Chapter 2 : Babak Baru

1030 Words
"Bukan maksudku menjadi duri dalam kehidupan rumah tangga orang lain. Namun, menjadi istri kedua adalah pilihan terbaik untuk sekarang." _____________oo0oo___________ Wanita ini benar-benar seksi, kemeja ketat dan rok mini membalut tubuh. Aku bahkan sampai meneguk saliva. Lama-lana risih melihatnya, apa dia tidak merasakan itu? Lebih lagi dia harus berinteraksi dengan banyak lelaki. "Mbak. Apa Mbak sudah menikah?" tanyaku, mencoba memecah kebisuan di antara kami. "Belum." Sekretaris itu menjawab tanpa menoleh. Tangan dan matanya masih fokus ke laptop di pangkuan. "Apa Mbak ada hubungan khusus dengan Mas Devian? Maksudku, suamiku." Jujur saja, aku sangat penasaran. Mungkin dia tidak menyentuhku karena tidak tertarik sebab seluruh tubuh istrinya terbalut pakaian, tapi di luar sana bisa jadi ia sudah puas dengan sekretaris cantik dan seksi di kantor. Pertanyaanku ternyata mengusiknya. Ia menoleh dan melepas kacamata. "Ap-apa maksud Nyonya?" Sudah kuduga ia tidak akan terbuka tentang hal itu. Aku mencoba tersenyum. Hal yang justru membuatnya tampak tak nyaman. Akhirnya wanita itu memandangi dirinya dari ujung kaki hingga pakaian yang ia kenakan. Lalu menarik roknya. Tentu saja tidak akan menutupi paha, karena rok itu memang sangat pendek. Ia mungkin bermaksud membandingkan dengan penampilanku. Banyak orang menyangka, wanita yang memakai pakaian syari seperti ini, berarti sudah sangat alim dan sholehah. Padahal, pakaian tertutup seperti ini adalah kewajiban setiap wanita yang memilih Islam jadi agamanya, tidak peduli seberapa buruk akhlaknya. "Saya dan Tuan Devian tidak memilik hubungan khusus. Percayalah Nyonya. Dia tipe pria dingin yang tak gampang tertarik pada wanita. Tuan Devian tidak mungkin ...." "Ooo." Mulutku membulat. Menghentikan semua omong kosongnya tentang lelaki itu. Di mata mereka bisa jadi aku hanya perempuan lugu yang sok alim, tapi aku tak sebodoh yang mereka pikirkan saat menipuku. Awas saja jika aku memergokinya .... "Saya harap Nyonya Yum ... maksud saya Nyonya Bianca tidak salah paham." Ia terus meyakinkan dan mengubah sapaannya untukku. Sejak pernikahanku dengan Devian seminggu lalu, semua orang memanggilku dengan nama Bianca -kecuali dia sendiri saat kami hanya berdua. Sebenarnya aku tidak suka nama itu, tapi semua ini demi ibu yang sekarang belum juga sadar di rumah sakit. "Ayolah, apa saya terlihat semenakutkan itu?" Kupaksakan senyum untuk mencairkan suasana. Wanita dengan make up tebal itu akhirnya berubah ekspresi. Dia yang tadi tampak terintimidasi oleh kata-kataku, sekarang tersenyum. "Apa kita akan lama di kantor?" "Oh, tidak Nyonya. Hanya sebentar, setelah bertemu kolega perusahaan, kita bisa segera pergi." Aku mengangguk beberapa kali tanda paham. Bangunan besar dan mewah yang mirip hotel itu sudah terlihat. Aku menarik napas dalam-dalam, mengingat setiap dialog yang kuhafalkan tadi malam. Seperti ini ternyata penampakan tempat kerja orang-orang kaya. Menaiki lift dan sampai di lantai lima, sekretaris -yang sedari tadi kami bersama- membawaku ke sebuah ruangan. Di sana Devian tengah mengobrol dengan beberapa orang yang memakai jas nan tampak elegan, mereka berdiri melihat kedatangan kami. Dia terlihat seperti orang lain, pria yang terlihat hangat. "Selamat siang." Orang-orang itu menyapa, tapi tidak dengan Tuan Devian, dia berjalan padaku. 'Ada apa dengannya, kenapa mengangkat dua tangan?' "Hallo Sayang, kamu datang?" Pria itu memeluk dan mencium pipiku. Ini tidak ada dalam dialog, apa yang dia lakukan? Dan kenapa aku deg-degan karena ini?  Setelah berbasa-basi, beberapa orang berdasi itu memuji kecantikanku. Tuan Devian tersenyum bangga. Ia melirikku sesaat.  "Oh course. She is very beatifully." Tangan kekar pimpinan Angkasa Group itu sudah melingkar di pinggangku. Tanpa kuduga ia mendekatkan kepala dan mencium bibirku. Ya Tuhan!  **** Aku mondar-mandir di depan pintu utama rumah besar ini. Beberapa kali pelayan menanyakan 'apakah aku perlu sesuatu?' hingga terlihat gelisah di sana untuk waktu yang lama. "Bi, apa Tuan Devian memang selalu pulang selarut ini?" tanyaku pada pelayan terakhir yang menghampiri. Ini kali pertama penasaran tentang pria itu. Awalnya aku menikmati kesendirian. Namun, setelah yang terjadi di kantor tadi semua sanngat mengganggu pikiran. Aku merasa perlu mendapat penjelasan darinya. Bagaimana bisa, setelah kubiarkan memeluk dan mencium pipi, dia semakin berani mencium bibirku di depan sekretarisnya. Di kantor aku tidak bisa berbuat apa pun, tapi saat di rumah dia tak bisa semena-mena. "Biasanya sudah pulang, Non. Bukannya setiap malam Tuan Devian langsung masuk kamar Non?" "Oh, ya sudah Bi. Biar saya tunggu." "Apa perlu saya telepon Tuan?" "Oh, jangan. Saya takut dia sedang bersama koleganya." "Oh, baik. Non." Pelayan itu pun pergi meninggalkanku sendiri. Lebih satu jam, aku sudah merasa lelah. Pria menyebalkan itu pasti sekarang sedang asyik dengan wanita lain. Ya Tuhan, apa peduliku? Atau sesuatu terjadi padanya? Ah, kenapa pikiran jadi aneh begini? Tidak ingin ambil pusing tentangnya, akhirnya aku memilih kembali ke kamar. Sampai tertidur tidak juga ada tanda-tanda dia datang. *** Seperti biasa, terbangun di sepertiga malam. Tubuhku seolah latah. Tanpa perintah mata ini tiba-tiba terbuka dan otak memberi perintah agar aku segera mengambil air wudu. Telah usai salat malam, aku pun beranjak ke dapur. Berniat sahur untuk puasa sunah esok hari. Namun, ketika melewati kamar Tuan Devian rasa penasaran yang kuat mendorongku meraih gagang pintu kamarnya, dan .... tidak dikunci. Benar saja, pria itu tengah tidur nyenyak di sana. "Jam berapa dia datang? Untunglah aku bukan istri yang mencintainya, jika tidak aku cepat menua karena makan hati setiap hari." Apa istrinya meninggalkannya karena tak kuat hidup dengan pria dingin dan suka pulang malam seperti itu? Ah, terserahlah. *** Sebelum sarapan aku meminta Tuan Devian bicara berdua. Tanpa banyak bicara, pria itu pun mengikuti langkahku ke kamar. Setelah pintu tertutup, tanganku melayang ke wajahnya, tapi tertahan oleh tangan pria yang sudah rapi dengan kerja itu. "Apa ini?" "Anda sudah kelewatan Tuan. Apa yang Anda lakukan pada saya kemarin tidak ada dalam dialog. Dan bukankah Tuan janji tidak akan pernah menyentuh saya?!" Kurasakan dadaku naik turun, merasakan sesak amarah yang tertahan dari semalam. "Menyentuh apa? Aku hanya menciummu, itu pun tidak memakai emosi! Kenapa kamu terganggu?" "Tap-tapi ...." "Dengar Yumna, aku lakukan itu agar semua tampak alami. Bukankah sejak awal kamu inginkan pernikahan kita tidak menyalahi syariat?" Aku terdiam, tidak mengerti maksud dan arah pembicaraannya. "Apa ... dalam Islam seorang suami mencium istrinya adalah hal yang salah?" Ucapan Tuan Devian menohokku. Apa maunya? Apa dia akan mempermainkanku sekarang. "Apa dalam Islam seorang istri diperbolehkan melawan pada suaminya?" Lagi pertanyaan terlontar dari bibir yang terlihat selalu lembab milik Tuan Devian. Apa ini? Apa maksud pertanyaannya itu? Aku bahkan kesulitan berargumen seperti biasanya.  Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD