2

1142 Words
Semburat senyuman terukir di wajah Azura. Dia tidak boleh menampakkan kesedihan di depan anak kembarnya. Walaupun hatinya terluka dengan semua perceraian dalam hidupnya, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja dengan takdir. Dia akan berjuang demi kehidupan yang layak untuk Angelo dan Angela. Dengan membawa tentengan tas plastik ayam goreng krispi kesukaan anak kembarnya. Azura turun dari motor yang menjadi tunggangannya. Ya, walaupun dia tidak memiliki mobil, tapi punya motor aja sudah sangat bersyukur. Apalah arti memiliki mobil jika perasaan tertekan harus membayar kreditan yang mencekik batang lehernya. Angela mendengar suara motor Azura langsung berlari menemui Mamanya dengan senyuman yang termanis. Melihat senyuman manis buah hatinya membuat luka dalam hati Azura seakan sirna. Anak merupakan kebahagian untuknya. Seorang Ibu akan melakukan apapun demi buah hatinya. “Mama bawa ayam goreng, ‘kan?” tanya Angela dengan mata berbinar-binar. “Tentu dong Sayang. Nih pesanan ratu dan raja nya Mama,” ucap Azura sambil menunjukkan plastik tentengan di tangannya. “Sayang Mama.” “Sayang Ela.” “Kakakmu mana Ela?” “Biasa Ma. Kakak kan sibuk sama ponselnya. Main game online.” Azura tersenyum. Begitulah putra dan putri kembarnya yang berbeda sifat. Angelo lebih kalem tanpa banyak bicara cenderung tidak memperdulikan keadaan di sekitarnya walaupun sebenarnya putranya tersebut sangat memperhatikan setiap detail tanpa perlu berkata apapun. Angela, putrinya lebih ceria, aktif, manja, dan cerewet. Rumah tanpa Angela seakan di kuburan. Sepi dan sunyi senyap. Akan tetapi hanya dia yang mengerti kalau kedua anak kembarnya tersebut sangat menyayanginya. Langkah kaki Azura masuk ke dalam rumah. Dipandanginya setiap sudut rumah peninggalan Ibunya yang telah meninggal dunia. Di sini lah dia sekarang tinggal setelah diusir oleh Ben dari rumah mereka. Rumah yang dibeli oleh Ben untuk tempat tinggal mereka dulu, tapi sekarang wanita lain lah yang menempati rumah tersebut. “Mama… ayo ke sini makan bareng aku dan Kakak,” panggil Angela sambil mengayunkan tangannya ke arah Azura. Azura mengembangkan senyuman di wajahnya. Bukannya dia tidak lapar, tapi dia tak memiliki uang yang cukup untuk membeli ayam goreng untuk mereka bertiga. Lebih baik dia makan telur daripada melihat anak kembarnya tidak menikmati ayam goreng kesukaan mereka. Tubuh Azura bergoyang membuatnya terkejut saat Angelo menggerakkan tangannya. Matanya melihat ke arah putranya lalu berkata, “kenapa Sayang?” tanya Azura. “Ayam ini untuk Mama saja. Aku bosan dengan ayam goreng,” ucap Angelo yang seakan mengerti keadaan Azura. Manik-manik mata Azura menatap Angelo. Dia berpikir apa putranya tahu tentang keadaan mereka? Azura menggelengkan kepalanya. “Mama sudah makan, Nak. Ini untuk Elo aja.” “Mama serius sudah makan?” tanya Angelo tak percaya. “Suer. Mama serius loh.” Azura berkata sambil membuat tanda jari telunjuk dan tengahnya. “Mama jangan berbohong. Mama selalu mengajarkan aku dan Ela selalu jujur.” “Mama ga bohong Elo. Mama beneran sudah makan, Nak.” Azura berusaha menyakinkan Angelo. Angelo menatap Azura. Walau dia baru berusia 5 tahun, tapi dia mengerti perasaan Mama nya, dia sangat tahu Mama nya selalu menyembunyikan apa yang dirasakannya. “Sudahlah Nak. Mama sudah makan, masa ga percaya sih,” ucap Azura membalas tatapan mata putranya. “Kak kalau ga mau sini aku aja yang makan. Perutku masih muat diisi satu potong ayam lagi,” teriak Angela sambil menepuk-nepuk perutnya. Mata Angelo melotot melihat Angela. Adik kembarnya ini memang tidak peka dengan keadaan Mama nya. Dia pun mendenguskan napasnya dengan kasar dan kembali ke meja makan untuk melahap ayam goreng kesukaannya. Azura menutup mulutnya sambil menahan tawanya. Kelakuan anak-anaknya memang begitu unik. Walau Angela badannya kecil, tapi selera makannya besar. Putrinya tersebut sangat suka makan. “Mama ke kamar dulu yaa. Mau ganti baju,” ucap Azura. “Iya Ma,” ujar Angela dan Angelo serempak. Dengan santai Azura masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang dulu ditinggalinya saat masih gadis dulu. Tak banyak berubah dari kamarnya masih sama seperti dulu, walau sekarang kasurnya berubah. Dulu hanya kasur kecil, tapi sekarang dia sudah membeli yang besar agar bisa ditidurinya bersama anak-anaknya. Tiba-tiba dia teringat pada Ben dan Rieka. Dia tersenyum sendiri pasti sekarang pasangan selingkuh tersebut sedang bertengkar masalah tempat tidur. Rasa geli menggelitik perutnya. "Hmm... apa si Rieka ga risih yaa tidur ditempat aku dan Ben dulu memadu kasih," gumam Azura sambil senyam senyum sendiri. Wanita yang dibayangkan Azura ternyata tidak tahu malu. Rieka tanpa ada perasaan dan banyak menuntut pada Ben. Seharusnya mereka ke rumah orang tua Ben akan tetapi Ben merubah rencana mereka. “Ben, aku ga mau tempat tidur ini. Ganti!” pinta Rieka dengan kesal. “Iya besok aku ganti yaa,” ucap Ben dengan suara lembut. “Apa! Besok? Ga ada hari esok aku mau nya sekarang, titik ga pake koma.” “Rieka, sudahlah. Aku lelah.” “Lelah? Katamu lelah? Memang kamu ngapain aja sampai lelah begitu? Apa ini alasanmu aja karena bercerai dengan mantan istrimu yang sok cantik itu!” “Ini ga ada hubungannya dengan Azura, Rieka. Aku benar-benar lelah dan ingin beristirahat.” “Alah alasan saja kan. Alasanmu lelah, lelah, lelah, terus aja lelah sampe lebaran monyet.” Ben tak menghiraukan perkataan Rieka. Dia benar-benar lelah sekarang. Walaupun sudah tak bersama Azura lagi, tapi ada perasaan bersalah dalam hatinya jika mengingat anak kembarnya. Seharusnya dia memberikan rumah ini untuk Azura agar bisa tinggal bersama anak-anaknya. “Ben! Kenapa cuman diam aja. Ayoo sekarang kita beli tempat tidur baru. Aku ga mau bekas wanita gatel itu,” rengek Rieka sambil menarik-narik pergelangan tangan Ben. “Rieka sabar lah sebentar saja. Aku mau tidur dulu ya,” ucap Ben yang masih berusaha bersabar dengan tingkah laku kekasihnya tersebut. “Kalau kamu ga mau menuruti permintaan ku. Aku pulang! Tak sudi aku tidur bekas wanita gatel itu.” “Terserah.” Kesal. Rieka sangat kesal pada sikap Ben. Kenapa pria yang baru saja bercerai dengan istrinya tersebut tidak menuruti semua keinginannya? Apa ada yang salah? Selama ini Ben selalu memenuhi semua keinginannya tanpa terkecuali. Kayaknya Mbah Wiryo kurang bagus nih dukunnya. Padahal sudah membayarnya mahal. Jangan-jangan aku ditipu lagi. Dasar dukun sialan! Rieka berkata dalam hatinya. Dengan menghentakkan kakinya Rieka keluar kamar Ben. Membanting pintu kamar dengan kekuatan extra keras agar Ben tahu kalau dia marah. Sangat marah sampai ingin meledak dengan rambut berasap terbakar oleh amukan amarahnya yang sudah diujung rambut walau tak sampai keujung kaki. Sambil menghembuskan napasnya dengan berat Ben hanya bisa bersabar. Dia terlalu mencintai Rieka hingga rela menceraikan wanita yang selalu ada untuknya di saat tak memiliki apapun. Wanita yang tak pernah marah padanya saat dia bersikap kasar bahkan membentak-bentak dan berkata kasar padanya. Sekarang semuanya sudah terlambat. Wanita yang bernama Azura sudah pergi meninggalkannya berganti status menjadi mantan istrinya bukan istrinya lagi. Badannya yang lelah dibaringkannya di atas tempat tidur. Menutup matanya agar bisa tidur tanpa memikirkan hal yang lain lagi. Dia tak memperdulikan bekas tempat tidur siapapun lagi yang penting bisa tidur tanpa gangguan dari siapapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD