangan perceraiannya, minggu lalu ia terpaksa menandatangani surat perceraian. Liana berjalan dengan pelan, airmata yang harusnya tidak lagi keluar malah keluar lagi. Liana mengusap pipinya dengan kasar dan berlari menuju toilet. Di dalam toilet, Liana membasuh wajahnya dan memoleskan sedikit lipstik di bibirnya agar wajahnya tidak terlalu terlihat pucat. Setelah penampilannya terlihat lebih baik, Liana keluar dan berjalan menuju ruangan persidangan. Sepuluh menit berada di dalam ruangan persidangan, akhirnya persidangan perceraiannya dengan Aidan mulai. Aidan telah duduk di seberang Liana. Pria itu tampak enggan menatapnya, Liana menghela napas berat. Selama hakim membacakan pasal-pasal ntah apa itu, pikiran Liana malayang pada kenangan manisnya bersama Aidan. Perceraian semakin mudah saat tidak memiliki anak, tak perlu repot memusingkan hak asuh anak jatuh pada tangan siapa. Liana memejamkan matanya erat saat mendengar ketukan palu hakim yang menandakan dirinya resmi berpisah dengan Aidan. Seluruh jiwa dan raga Liana seakan menghilang sejenak. Kini ia kembali seperti dulu, sebelum Aidan menikahi dirinya. Sendirian, sebatang kara. Buliran bening kembali keluar dari pelupuk mata Liana. Semuanya telah usai. Liana mengusap pipinya dengan kasar dan segera keluar dari ruangan persidangan. Ia tidak ingin beramah-tamah lagi dengan Simon ataupun anak buah Aidan yang lain seperti yang biasa ia lakukan saat masih menyandang status Nyonya Winston. Apalagi, Aidan terlihat langsung keluar dari ruangan persidangan. Liana pulang ke rumah kecil peninggalan neneknya dan mengurung diri kembali seperti yang ia lakukan beberapa hari belakangan ini. *** Pagi ini, Liana merasa aneh pada dirinya sendiri. Sejak tadi subuh, tak henti-hentinya ia keluar masuk kamar mandi memuntahkan cairan bening. Liana tidak tau apa yang terjadi pada dirinya. Padahal ia sudah memastikan rumah kecilnya ini dihidupkan penghangat ruangan. Subuh tadi, ia juga sempat meminum obat anti mual, namun tidak mempan. Liana menghela napas lalu membasuh bibir dan wajahnya. Setelah itu ia kembali merebahkan dirinya ke ranjang, kepalanya tertoleh ke samping menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Mata Liana tak sengaja menatap kalender yang tergantung di belakang pintu. Matanya membola menyadari sesuatu. Liana bangkit dan berlari menuju lemari pakaian, wajahnya berubah pucat saat melihat tumpukan bungkusan pembalut yang masih banyak dan seperti tidak tersentuh sama sekali. Liana mengusap bulir keringat dingin yang perlahan mulai keluar. Ia baru inggat sudah sebulan tamu bulanannya tidak datang. Liana menggeleng-gelengkan kepalanya, kilasan memori tiga minggu lalu kembali terputar di kepalanya. Kejadian ia dan Aidan melakukan hubungan suami-istri terakhir kali sebelum bercerai. Liana tidak mau berprasangka, ia segera meraih jaketnya dan merapikan rambutnya. Wanita itu langsung keluar rumah dan menuju halte bis. Tujuannya sekarang adalah rumah sakit. Liana tak henti-hentinya berdoa pada Tuhan, semoga apa yang ia pikirkan tidak terjadi. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk memiliki seorang anak, ia sudah bercerai dengan Aidan. Tidak butuh waktu lama, Liana akhirnya tiba di rumah sakit. Liana langsung mendaftarkan dirinya ke bagian Dokter kandungan. Sekitar satu jam menunggu akhirnya namanya dipanggil. Dengan perasaan gugup Liana memasuki ruangan Dokter kandungan itu. "Selamat siang, Bu. Ada keluhan apa?" tanya Dokter laki-laki di depan Liana dengan ramah. Liana melirik nametag jas Dokter tersebut. Daniel. Kedua tangannya saling meremas dengan gugup. "Saya ingin mengecek kandungan, Dok," ujar Liana gugup. "Baik, kapan terakhir kali ibu periksa kandungan?" tanya Dokter itu. Liana menggeleng, "Baru kali ini, Dok." "Sebenarnya saya tidak ingin menduga. Saya hanya ingin cek, apa benar saya hamil?" lanjut Liana. Dokter Daniel tersenyum mengerti. Ini pertama kalinya untuk wanita di depannya. "Pengecekan bisa ibu lakukan dengan alat ini." Dokter Daniel menyerahkan satu testpack pada Liana. "Gimana cara pakainya, Dok?" tanya Liana polos. "Shakira, bantu ibu Liana memeriksa kehamilannya," ujar Dokter Daniel. Menyuruh perawat wanita yang sejak tadi berdiri di belakang Dokter Daniel. Perawat bernama Shakira itu mengangguk dan menuntun Liana menuju toilet. Sepuluh menit berlalu, Liana dan perawat Shakira keluar dari toilet. Tatapan mata Liana kosong saat melihat dua garis merah di alat kecil itu. "Selamat, Bu Liana. Anda akan segera memiliki anak," ujar Dokter Daniel sambil tersenyum. Liana tidak merespon. Pikirannya tiba-tiba blank dan tertuju pada Aidan, mantan suaminya. "Ibu Liana." "Ibu Liana," panggil Dokter Daniel lagi. Liana tersentak. "Eh iya, Dok?" "Pada kehamilan tiga bulan pertama mohon dijaga baik-baik kandungannya. Jangan terlalu banyak berpikir dan stres. Dan pastikan ibu memakan makanan yang sehat untuk sang bayi dan jangan lupa s**u kehamilannya," ucap Dokter Daniel panjang lebar. Liana mengangguk paham, "Baik, Dok." "Suami Ibu ke mana? Harusnya ada di sini mendengar kabar bahagia ini." "Dia sedang bekerja," sahut Liana berbohong. Dokter Daniel mengangguk maklum lalu menulis beberapa resep di kertas. "Ini nanti di tebus di apotek ya, Bu. Vitaminnya jangan sampai tidak di minum." "Baik, Dok. Terima kasih." Liana pamit undur diri. Ia berjalan menuju apotek yang terletak di lantai satu. Selama ia berjalan, pikirannya melayang-layang memikirkan nasib calon anak yang kini hidup di rahimnya. Satu fakta membuat hati Liana terasa di tusuk oleh ribuan jarum. Anaknya akan lahir tanpa seorang ayah. Seharusnya berita kehamilannya sekarang adalah hal yang membuat Aidan dan dirinya bahagia saat ini. Namun, sekarang hal itu hanya tinggal harapan. Mereka sudah berpisah, keinginan memiliki seorang anak pun sepertinya tidak diinginkan Aidan lagi. Sebab lelaki itu sangat membencinya sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD