02. Pindah

1036 Words
Liana memandang koper yang baru saja ia isi penuh dengan berbagai pakaian miliknya dan beberapa barang penting seperti uang, paspor, dan lain-lain. Hari ini Liana akan pindah ke negara di mana Ibunya lahir dan saat ia dibesarkan dulu. Indonesia. Liana blasteran Inggris-Indonesia, sang Ayah adalah orang Inggris dan Ibunya Indonesia. Sejak umur dua belas tahun ia pindah ke London ikut dengan sang Nenek dari Ayahnya karena seminggu sebelum itu Ibunya meninggal dunia, menyusul sang Ayah saat itu meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan dinas Jakarta-Bandung. Hingga delapan bulan sebelum ia wisuda, Neneknya ikut pergi menyusul Ayah dan Ibunya. Liana seorang diri di dunia ini, sampai ia mengenal Aidan. Aidan laki-laki yang baik, oleh sebab itu Liana langsung menerima lamaran Aidan yang bertepatan dengan hari wisuda-nya. Mereka menikah tahun lalu. Miris, pernikahan mereka hanya bertahan selama setahun. Liana mengusap perutnya yang masih rata. Keputusannya untuk pindah saat ini sangat tepat, ia akan membesarkan anaknya di negara tropis itu sama sepertinya dulu yang tumbuh di sana. Liana menganyunkan kakinya keluar dari rumah. Taksi online yang ia pesan setengah jam yang lalu juga sudah tiba. Liana melirik ke rumah kecil miliknya untuk terakhir kalinya. Setelah dirasa cukup, Liana menyeret kopernya dan memasukkan ke dalam bagasi lalu ia masuk ke dalam taksi. "Bandara, Pak," kata Liana. Memberitahu tujuan mereka. "Baik." Taksi perlahan berjalan meninggalkan pekarangan rumahnya. Di dalam mobil, Liana mengusap-usap perutnya dengan pikiran yang melayang-layang pada saat ia dan Aidan bertengkar, hingga berujung pada perpisahan yang menyakitkan ini. Entah siapa yang menghasut Aidan dan memberikan bukti yang jelas palsu. Tidak hanya Aidan, tapi Liana pun sakit hati melihat wajahnya ada di foto itu. Foto wanita yang berwajah Liana di gandeng menuju hotel dengan seorang pria yang memeluk tubuh wanita itu. Selain itu ada juga foto dirinya yang hampir naked bersama seorang pria. Demi Tuhan, Liana tidak pernah melakukan hal itu, dan tidak akan pernah. Namun, Aidan tidak ingin mendengar penjelasannya dan main hakim sendiri. Liana tidak bisa menjelaskan sebab Aidan selalu menolak dan mempercayai itu semua. "Em, anda tidak apa-apa Nyonya?" tanya sang supir taksi. Matanya sesekali melirik ke arah Liana yang duduk di belakang melalui kaca yang ada di depan. Liana menghapus air matanya kasar. "Mata saya terasa sangat pedih, jadi keluar air, Pak. Fokus aja bawa mobilnya, Pak, tidak usah pedulikan saya." Sang supir taksi menyerahkan kotak tisu pada Liana. "Seka menggunakan ini, Nyonya." Liana tersenyum dan meraih tisu itu, "Terimakasih, Pak." *** Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih enam belas jam, Liana akhirnya tiba di bandara Ngurah Rai, Bali. Liana langsung menuju hotel terdekat untuk istirahat sebentar, dan esok barulah ia akan mencari rumah dan pekerjaan tentunya. Liana belum terlalu kenal dengan wilayah Bali ini, namun ada beberapa lokasi yang ia ingat. Beberapa kali ia pernah ke Bali bersama Aidan, menemani lelaki itu yang bertemu dengan klien-kliennya dan berlibur tentunya. Kaki Liana berhenti ke sebuah penginapan kecil. Ia tidak ingin menginap di tempat hotel ataupun penginapan besar, karena bagaimanapun ia harus mulai menghemat uang dari hasil menjual beberapa perhiasan yang pernah Aidan berikan untuknya. Ia harus segera mencari pekerjaan dan menabung untuk biaya persalinannya nanti. Liana sudah selesai check in penginapan itu. Ia menyeret kopernya menuju tangga, kamarnya berada di lantai tiga. "Hei, tunggu!" Langkah Liana berhenti, ia berbalik menatap ke arah sumber suara yang seakan memanggil dirinya. "Ya, ada apa Tuan?" tanya Liana sopan. "Dompetmu terjatuh," ucap pria asing itu. Tangan pria itu terulur menyerahkan dompet kulit berwarna cokelat pada Liana. "Ah, iya terima kasih, Tuan." Liana mengambil dompetnya. Tidak bisa Liana bayangkan jika dompetnya benar-benar hilang. Mau hidup dengan apa dia nanti? "Penghuni lantai berapa?" tanya pria asing itu. "Lantai dua." "Aku Darian, namamu siapa?" Pria bernama Darian ini mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. "Aku Liana." Liana membalas jabatan tangan Darian, tak lupa senyum ramah ia berikan pada Darian. "Nama yang bagus,” pujinya. "Terima kasih." "Mari aku bantu mengangkat kopernya," ucap Darian seraya melirik pada koper besarnya. Tanpa di suruh tangan pria itu mengambil alih koper besar bawaan Liana. Lelaki itu seolah sangat peka pada Liana yang kesusahaan menyeret koper sebesar itu. Liana yang memang agak kesusahan membawa kopernya pun membiarkan Darian membawa kopernya dan mengucapkan terima kasih. "Kamu di sini berlibur?" tanya Darian. Menciptakan beberapa obrolan selama di tangga. Liana menggeleng, "Aku baru pindah ke Bali. Belum tau ingin menyewa rumah di mana." "Kamu butuh pekerjaan juga tidak?" tanya Darian serius. Liana mengangguk cepat, "Kalau pekerjaan yang tidak terlalu berat dan melelahkan aku memang butuh." "Kenapa tidak ingin berat-berat?" "Aku hamil," sahut Liana dengan suara yang pelan namun bisa di dengar oleh Darian. Langkah Darian berhenti. Wajahnya menatap Liana kaget. Berbagai pemikiran negatif muncul di pikiran Darian. "Jangan berpikiran negatif, aku hamil saat bersama suamiku. Tapi sekarang kami sudah bercerai," ujar Liana cepat. Tidak ingin pria di sampingnya ini berpikiran yang macam-macam padanya. Darian ber-oh ria lalu melanjutkan langkahnya kembali, ia tidak bertanya lebih lanjut karena tidak ingin membuat wanita di sebelahnya merasa tidak nyaman. Akhirnya, Liana dan Darian berhenti di depan pintu kamar bernomor 24. Darian menyerahkan koper Liana. "Aku manager di Grand Star Resort. Kami sedang membutuhkan pegawai untuk memasak di restorannya. Apa kamu bisa memasak? Kebetulan resort tidak ramai tiap hari, hanya saat-saat libur baru datang banyak pengunjung." Liana menatap Darian dengan mata berbinar. Memasak adalah hobinya, ia juga pernah mengikuti kelas memasak saat di London untuk membunuh rasa bosan yang ia alami selama di rumah saat Aidan bekerja. "Aku bisa!" Darian mengangguk, "Baiklah besok kita bicarakan hal ini lagi. Dan jika bekerja di resort kamu tidak perlu mencari rumah, karena beberapa pegawai memang tinggal di sebuah rumah khusus. Akan ku atur agar kamu bisa tinggal di sana." Liana tidak tahu lagi harus bagaimana pada Darian, lelaki ini memberinya kesempatan yang sangat bagus. Liana benar-benar berterima kasih pada laki-laki ini. "Terima kasih Darian." "Istirahatlah dulu, berapa nomor ponsel mu? Agar ku hubungi besok,” ujar Darian sambil merogoh saku celananya dan mengambil ponsel. Liana memberitahu nomor ponselnya. Mereka saling bertukar nomor agar memudahkan berkomunikasi. "Selamat istirahat, bye Liana." "Iya, terima kasih, Darian." Darian mengacungkan jempolnya lalu berjalan meninggalkan penginapan. Setelah kepergian Darian, Liana langsung masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan diri di ranjang. Liana memejamkan matanya. Ia bertekad dalam hati akan memulai semuanya dari awal, dan bahagia bersama anaknya. Melupakan Aidan Winston selamanya. Liana membuka matanya dan melirik ke arah jam di dinding, sudah pukul lima sore. Wanita itu bangkit dan mengambil peralatan mandinya. Ia tidak bisa tidur dalam kondisi berkeringat. Liana bersyukur penginapan ini mempunyai fasilitas bath tub, saat ini ia sangat ingin berendam merilekskan tubuhnya. Belakangan ini sudah banyak hal yang terjadi, ia butuh menenangkan pikirannya sejenak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD