Tuan Muda Menyebalkan

1528 Words
Lelaki itu menaikkan satu sudut bibirnya dengan membuang pandangan. Tangan yang sebelumnya mencengkram lengan sang istri saat akan memukul, ia lempar kasar.  Dia seperti di atas angin meremehkan. Namun, dia lupa siapa wanita di hadapannya sekarang. "Tapi sepertinya ada yang anda tidak tau Tuan." Untuk sejenak Yumna memang tak bisa berkutik, tapi setelah melihat kesombongan pria itu otak tidak berhenti bekerja. Mendengar kalimat itu, pandangan Devian menghunus pada perempuan itu. "Apa anda tau, bahwa dalam Islam bermesraan di depan umum itu adalah perbuatan yang sangat buruk? Menjatuhkan martabat karena seperti onggokan daging yang tak tau malu. Mencium seperti tadi, bisa menimbulkan prasangka di benak sekretaris anda dan memicu syahwatnya. Dia itu wanita lajang, jika menyalurkannya dengan cara haram, anda akan ikut kena dosanya begitu juga saya yang membiarkan." "Hemh." Devian lagi-lagi tersenyum masam. Ia berusaha bersikap tenang, meski ucapan Yumna telah mengiris harga dirinya. "Omong kosong apa itu? Aku bukan ustaz, apa pentingnya memperhatikan hal sedetail itu?" "Ini bukan soal ustaz atau bukan, tapi anda beragama Islam ...." "Sudah cukup! Sepertinya aku salah memilihmu. Kamu telah keluar dari batas yang kuinginkan." Devian menekan ucapannya. Jelas sekali amarah telah menguasai pria itu. Tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut, ia berbalik dan menutup pintu. "Dasar pria tak berperasaan!" Yumna mendengus kesal. Percuma menjelaskan banyak hal pada Devian. Segala sesuatu tidak akan terselesaikan tanpa komunikasi yang benar di antara mereka. "Apa sebaiknya aku minta cerai saja? Hidup dengan orang seperti itu hanya menumpuk dosa, akan sulit menyadarkan pria yang marasa 'sempurna'?" Yumna bicara pada diri sendiri. Hati yang semula mantap, kini mulai goyah. "Tapi bagaimana dengan Ibu? Wanita itu satu-satunya yang kumiliki sekarang." Ia mendesah. Dengan malas berjalan ke ranjang mencari ponselnya. Sesekali Yumna menggoyang-goyangkan tubuh, berteriak seperti anak kecil, kesal, malu dan marah karena kejadian di lift kemarin yang terus membayangi. Saat itu ia sudah siap berdiri di dalam lift bersama Alina -sekretaris Devian-, siapa yang mengira Devian sudah di belakangnya. Sambil berkata, "Kamu pulang, Sayang? Hati-hati di jalan." Pria itu memeluk pinggang Yumna, menarik tubuh mungil wanita itu dan menciumnya. Tidak ada yang bisa wanita itu perbuat, selain matanya melebar tak percaya. Kalau saja tidak ada orang lain di sana, ia pasti sudah melepas sepatu dan memukul kepala Devian. Alina yang ada bersama mereka merasa muak. Berbalik badan pun tidak membantu meredakan perasaan tidak nyamannya. *** "Argh! Sial." Devian melempar tas kerjanya kasar. Suhu ruangan pemilik saham terbesar di perusahaan yang berAC itu mendadak panas karena kemarahan yang ia tahan sejak di rumah. Pria yang nampak sempurna di mata orang itu tidak akan membiarkan orang lain tahu bahwa ia tengah emosi hanya karena urusan pribadinya dengan Yumna. "Bukan ini yang kumau!" Sejak awal harusnya ia mencari tahu lebih dalam latar pendidikan gadis bernama Yumna. Dua minggu lalu, dari beberapa foto dan data pribadi, ia memilih perempuan yang memakai hijab itu lantaran terperangah beberapa saat. Pria hampir tak berkedip, sempat ia mengira tengah melihat Bianca memakai penutup kepala. Hingga seorang pegawai mengejutkannya. "Ada apa Tuan?" "Oh, tidak." Devian meletakkan tumpukan kertas di tangannya, lalu menyerahkan foto Yumna pada pegawai. Rupanya gadis itu memberi kesan yang mendalam untuknya. Ketukan pintu pelan membuyarkan bayangan saat pertama kali ia terhubung dengan Yumna. "Apa ada masalah Tuan? Apa Nyonya membuat anda kesal?" Alina kini sudah berdiri di samping mejanya. "Itu bukan urusanmu, Alina." Devian menjawab dingin, membuat wanita yang menjadi sekretarisnya itu menunduk seketika. Sesak. Sampai kapan pun, Devian tidak akan membuka hati untuknya. Langkah kaki mulus yang dibalut stoking dan mengenakan higth heels itu melangkah pergi. Baru empat langkah Alina berhenti karena Devian memanggil namanya. Sontak ia berbalik menanggapi seruan bossnya. "Tolong pesankan makanan untukku!" "Baik." Tanpa membuang waktu, Alina kembali ke meja kerjanya. Menghubungi restaurant untuk mengantar pesanan ke kantor. "Apa dia tidak sarapan? Pasti terjadi sesuatu," Alina menggumam. Makan di kantor adalah hal yang tak lazim bagi Devian. Selain tegas dalam segala hal, ia juga terkenal sebagai pribadi yang disiplin di mata pegawai. *** Alina kembali ke ruangan Devian. Mengantarkan makanan yang telah ia pesan. Namun, saat akan pergi lagi-lagi Devian menghentikannya. "Iya Tuan?" "Em, maaf soal tadi. Aku sedang ada sedikit masalah." "Iya, Tuan. Tidak masalah." "Oya, apa tawaranmu bulan lalu masih berlaku?" "Tawaran?" "Hotel Sunrise. Pulau Dewata. Bukankah hari itu kamu bilang akan membuatku nyaman dan menghiburku di sana?" "Ah, ya benar Tuan." Pipi wanita berpakaian rapi dan seksi itu bersemu. Tak menyangka akhirnya lelaki yang sudah lama ia cintai itu menanggapi. Setelah tiga tahun membersamai pria itu di kantor. "Kamu tentukan waktunya." Devian mengucap datar sebelum melanjutkan kesibukan yang tertunda. Sejak hatinya terjerat, Alina seperti umpan, selalu menggoda kala ada kesempatan. Ia bahkan tak segan-segan menyatakan cintanya kala Devian merasa hancur lantaran Bianca yang memilih pergi ketimbang hidup bersamanya dan membantu bisnisnya. Namun, karena prinsip dan perasaan yang begitu kuat pada sang istri, membuatnya mengabaikan semua sikap Alina. Hari ini Devian bukan hanya merasa hancur, ia juga marah. Marah pada keadaan yang menginjak harga dirinya. Sikap Yumna tadi pagi, membuatnya muak menjaga perasaan wanita. Ia bahkan lupa prinsip yang selama ini dipegangnya, bahwa perselingkuhan adalah racun yang membinasakan. Seperti kedua orang tua Devian yang bercerai karena perselingkuhan sang ayah dengan teman kantornya. Alina meninggalkan ruangan dengan malu-malu. Apa yang harapkan sekarang terjadi, tak peduli jika ia harus menjadi simpanan untuk seorang 'Devian.' Menjadi kekasih CEO adalah mimpi sejak kakinya menginjak perusahaan itu. *** Yumna tengah sibuk di dapur dengan beberapa  pelayan menyiapkan makan dan membuat beberapa kue untuk persediaan pasanagan suami istri itu dan seluruh orang yang bekerja di rumah mereka. Perempuan yang sudah biasa bekerja keras itu, tidak bisa hanya berdiam diri melihat banyak pekerjaan. "Apa Tuan Devian jarang di rumah, Bi?" Wanita yang tengah jengkel setengah mati pada sosok Devian itu bertanya di sela kesibukannya mengupas bawang. Perempuan paruh baya yang mengenakan seragam pelayan menelengkan kepala, berpikir. "Em, kalau jam kerja 'kan emang gak di rumah, Non. Tapi ... kalau malam Tuan Devian selalu tidur di rumah. Kadang ketiduran di ruang kerjanya. Soalnya Tuan itu, gak suka tidur di kantor. Jadi kalau pun harus lembur, pekerjaannya di bawa pulang." "Hemh?" Yumna mengerutkan dahi. Apa yang ia dengar dan terjadi tadi malam berbeda. "Tapi tadi malam Tuan pulang malam sekali kan." "Oya,  kebetulan juga saya yang bukain pintu. Gak sampe lima menit Non masuk ke kamar, Tuan datang." "Apa?" Yumna terkejut. Ia merasa menunggu sangat lama pria itu. 'Apa aku tidur secepat itu?' batinnya kembali bertanya. "Tenang saja, Non. Tuan Devian itu walau pun pria mapan yang dikelilingi wanita cantik, beliau itu tipe setia. Dia tipe pria yang gila kerja. Saya gak pernah liat Tuan dengan wanita kecuali em ... kecuali ...." Pelayan itu ragu meneruskan kalimatnya. "Kecuali apa, Bi?" "Nyonya Bianca yang asli. Maaf kalau Non tidak berkenan dengan ucapan saya." Raut bersalah nampak di wajah pelayan itu. Yumna tersenyum. "Nggak papa lah Bi. Mereka kan halal." "Syukurlah." Sang Pelayan lega, wanita yang sudah menjadi ratu di rumah majikannya bukan orang yang temperamen. "Lagi pula Tuan Devian itu selain tampan juga hangat pada semua orang, Non." Wanita itu menyambung dengan gaya malu-malu. "Hemh? Masa?" Yumna tersenyum sambil geleng-geleng melihat wanita itu. Meski sikapnya mengiyakan, tapi hatinya jelas ingkar pada pernyataan itu. Pria sedingin dan semenjengkelkan Devian disebut pria hangat. Pandai sekali ia bersandiwara di depan semua orang. "Oya, Non. Kalau boleh jujur, Non ini sekilas sangat mirip dengan Nyonya Bianca." "Oya, berarti saya cantik dong, Bi." "Ya jelaslah Non cantik. Mana mau Tuan Devian sama wanita biasa-biasa seperti saya." "Ah, Bibi bisa aja. Emangnya Bibi masih jomblo?" "Jomblo?" "Gadis Bi. Hahaha. Masih bujang dan belum menikah." "Oalah. Saya sudah pernah menikah, Non. Tapi dia kabur dengan wanita lain. Ck. Coba saya dulu nemu lelaki sebaik Tuan Devian." Raut wajah wanita paruh baya itu meredup. Yumna mengusap pundaknya sebentar menguatkan. "Saya gak papa, Non." Wanita itu bicara karena merasa canggung dengan perhatian yang diberikan majikannya. "Tapi kalau dipikir, Non sama Nyonya Bianca itu sifatnya jauh berbeda." "Oya?" Pelayan mengangguk, memantapkan pernyataannya. "Sebentar Non, saya mau permisi ke loteng. Ada yang harus diselamatkan." "Oh, silakan." *** Saat Yumna sedang menata makanan di atas meja bersama para pelayannya, Devian datang dengan membawa tas kerja di tangan kanannya. Lelaki itu berhenti sebentar memperhatikan wanita-wanita yang tengah sibuk, tapi matanya hanya fokus pada Yumna. Hatinya bertanya kenapa perempuan itu ikut sibuk? Tapi kemarahan membuatnya urung bertanya atau sekedar menyapa. Ia pun kembali berjalan menuju kamarnya. Begitu pun Yumna, meski kehadiran Devian mengusiknya, perempuan itu memilih diam. Berpura-pura tidak melihat kedatangan sang suami. Hal itu membuat para pelayan menatap heran pada mereka. "Dasar pria menyebalkan!" Yumna menggumam. "Iya Non?" Pelayan merasa majikannya berkata sesuatu padanya tapi tidak jelas. "Oh, nggak, Bi." Satu-satunya wanita yang menutup aurat di rumah itu menjawab cepat. *** Baru akan mengenakan pakaian setelah mandi, ponsel Devian berdering. Saat melihat ke layar. Panggilan itu datang dari orang tuanya yang menetap di Inggris. "Hallo. Ya, Ma?!" "Kami akan pulang, menagih janjimu untuk melihat mantu kami Dev." "Apa gak nunggu waktu luang Dev saja, Ma. Dev janji akan membawanya berkunjung." "Tidak perlu. Capek Dijanji terus. Sudah ya, mama cuma mau bilang itu saja." "Tap ...." Belum selesai Devian bicara, sambungan telepon terputus. Lelaki itu kini nampak gelisah. "Sial, kenapa di saat seperti ini aku harus sekamar dengan wanita sok alim itu!" BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD