PART 2

1976 Words
Raffa menghela nafas pelan, mengingat kejadian di mana dirinya menabrak Nanda siang tadi. Jujur, laki-laki itu ingin kembali di mana dirinya dan Nanda kelas sepuluh dulu. Entahlah, semenjak dirinya menyatakan cinta kepada Laura yang notabennya adalah teman sekelas Nanda, lambat laun gadis itu menjadi menjauh dari dirinya, dan terkesan dingin. Padahal tujuan dirinya menjalin hubungan dengan Laura bukan atas dirinya suka dengan gadis berparas manis itu, tapi… ah, sudahlah. Raffa melempar tasnya sembarangan, lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang kamar. Entah apa yang harus dirinya lakukan kepada Nanda agar gadis itu tahu jika dirinya memiliki perasaan aneh kepadanya. Apa selama ini gadis berkacamata itu tidak menyadari hal-hal kecil yang dirinya perbuat untuk bisa lebih dekat dengannya lagi? “Apa gue harus nyatain perasaan gue?” Terlalu cepat memang, tapi bagaimanapun juga Nanda harus tahu apa yang Raffa rasakan. Raffa langsung bangkit dari posisi tengkurapnya, dengan gerakan cepat laki-laki itu mengambil kunci motor dan langsung keluar rumah tanpa mengganti baju seragamnya. *** “Gue nggak mau tau, bagaimana caranya supaya besok Nanda mau ketemu gue di kafe delima. Gue mau lo pikirin cara itu, terserah lo gimana caranya, yang paling penting besok Nanda dateng ke kafe itu. Ngerti?” ucap Raffa dengan pandangan terfokus ke arah Ryan yang hanya mengaduk-aduk cangkir kopi laki-laki itu. Sebelum benar-benar pergi, Raffa terlebih dahulu mengirimkan pesan kepada Ryan agar laki-laki itu mau menemuinya di kafe langganan mereka berdua yang berada di bilangan Jakarta Pusat. Raffa percaya Ryan bisa membantunya menemukan cara supaya Nanda mau bertemu dengannya besok. Ryan berdehem sekali, laki-laki itu menegakkan badannya. “Sebelumnya gue mau tanya, kenapa lo yang mau nyatain perasaan jadi gue yang repot mikir gimana caranya biar Nanda mau ketemu sama lo?” Raffa menghela napas, laki-laki itu menyenderkan tubuhnya ke kepala kursi. “Dengar, nih, misalkan Nanda tau kalo yang ngirim surat itu gue, yakin seribu persen doi nggak akan dateng. Pokoknya, sebagai sahabat terdekat gue, lo harus bantuin gue agar Raffa yang ganteng ini nggak bertepuk sebelah tangan. Ya, minimal gue tau gitu perasaan Nanda gimana sama gue.” Ryan hanya mengangguk-anggukan kepalanya. “Ngerti. Tapi, Raff, gue yakin kalo lo itu bakal ditolak sama Nanda. Jadi, kodratnya itu kalo gue belum punya pacar, lo juga takdirnya menjomblo,” ucapnya. “Si b*****t! Seharusnya sebagai teman yang baik hati, tidak sombong, dan suka menabung lo itu harus mendoakan Raffa yang ganteng ini biar jadian sama Nanda. Bukan malah sebaliknya,” balas Raffa dengan nada masih terbilang santai. “Iya-iya-iya-iya.” Raffa mengetuk-etukkan jari-jarinya di atas meja kafe, rasa bosan kini menyelimuti dirinya. Bagaimanapun caranya, laki-laki itu berharap besok Nanda akan mau bertemu dengan dirinya. Suara pintu kafe terbuka berhasil membuat Raffa mengalihkan pandangannya, gadis dengan seragam SMA yang masih melekat ditubuhnya dilapisi dengan cardigan panjang berwarna hitam mampu membuat rasa bosan dalam diri Raffa seketika hilang. Senyum laki-laki itu mengembang, ketika melihat gadis itu memilih tempat paling pojok dari kafe untuk dirinya duduk. Raffa menatap Ryan yang entah tengah memainkan apa dalam ponselnya. “Ada Nanda, Yan.” Ryan mendongkakan kepalanya, melihat sekeliling kafe namun laki-laki itu sama sekali tidak melihat keberadaan gadis yang namanya disebutkan oleh Raffa tadi. “Halusinasi, Raff.” Mendengar balasan yang terucap dari bibir Ryan membuat Raffa memukul bahu laki-laki itu cukup kencang. “t**i Lalat! Liat yang bener kenapa, sibuk banget sama hape, sih,” ucapnya. Ryan meletakan ponselnya ke atas meja kafe, menegakkan badannya dengan kedua tangan yang ia lipat di atas meja. “Oke, jadi di manakah posisi Nanda saat ini?” “Lo liat kebelakang, meja paling pojok. Cewek pake cardigan item, yang lagi megang hape,” jelas Raffa dengan pandangan focus ke arah Nanda. Mau tidak mau Ryan mengikuti arah pandangan Raffa, setelah dirinya menemukan gadis yang dimaksud oleh Raffa, senyum laki-laki itu mengembang. “Nan—” Dengan gerakan cepat, Raffa membungkam mulut Ryan dengan telapak tangannya. “Lo itu nggak punya malu apa?” ucapnya. Ryan menepis telapak tangan Raffa yang menutupi mulutnya. “Nggak bisa napas gue, Raffaa!” “Napas pake idung, Pinter!” balas Raffa. “Jangan panggil-panggil kenapa, udah kita hanya liatin aja. Ngerti?” “Ooh iya, Raff. Coba, deh, lo ulangin lagi nutup mulut gue, terus nanti gue bilang ‘nggak bisa makan gue, Raffa’ gitu,” ucap Ryan tanpa wajah bersalah sedikitpun. “Terserah lo, Yan.” *** “Lo bawa bekel, Nan?” Nanda mendongkakan kepalanya, tersenyum ke arah Chika. “Peramal,” balasnya. Chika, yang notabennya teman satu meja Nanda menghela nafas pelan. “Hafal gue,” ucapnya seraya duduk tepat di samping kursi yang sedari tadi Nanda duduki. “Untungnya gue udah beli makanan, jadi nggak perlu ngantri di kantin.” Nanda tertawa kecil. “Tumben beli makanan di luar. Biasanya males bawa makanan ke sekolah, udah cinta sama masakan kantin bukannya?” Kedua alis Chika terangkat ke atas, kedua tangannya membuka makanan yang dirinya beli sebelum pergi ke sekolah. “Ooh iya, tadi gue dikasih surat, terus suruh kasih ke lo,” ucapnya seraya memberikan secarik kertas biru muda ke arah Nanda. Kedua mata Nanda menaut menjadi satu menatap secarik kertas biru tersebut. “Dari siapa?” Kedua bahu Chika terangkat ke atas. “Entah.” “Aneh,” ujar Nanda seraya menerima secarik kertas biru muda tersebut. Perlahan namun pasti, Nanda membuka kertas tersebut. Dengan kedua alis menaut menjadi satu dan wajah bingungnya Nanda membaca isi kertas itu. Nan, pulang sekolah kafe delima. Gue tunggu. Nanda semakin bingung akan kalimat yang terdapat di dalam kertas tersebut. “Aneh.” *** “Saya turun di sini aja, Pak. Nanti misalkan saya udah selesai ngerjain tugasnya, saya bakal hubungin Bapak. Sekarang Bapak langsung ke rumah Tante Rina aja, mama udah tunggu Bapak di sana,” ucap Nanda kepada supir pribadi ayahnya. Supir tersebut tersenyum sopan ke arah Nanda. “Yasudah kalo gitu, nanti saya akan bilang sama ibu kalo Nanda ada tugas sekolah. Nanti langsung kabarin saya aja,” balasnya. Nanda mengacungkan ibu jarinya ke arah Kardi, supir pribadi ayahnya. “Siap!” kemudian langsung keluar dari dalam mobil. Nanda menatap sebuah kafe bertuliskan Delima’s Kafe di plang besar depan kafe tersebut. Gadis itu langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam kafe tersebut. Aroma kopi bercampur vanilla menyeruak masuk tanpa izin ke dalam indra penciuman Nanda ketika dirinya baru saja mendorong pintu kafe tersebut. Gadis itu menyapu pandangannya ke sekeliling kafe, mencari keberadaan seseorang yang mengiriminya secarik kertas biru muda. “Nanda.” Suara itu, lagi. Nanda mencari keberadaan si pemilik suara serak tersebut. Tepat di meja pojok dekat jendela besar kafe pandangan Nanda berhenti. Raffa, laki-laki yang kini menggunakan jaket abu-abu tersenyum manis ke arahnya. Ada apa? Nanda mencoba melangkahkan kakinya ke arah Raffa, degup jantungnya kian berdetak semakin cepat. Entah apa yang dirinya rasakan saat ini, berdiri di hadapan Raffa dengan wajah bingung. Nanda mengamati lekat-lekat wajah Raffa, laki-laki itu terlihat sangat gembira. Tanya tanya kini memenuhi otak Nanda. Ada apa? “Lo ngapain di sini?” tanya Nanda dengan nada cukup gugupnya. Dengan santai, Raffa berdiri tepat di hadapan Nanda yang membuat Nanda melangkah mundur satu langkah. “Santai, Nan. Gue juga nggak akan berbuat yang aneh-aneh sama lo. Lagian ini tempat umum lagi,” ucap Raffa dengan seyuman tipis. Dahi Nanda berkerut, menandakan bahwa saat ini gadis itu tengah dilanda kebingungan. “Ada apa, sih?” Lagi-lagi Raffa tersenyum kecil. “Lebih baik lo duduk dulu, pesen minuman, baru ngobrol. Oke?” sarannya. Sejujurnya, saat ini Nanda mengamati ke sekeliling kafe untuk memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda keberadaan anak Bhakti. Jika ada, dirinya akan habis esok. “Jadi yang ngirim kertas biru muda itu… lo?” “Tuh, tau. Nah, sekarang mending lo duduk dulu biar gue pesenin minuman. Lo mau apa?” ucap Raffa seraya melepas jaket dari tubuhnya. Nanda terdiam, dirinya benar-benar tidak tahu apa yang akan Raffa rencanakan terhadap dirinya. “Aneh, deh. Sebenernya ada apa, sih?” Raffa tidak menjawab, laki-laki itu malah menarik kursi lalu menuntun Nanda agar duduk di kursi tersebut. “Lebih baik lo duduk. Please, kali ini aja lo dengerin apa kata gue, oke?” ucapnya. “Tenang aja di kafe ini nggak akan ada anak Bhakti. Percaya sama gue.” “Terima kasih sebelumnya.” Nanda akhirnya menduduki kursi tersebut. Raffa tersenyum. “Apapun buat lo. Yaudah, sekarang gue mau pesen minuman dulu, okey. Lo tunggu di sini.” Nanda hanya mengangguk. Beberapa menit kemudian, Raffa kembali dengan tangan membawa dua gelas caramel macchiato. Laki-laki itu meletakan satu gelas di hadapan Nanda dan satu lagi di hadapannya. Raffa duduk di kursi yang berada di hadapan Nanda, tentunya dengan senyum tipis yang menghiasi bibirnya. “Jadi, apa?” Raffa menautkan kedua alisnya, bingung akan kalimat tanya yang diucapkan oleh Nanda. “Jadi?” Nanda menghela nafas. “Maksud gue, apa yang mau lo omongin ke gue?” Raffa menyesap minumannya, dengan nada lantang laki-laki itu berucap, “Gue cuma mau lo tau, kalo gue suka sama lo.” Kedua mata Nanda membulat sempurna, gadis itu benar-benar tidak percaya akan kalimat lantang yang terucap begitu saja dari bibir tipis Raffa. “Kok bisa?” Raffa tertawa kecil mendengar balasan yang Nanda lontarkan kepadanya. “Bisa, lah. Lo itu cewek, gue cowok.” Nanda mendecak pelan. “Maksudnya, gimana bisa lo suka sama gue? Aneh.” “Normal kali, Nan,” ucap Raffa. “Emang kenapa, sih? Lo nggak percaya banget.” “Serius, Raffa,” tekan Nanda. Raffa menyenderkan tubuhnya ke kepala kursi. “Jadi gini, lo inget kejadian pas lo pingsan pas waktu MOS kelas sepuluh dulu, ‘kan?” tanyanya yang mendapat anggukan oleh Nanda. “Oke, gue akan cerita tanpa lo potong, atau apalah. Lo boleh tanya, tapi nanti kalo gue udah selesai jelasin.” “Kaya guru aja, lanjutin,” ujar Nanda yang dihadiai senyuman kecil oleh Raffa. “Dulu pas lo masuk UKS karena nggak kuat dijemur di tengah lapangan, dari sekian banyak perserta MOS, hanya gue yang bersedia buat jagain lo di UKS. Ya, walaupun saat itu gue juga belum kenal lo. Dari situ gue mulai ada rasa sama lo, tapi gue tahan, karena gue adalah tipe orang yang nggak percaya tentang love at first sight atau sejenisnya. Sampe suatu ketika gue cari tau tentang lo,” ucap Raffa. “Lo inget pas gue pacaran sama temen satu kelas lo?” Nanda mengangguk. “Gue inget, sama Laura, ‘kan?” “Iya, lo nggak tau kalo gue pacaran sama Laura karena gue itu pengen tau tentang lo, bukan beneran suka sama Laura. Jadi setiap hari gue anter Laura ke kelas bukan karena gue perhatian sama dia, tapi karena gue cuma mau liat lo masuk atau nggak, ataupun sekedar bilang ‘hi’ sama lo, dan lo nggak tau itu. Akhirnya setelah satu bulan pacaran sama Laura gue mulai kenal lo, dan gue coba cari idline lo, gue minta sama Laura, secara langsung, lho. Sampe-sampe dia berpikir gue frontal. Dan gue dapet, sumpah pertama gue nge-chat lo awalnya deg-degan. “Akhirnya gue bisa deket dan kenal lo, lo ternyata asik orangnya. Dan gue putusin buat dapetin lo, dan gue pun akhiri hubungan gue sama Laura dengan cara baik-baik. Jadi sekarang lo tau, kenapa gue sering nanyain lo, ngechat lo walaupun nggak penting, ngikutin lo di sekolah, dan ngelakuin hal-hal kecil yang nggak bisa diomongin,” ucap Raffa. Nanda menyesap caramel macchiato-nya. "Raff, gue masih belum percaya, lo suka sama gue? Padahal banyak kakak kelas, seangkatan, ataupun junior yang naksir berat dan mau jadi pacar seorang Raffa Aldric, kenapa lo suka sama gue?” Raffa tertawa kecil. “Gue nggak tau apa yang spesial dari gue sampe mereka naksir sama gue, padahal ada Deny yang notabennya ketua basket dan masuk ke jajaran wanted guys school.” “Tipe orang beda-beda, Raff,” sahut Nanda dengan nada santai, sangat berketerbalikan dengan detak jantungnya yang semakin berdetak dengan cepat. Raffa menunjukan jari telunjukanya ke arah Nanda. “Nah itu, alesan gue suka sama lo.” “Audy itu kan suka sama lo, kenapa lo malah suka sama gue yang nggak ada apa-apanya dibanding Audy?” ucap Nanda dengan nada cukuo gugup. “Jangan menilai orang secara berlebihan, itu nggak bagus. Dan, jangan menilai diri lo sejelek apapun karena di mata orang beda,” Raffa menyesap caramel macchiato-nya, “lagian, kalo gue cinta karena rupa, terus gimana cara gue mencintai Tuhan yang nggak berupa, Nanda,” ucap Raffa. Nanda terdiam, meresapi kata-kata yang baru saja Raffa lontarkan padanya. Kalo gue cinta karena rupa, terus gimana gue mencintai Tuhan yang nggak berupa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD