03. Lembaran Baru

1288 Words
Pagi ini Liana sudah dihubungi oleh Darian. Katanya, Darian akan menjemput dan mereka akan ke resort untuk menandatangani surat kontrak kerja dan hal-hal lainnya yang bersangkut paut dengan pekerjaan. Liana mematut kembali dirinya di depan cermin. Kehamilannya yang belum tampak jelas membuatnya masih bisa memakai short dress miliknya. Mungkin setelah ini ia akan membeli beberapa baju yang sedikit longgar di tubuhnya. Drrttt... Drrttt... Liana meraih ponselnya saat satu notifikasi pesan muncul. Darian. Aku sudah di depan penginapan. Jari-jari Liana bergerak lincah membalas pesan dari Darian. Liliana. Aku akan turun, tunggu. Liana meraih slingbag dan memasukkan dompet beserta ponselnya. Setelah itu ia melangkahkan kakinya keluar kamar dan turun ke bawah. Setibanya diluar penginapan, Liana langsung digiring oleh Darian agar masuk ke dalam mobil yang tak jauh dari pintu masuk penginapan. "Apa kau sudah sarapan?" tanya Darian berbasa-basi. Matanya tetap fokus pada jalanan yang perlahan mulai dipadati oleh kendaraan lain. Liana menggeleng, ia belum sempat sarapan pagi ini. Karena ia telat bangun dan Darian sudah memberitahu akan menjemputnya. Tidak ada waktu untuknya sarapan. "Belum." "Kenapa belum?" tanya Darian kaget. "Tidak sempat," sahut Liana singkat. Darian menganggukkan kepalanya singkat lalu ia membelokkan mobilnya ke suatu cafe di pinggir jalan. "Kita sarapan dulu. Bagaimanapun juga anak kamu butuh makan." *** Di ruangan kerjanya, Aidan menatap berkas-berkas penting milik perusahaannya. Seperti beberapa laporan keuangan dan lain-lain. Sejak Aidan memutuskan hubungan dengan Liana, hari-harinya kian suram. Pola makan mulai tidak terjaga dan dagu miliknya pun mulai ditumbuhi rambut-rambut halus karena sudah lama tidak mencukur. Aidan merasa, ia merindukan Liana. Rindu dengan suara, wajah, dan senyum istrinya itu. Ralat, mantan istrinya. Aidan membuka laci mejanya, mengeluarkan amplop yang menjadi bukti alasan ia menceraikan Liana. Foto Liana bersama seorang pria yang masuk ke dalam sebuah hotel. Awalnya Aidan menolak percaya dan menganggap itu hanyalah editan para musuhnya yang menginginkan kehancurannya. Namun, melihat ada lebih dari sepuluh foto membuatnya percaya. Di foto itu, Liana tampak bahagia dengan senyum lebarnya. Senyum yang selama ini ia nikmati sendiri. Sial! Aidan mengumpat dalam hati. Melihat foto Liana kembali membuat dirinya merindukan wanita itu. "Tuan, anda benar-benar terlihat kacau," ucap Simon sambil meletakkan suatu map merah ke meja kerja Aidan. Aidan tersenyum kecut. "Sekarang mulai berani mengejekku, Simon?" Simon menggeleng cepat, "Saya tidak bermaksud mengejek anda." "Kalau boleh saya kasih saran, mulai lah urus diri anda sendiri lagi Tuan. Karena Nyonya sudah pergi." Aidan menangkap kalimat ambigu dari ucapan Simon. Liana pergi? "Maksudmu?" "Saya tidak sengaja bertemu dengan nyonya Liana di bandara dengan koper yang sangat besar. Saat saya cek penerbangannya, ia meninggalkan kota London ini, Tuan." Aidan tidak tau harus bereaksi seperti apa. Sebagian hatinya merasa tidak rela membiarkan Liana pergi begitu saja. Walaupun mereka telah bercerai, ada keinginan untu melihat Liana secara diam-diam. Tetapi sepertinya harapannya tak akan terkabul. "Ke mana tujuannya?" tanya Aidan. Matanya menatap Simon datar. "Saya tidak tahu, Tuan. Informasi lebih detailnya tidak diberitahu pihak bandara." Simon menundukkan kepalanya menyesal. Aidan menghela napas berat. Mencoba mengusir bayangan Liana di dalam kepalanya yang semakin membuat dirinya gila. "Saya permisi, Tuan." Simon membungkukkan badannya sebentar lalu mengayunkan kakinya keluar dari ruangan Aidan. Cklek! Simon menyandarkan tubuhnya di pintu. Hatinya tak berhenti mengucapkan kata maaf pada Bosnya itu. Sebenarnya ia tahu bagaimana kondisi Liana saat ini dan keberadaan wanita itu. Namun, dirinya lebih memilih tidak memberitahu Aidan. Hubungan Aidan dan Liana tidak begitu baik sejak satu buah surat dan amplop tiba di gedung perusahaan yang diperuntukkan untuk Aidan. Belum lagi sebuah email dari akun tersembunyi mengirimkan email pribadi ke Aidan, isinya adalah foto-foto tidak senonoh yang memperlihatkan wajah mantan istri Aidan. Isi email persis seperti isi yang ada di dalam amplop. Amplop yang berisi hal-hal yang membuat kemarahan Aidan bangkit. Saat itu Simon sudah berusaha menasehati Aidan agar tidak terlalu terpancing dan bisa saja itu akal-akalan orang yang ingin melihat Bosnya itu hancur. Namun Aidan tetap menolak percaya dan tetap pada pendiriannya untuk bercerai. Simon berpikir, akan lebih baik Liana membesarkan calon Tuan/Nona Mudanya sendirian. Tanpa campur tangan Aidan tentunya. *** "Jadi, mulai besok kamu sudah bisa bekerja. Dan mari kita kembali ke hotel mengambil barang-barang mu," ujar Darian sambil tersenyum lebar. Liana mengangguk, sekali lagi ia menatap kamar yang diperuntukkan untuk dirinya selama bekerja. Tidak terlalu sempit dan luas, tapi cukup untuk dirinya dan calon anaknya nanti. "Sekali lagi, terima kasih Darian." "Tidak perlu berterima kasih berulang kali seperti itu, santai saja." Liana tersenyum lalu mengangguk. Liana dan Darian berjalan menuju mobil pria itu, mereka akan kembali ke hotel mengambil barang-barang Liana. "Aku beruntung bisa bertemu denganmu kemarin," ujar Liana tulus. Ia menatap Darian untuk beberapa saat walaupun mata lelaki itu fokus pada jalanan. Darian tersenyum kecil. "Andai saja dompetmu tidak terjatuh, apa yang akan terjadi, ya?" "Mungkin aku masih linglung berjalan ke sana kemari mencari rumah dan pekerjaan," balas Liana. Setelah itu keadaan di mobil hening, hingga mereka akhirnya berhenti di sebuah restoran karena ini sudah masuk jam makan siang. "Aku lapar, kita makan dulu," ujar Darian lalu membuka seat belt nya. Liana mengangguk patuh, ia mengikuti Darian yang keluar dari mobil duluan. "Mau pesan apa?" Liana menatap buku menu di tangannya. Makanan yang dijual rata-rata sangat mahal. Ia jadi tidak enak jika Darian yang membayar. "Pesan saja, tidak usah pedulikan harganya. Ingat anakmu perlu makanan yang sehat," ujar Darian peka pada perubahan raut wajah Liana saat melihat daftar menu yang menampilkan berbagai jenis makanan dan juga harganya yang selangit. "Sama kan saja denganmu," ujar Liana akhirnya. Alis Darian terangkat naik. "Serius? Ingin seperti punyaku?" Liana mengangguk yakin. Darian menyeringai. Darian menunjukkan beberapa menu makanan sehat dan bergizi yang totalnya ada tiga porsi. Karena Liana tadi meminta samakan, jadi porsi yang dipilih Darian di double. Liana menganga melihat aksi pria itu. "Kenapa memesan sangat banyak?!" "Sedang ingin," sahut Darian acuh. Ia mengembalikan buku menu pada pelayan. Setelah pelayan restorannya pergi, Liana menatap Darian tajam. "Kenapa boros seperti itu? Harganya juga tidak main-main," sungut Liana. Ia sendiri bergidik ngeri melihat harga satu porsi makanan laut yang di pesan Darian. Mahal. "Tidak mahal," balas Darian santai. "Sembilan puluh lima ribu hanya untuk seporsi kamu bilang nggak mahal?!" kelakar Liana. Ia menatap Darian tak habis pikir dengan jalan pikiran pria itu. "Uangku sudah terlalu banyak, dan aku masih single. Apa lagi yang bisa ku habiskan selain uang?" terang Darian teramat santai dan sedikit dibumbui kesombongan. Liana menggelengkan kepalanya, mendengar jawaban Darian seperti ia mendengar ucapan Aidan. Aidan juga sering mengatakan hal itu walaupun di beberapa kata terlihat berbeda, menghabiskan uang adalah ada yang bagus untuk mengembalikan mood yang rusak, lagi pula aku sangat kaya dan uangku banyak. Begitulah kata Aidan. "Hei, kenapa melamun?" Darian melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Liana yang tampak kaku dan seperti memikirkan sesuatu. Liana tersentak lalu menggeleng cepat. "Aku tidak melamun!" elaknya. Selama beberapa detik, keheningan menyelimuti mereka berdua selagi menunggu makanan. Ada satu pertanyaan yang ingin sekali Darian tanyakan pada wanita di depannya ini. "Liana..." panggil Darian. "Ada apa?" "Kenapa kamu bercerai? Bercerai dalam kondisi hamil seharusnya tidak bisa terjadi bukan?" tanya Darian dengan wajah serius. Perlahan rasa penasaran akan hidup wanita cantik di depannya membuat Darian penasaran. Liana bungkam, ia merasa topik ini sangat tidak cocok untuk di bahas saat ini. Melihat keterbungkaman Liana, Darian buru-buru menarik kembali pertanyaannya. "Abaikan saja pertanyaan ku tadi." "Aku baru tahu kalau hamil seminggu setelah perceraian ku. Mantan suamiku sama sekali tidak mengetahuinya dan aku tidak berniat memberitahunya." Darian tercekat, entah kenapa ia merasa wanita di depannya ini sangat rapuh dan menyimpan suatu kesedihan sendirian. Rasanya tenggorokan Darian sangat kering dan mulutnya susah berbicara. "Kenapa?" tanya Darian setelah mendapatkan suaranya kembali. "Dia membenciku," jawab Liana lesu. Perlahan airmata yang sejak tadi ia coba tahan untuk tidak keluar akhirnya merembes. Hormon kehamilan juga merupakan faktor utama yang membuatnya sangat emosional. Darian tentu saja panik melihat Liana yang menangis sesenggukan, iba melihat wanita di depannya bersedih seperti itu. "Kamu tidak perlu menceritakannya lagi, itu hanya akan membuatmu semakin bersedih. Maafkan aku telah lancang bertanya," sesal Darian sembari memberi tisu. Liana menggeleng lalu tersenyum dan menyeka matanya, "Tidak apa. Lagian aku sudah bertekad untuk melupakannya dan hidup bahagia dengan anakku," imbuh Liana kemudian mengelus perutnya. Darian tersenyum lebar. "Suatu langkah yang bagus, Liana. Carilah kebahagiaan mu lagi, dan lupakan orang yang telah menyia-nyiakan dirimu. Dia bodoh, telah menelantarkanmu dan calon anakmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD