PART 1

1315 Words
“Raffa?” Raffa menoleh, laki-laki yang kini tengah mencoret-coret papan tulis dengan berbagai tulisan itu tersenyum lebar ke sumber suara yang memanggil namanya beberapa detik yang lalu. Sadar akan tatapan tajam pemilik suara tersebut, Raffa berlari ke arah mejanya dengan tangan yang masih setia mengenggam spidol kelas. “Eh, Ibu. Apa kabar? Makin cantik aja, Bu,” ucap Raffa yang saat ini sudah terduduk manis di bangkunya. Raffa, laki-laki yang mempunyai nama lengkap Raffa Aldric Ardiansyah itu merupakan anggota basket, sekaligus salah satu dari sekian banyak brandal yang menghuni SMA Bhakti. Laki-laki yang duduk di bangku XI IPS 2 itu memang terkenal dengan cap brandal namun terkesan religius di penjuru SMA Bhakti. Melihat tingkah salah satu murid yang bisa terbilang nakal itu membuat Bu Rahma, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang mengajar kelas Raffa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan langkah santai, Bu Rahma berjalan ke arah mejanya, lalu meletakan berbagai barang bawaannya di atas meja tersebut. “Bagaimana dengan Anda, Bapak Ardiansyah? Apakah kabar Anda baik-baik saja?” tanya Bu Rahma seraya berjalan mendekat ke arah meja Raffa yang memang berada di pojok belakang. Raffa tersenyum simpul seraya menjawab, “Saya selalu baik, Bu, asalkan bisa ngeliat senyum dia setiap hari. Asik.” Bu Rahma hanya menghela napas pelan, lalu berucap, “Coba kamu berdiri.” Raffa menatap Bu Rahma dengan tatapan bingungnya. “Berdiri? Buat apa coba berdiri kalo duduk aja saya udah bisa ngeliat Ibu.” “Berdiri. Ngerti Bahasa Indonesia, 'kan?” tekan Bu Rahma. Mau tidak mau Raffa berdiri. Laki-laki itu melirik ke arah Ryan yang notabennya teman satu mejanya sekaligus teman terdekatnya di SMA Bhakti. Yang Ryan lakukan saat ini menatap Raffa balik dengan kedua alis tertaut menjadi satu, dan diikuti dengan celetukan, “Apaan, sih?” Raffa menghela napas, laki-laki itu mengalihkan pandangannya kembali ke arah Bu Rahma. “Kenapa, sih, Bu? Saya tambah tinggi, ya?” tanyanya. Bu Rahma berdehem sekali, kedua matanya mengarah ke baju seragam yang dipakai oleh Raffa. “Pake baju yang bener.” “Mau bener ataupun salah, cowok kodratnya emang selalu salah, Ibu,” sahutnya dengan nada yang terbilang sangat santai dengan kedua jari-jari tangan sibuk merapikan baju. “Baper, najis!” Ryan dengan bibir tipisanya mampu mengeluarkan dua kata tersebut tepat di samping Raffa. Raffa menoleh, menatap sahabat dekatnya itu dengan kedua alis terangkat ke atas. “Lo lagi kenapa, sih, sama gue? Nggak suka? Bilang. Sesimpel itu.” Bu Rahma yang masih setia berdiri di samping meja Raffa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya memperhatikan perdebatan kedua anak muridnya itu. Sudah terbilang sangat sering Raffa dan juga Ryan berdebat seperti itu, pada akhirnya mereka akan mengerjakan tugas bersama walaupun nilainya tidak seberapa. “Udah, Ibu udah hafal banget kalo kalian itu setiap Ibu dateng pasti ribut. Kenapa, sih? Kamu juga Ryan, apa Ibu perlu pindahin tempat duduk kamu?” ucap Bu Rahma yang sukses membuat kedua mata Ryan membualat sempurna. Lain halnya dengan Raffa yang hanya tertawa kecil melihat reaksi spontan Ryan. “Jangan Ibu, jahat banget sama anak muridnya sendiri. Saya nggak mau pindah pokoknya, mau tetep sama Raffa, dia baik, saya jomblo dia juga jomblo,” balasnya seraya menarik lengan Raffa. Mendengar kalimat yang terlontar begitu saja dari bibir Ryan membuat kedua mata Raffa membulat sempurna, laki-laki itu menarik lengannya yang sedari tadi diampit oleh Ryan. “Denger, ya, gue itu bukan jomblo, tapi cuma gagal taken.” Ryan menghela napas, seraya berucap, “Sama aja.” “Terserah, Yan.” *** Nanda berjalan cepat di tengah koridor sekolah yang cukup ramai, seraya membawa beberapa buku di dalam lipatan tangannya yang akan dirinya kembalikan ke perpustakaan. Gadis itu terus berjalan tertunduk berniat untuk tidak memerhatikan keadaan di sekitarnya, hingga pada akhirnya Nanda merasakan sesuatu menabraknya yang sukses membuatnya terpental ke lantai. “Lo nggak apa-apa, Nan?” Suara itu, Nanda ingat. Terdiam sejenak, Nanda mencoba mendongkakan kepalanya. “Gue nggak apa-apa.” “Gue bantu, ya?” tawar seseorang yang menabak Nanda beberapa menit yang lalu seraya berjongkok tepat di hadapan Nanda. Nanda menggeleng kuat, seraya mencoba bangkit dari posisi terduduk di lantainya. “Nggak usah, lebih baik lo nggak usah bantu gue. Hari ini gue lagi nggak mau cari masalah sama kakak kelas.” Seraya membereskan bukunya yang berserakan di lantai. “Lo ngomong apa, sih, Nan? Gue nggak ngerti, deh. Lo berubah, sikap lo jadi dingin,” timpal seseorang itu. Nanda menghela napas, membenarkan letak kacamatanya yang agak miring. “Hari ini gue lagi nggak mau dapet masalah, Raffa, entah sama kakak kelas atau sama penggemar lo. Lo ngerti, 'kan? Gue capek.” Ya, seseorang tersebut adalah Raffa. Raffa yang masih setia dengan posisi berjongkoknya, ikut bangkit dan berdiri tepat di hadapan Nanda. “Gue nggak ngerti, deh. Gue itu bukan artis ataupun panutan yang pantes buat diidolain.” Nanda terdiam sesaat, lalu berucap, “Yaudah, gue permisi dulu.” Setelah mengucapkan satu kalimat tersebut, Nanda berjalan menjauh dari hadapan Raffa, melanjutkan perjalananya menuju perpustakaan dan meninggalkan Raffa dalam tanda tanya. Ananda Nabilla Husein atau lebih sering dipanggil dengan sebutan Nanda oleh teman-temannya, gadis yang mempunyai sifat pendiam dan misterius itu terkenal dengan kacamata besar yang ia pakai sehari-hari. Oleh karena itu Nanda juga sering disebut nerd oleh kebanyakan orang. “Pak, ini buku yang saya pinjam beberapa hari yang lalu, diletakan di mana, ya, Pak?” tanya Nanda kepada penjaga perpustakaan dengan sopan. Petugas perpustakaan itu tersenyum, seraya menggeleng kecil. “Tidak usah, Dek Nanda, nanti biar Bapak saja. Dek Nanda lebih baik ke kelas, jam istirahat sudah hampir selesai, lho.” Nanda tersenyum lebar. “Kalo gitu, terima kasih,” ucapnya. “Sama-sama.” Setelah petugas perpustakaan itu mengucapkan satu kalimat singkat tersebut Nanda langsung berbalik badan berniat untuk kembali ke kelasnya. Tak beda jauh, di koridor semua orang hanya fokus dengan aktivitsnya masing-masing. Hal itu adalah salah satu alasan mengapa Nanda menjadi terkesan dingin dan cuek. Setelah melewati koridor dan beberapa kelas, akhirnya Nanda sampai tepat di depan kelas yang memiliki plang kecil di atas pintunya bertuliskan “XI IPA 2”, gadis itu dengan langkah santai memasuki kelas tersebut tanpa mengeluarkan sepatah katapun. *** Koridor sudah mulai sepi saat ini, semua murid Bhakti rata-rata memang ingin cepat-cepat pulang ke rumahnya masing-masing. Namun, lain halnya untuk Nanda, sejak menginjakan kaki di kelas sebelas, gadis itu lebih menyukai pulang telat dan sudah tidak banyak orang lagi di sekitar area sekolah. Entahlah, Nanda sendiri bingung mengapa dirinya tiba-tiba berubah menjadi sosok pendiam dan misterius seperti sekarang. “Nanda!” Mendengar namanya dipanggil, Nanda yang tengah berjalan santai di tengah koridor sekolah menghentikan langkahnya, lalu membalikan badan. Gadis itu menelan salivanya ketika dirinya mengetahui siapa seseorang yang baru saja memanggil namanya. “Tadi Raffa bantuin lo? Jujur!” ucap seseorang itu dengan nada penuh penekanan seraya berjalan mendekat ke arah Nanda. Audy. Nanda hanya menggeleng kaku, pandangan gadis itu kini hanya bisa menunduk menatap lantai dingin sekolah. “Enggak.” Salah seorang yang berada di belakang tubuh Audy memajukan badannya satu langkah. “Tadi gue liat,” ucapnya. Nanda mencoba menatap wajah kedua kakak kelasnya itu dengan pandangan kosong. “Raffa cuma nggak sengaja nabrak, bukan ngebantu,” jelasnya dengan nada yang terdengar gugup. Audy menaikan kedua alisnya, pasalnya gadis itu sangat mengetahui jika sebenarnya Raffa menyukai sosok gadis pendiam yang menghuni kelas XI IPA 2 yang kini tepat berdiri di hadapannya. Jujur saja, Audy sangat tidak menyukai kenyataan tersebut, dirinya sangat rendah berharap kepada laki-laki yang mengharapkan seorang gadis pendiam dan misterius. “Ooh, jual mahal juga, ya, lo dibantu seseorang kaya Raffa nggak mau. Seharga apa, sih?” ucap Audy menatap tajam ke arah Nanda. “Maaf.” Hanya satu kata tersebut yang bisa bibir Nanda ucapkan, gadis itu mencoba berbalik badan untuk melanjutkan perjalanannya, namun tarikan tangan Audy di rambutnya membuat Nanda meringis kecil. “Bisa, ya, lo ngomong sama kakak kelas tanpa sopan santun. Udah berani sekarang? Iya?!” ucap Audy melepas tarikan tangannya di rambut Nanda. Nanda membalikan badan, kedua alis gadis itu menaut menjadi satu. “Hanya boleh takut kepada pencipta, bukan kepada sesama manusia. Maaf, duluan.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Nanda berjalan cepat menjauh dari tempat di mana Audy dan temannya berdiri saat ini. Hanya satu kalimat yang Nanda dengar sebelum dirinya benar-benar menjauh dari hadapan Audy, “Nggak usah sok suci.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD