Chapter One

1219 Words
"Mama...Papa!" Tersentak kaget dengan kedua mata membelalak kaget, Khatrine lagi-lagi terbangun dari mimpi buruk yang selalu terulang selama 10 tahun terakhir. Ia lantas mengusap wajahnya kasar sebelum meneguk segelas air minum yang ia letakan di samping tempat tidur lalu meletakan kembali gelas kosongnya dengan sedikit gemetar. Keringat dingin mulai bercucuran disisi wajahnya, membuat Khatrine harus menarik nafas berulang kali untuk menenangkan dirinya. Khatrine kemudian menatap sejenak jam dinding kamarnya yang menunjukan pukul setengah 7 pagi, lalu turun dari ranjang, masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, berharap dengan membasuh wajah bisa membuat kenangan menyakitkan itu menghilang. Tiap kali mimpi itu datang, Khatrine seakan kembali ke masa lalu menyakitkan yang tidak bisa ia lupakan meski sudah ia coba berkali-kali. Khatrine tidak tahu harus bagaimana, karena tiap kali bermimpi buruk, yang bisa dilakukan Khatine hanya mencoba mengatur nafas agar tenang. Atau jika ia sudah tidak kuat, pilihan terakhir yang Khatrine lakukan adalah meminum obat yang diberikan oleh dokter. "Tenang, Khat. Tenang. Tidak ada yang perlu ditakutkan." Ia berkali-kali meyakinkan diri. Ya, ia tidak perlu takut, itu hanya mimpi buruk. Setelah merasa cukup baik, Khatrine membuka matanya, menatap bayangan dirinya yang tampak kacau dengan rambut berantakan, untungnya jam 9 pagi ini ia sudah memiliki jadwal untuk ke salon. Khatrine merapikan helaian rambutnya lalu keluar dari kamar mandi. Ia berjalan keluar kamar, hendak menuju ke dapur. Tapi langkahnya terhenti saat melihat seseorang tidur di sofa ruang tamunya. Khatrine pun mendekat, sedikit kesal melihat Raveno tertidur di sana, padahal ia sudah berkali-kali menyuruh pria itu untuk tidur di kamar saja. "Rav, bangun." Khatrine mengguncang pelan bahu Raveno. Perlahan mata Raveno terbuka, pria itu lun segera duduk dan memandang Khatrine dengan mata menyipit. "Kau sudah bangun? Sejak kapan?" "Baru saja. Kenapa kau tidur disini?!" Bibir Khatrine mengerucut kesal. "Aku ketiduran." "Ini bukan kali pertama, kau sudah sering tertidur di sofa." "Apa kita akan berdebat tentang masalah ini lagi?" Tanya Raveno lelah. Ia sedang tidak ingin berdebat, karena tubuhnya sudah sangat lelah. "Sudahlah! Susah berbicara padamu!" Khatrine hendak kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur, tapi Raveno menahan tangannya. "Tunggu dulu, aku belum selesai bicara." "Apa lagi?" Raveno menyuruh Khatrine untuk kembali duduk disebelahnya. Pria itu kemudian mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang dari dalam saku jasnya dan menyodorkannya pada Khatrine. "Apa ini?" "Buka saja." Suruh Raveno. Khatrine akhirnya menerima kotak itu, ia menatap wajah Raveno sejenak lalu mulai membuka kotak pemberian Raveno. Ternyata isinya adalah sebuah jepitan rambut yang terbuat dari cangkang kerang dan dihiasi dengan beberapa mutiara dan juga berlian yang dibentuk layaknya bintang laut. "Rav...ini cantik sekali." "Kau suka?" Khatrine mengangguk cepat. "Aku sangat suka. Terima kasih, Rav." "Sama-sama." Raveno merasa lega karena Khatrine menyukai hadiah yang ia bawa. Padahal sebelumnya ia merasa Khatrine tidak akan menyukainya, mengingat gaya hidup mewah wanita itu yang membuat Raveno sempat merasa ragu untuk membelikan hadiah itu. "Oh ya, kau mau sarapan apa? Biar aku yang masak." Tanya Raveno sambil berjalan ke dapur. "Apa saja. Asal jangan daging, Bertha bisa mengamuk jika tahu." Ucap Khatrine. Ia kembali menatap jepit rambut pemberian Raveno, mengusapnya perlahan lalu memasukannya kembali ke kotak karena takut benda itu rusak. Khatrine kemudian segera menyusul Raveno yang sudah lebih dulu ke dapur. Pria itu tengah sibuk memotong sesuatu, dengan posisi membelakangi Khatrine. "Kau masak apa?" "Rahasia." Khatrine berdecak. "Jangan merusak hari dengan rahasia, Rav! Aku tidak suka rahasia." Tubuh Raveno menegang saat Khatrine berbicara seperti itu. Perlahan ia berbalik, memandang Khatrine yang saat ini mengerucutkan bibirnya kesal. "Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin memberi kejutan." "Kau terlalu banyak memberikan kejutan." Khatrine memainkan sendok di depannya, memutar-mutarnya perlahan sambil memikirkan tentang mimpi itu lagi. "Dan aku tidak suka itu." "Kau tidak suka hadiah yang aku berikan?" Khatrine menggeleng. "Bukan tidak suka hadiahnya. Aku hanya tidak suka kejutan." "Kenapa?" "Hanya tidak suka," Khatrine menghela nafas pelan, lalu memaksakan senyuman untuk Raveno. "Sudah lanjutkan memasaknya. Aku mandi dulu." Raveno mengangguk. "Jangan lama-lama." "Iya." Khatrine segera berbalik masuk ke kamarnya dan bernafas lega setelah mengunci pintu kamar. ••• Selesai mandi, dengan rambut tergulung handuk dan wajah cantik tanpa riasan, Khatrine pun kembali keluar dari kamar. Perutnya yang lapar langsung berbunyi saat mencium aroma masakan dari dapur. Ia pun mempercepat langkah, terpana saat melihat banyaknya makanan yang ada di atas meja makannya. "Ya ampun! Banyak sekali. Siapa yang akan menghabiskannya?" Khatrine menduduki kursi yang baru saja ditarik Raveno untuknya, lalu menatap pria itu yang duduk diseberangnya sambil tersenyum. "Jika Bertha tahu tentang ini, dia pasti akan menceramahiku habis-habisan." Raveno memutar matanya malas. "Kau tidak perlu menghabiskan semuanya, cukup ambil yang kau mau saja. Sisanya biar aku yang menghabiskannya." Khatrine menaikan satu alisnya. "Memangnya kau sanggup?" "Tentu saja." "Ya kita lihat saja," ucap Khatrine lalu mulai memilih apa yang akan ia makan terlebih dahulu, dan pilihannya jatuh pada croissant. Ia mengambil satu croissant lalu memakanya. Raveno pun ikut memakan croissant bagiannya, lalu terkekeh geli saat melihat Khatrine menikmati makanannya. "Kau suka?" "Iya. Kapan kau membelinya?" "Tadi, saat kau masih tidur." "Oh iya. Semalam kau datang jam berapa? Kenapa tidak membangunkanku?" "Semalam aku—" Ponsel Raveno yang terletak disamping piring pria itu mendadak berbunyi. Khatrine sempat melirik ke arah layar ponsel Raveno, dan langsung menghela nafas panjang saat melihat siapa yang menelpon. Ia meletakan kembali croissant miliknya di piring, nafsu makan Khatrine mendadak hilang. Ia lantas menyenderkan punggungnya dengan tangan bersedekap, sementara kedua matanya memandang Raveno yang masih diam memandangi ponsel itu. "Jawab saja! Aku tidak pernah melarangmu menjawabnya." Dengan ragu, Raveno lantas segera menjawab panggilan yang masuk sambil sesekali melirik Khatrine yang tengah memainkan croissant. "Ada apa, Bri?" "...." "Sekarang?" Ia melirik lagi pada Khatrine, lalu fokus kembali ke penelpon. "...." "Oke, aku segera kesana." Dan panggilan pun berakhir. Raveno meletakkan ponselnya di samping piring secara perlahan lalu menatap Khatrine menyesal. Sementara Khatrine hanya bisa tersenyum miris di buatnya. "Dia menyuruhmu pulang ya?" Anggukan kepala Raveno membuat Khatrine menghela nafasnya. "Pergilah." "Maaf, Khat. Aku berjanji akan kembali ke sini nanti." Ucapnya. Dan Khatrine melihat sebuah keraguan dimata itu. "Jangan berjanji jika kau saja tidak yakin bisa menepatinya." Raveno diam saja. Ia perlahan beranjak, mengambil jas, kunci mobil dan juga ponselnya. "Aku...pergi dulu." "Hati-hati." ucapnya sambil merapikan kerah baju Raveno. Raveno tersenyum. "Tentu." Ia mengecup kening Khatrine dan beranjak pergi. Khatrine hanya menatap punggung Raveno yang menghilang di balik pintu. Lalu menghela nafas dan mulai merapikan meja makan. Tatapannya kemudian jatuh pada sarapan yang masih tersisa sangat banyak. Pria itu bahkan tidak menepati ucapannya untuk menghabiskan semua sarapan. Dengan cepat Khatrine pun langsung membereskan semuanya. Ia menyimpan lagi semua makanan itu, lalu mencuci beberapa piring kotor. Setidaknya hal itu bisa membuatnya melupakan Raveno sebentar saja. ••• Siang harinya, saat Khatrine sedang bersantai di sofa ruang tamu, ponselnya tiba-tiba berbunyi, menampilkan nama Raveno disana. Tanpa semangat sedikit pun, Khatrine menjawab panggilan dari Raveno. Suara berisik dari ujung sana langsung menyambutnya begitu panggilan tersambung. "Halo, Rav? Apa apa?" "Khat, maaf aku belum bisa kembali ke sana. Mungkin nanti—" "Tak apa. Aku mengerti." Ucap Khatrine berusaha menahan sakit di hatinya. Ia sudah menduga jika akan seperti itu jadinya. Makanya ia tidak menyuruh pria itu untuk berjanji. "Baiklah. Terima kasih sudah mau mengerti, Khat." "Hm. Semoga harimu menyenangkan." "Iya. Kau juga, Khat." "Hm." Dan panggilan pun terputus. Khatrine kemudian menurunkan ponselnya dan melihat sebuah pesan yang belum terbaca. Pesan itu dari Thomas, pria yang menjadi temannya sejak sekolah dulu. Thomas : Hei..kau sibuk? Jika tidak aku ingin mengajakmu keluar. Jari Khatrine bergerak mengetikan balasan untuk Thomas. Khatrine : Aku tidak sibuk hari ini. Kau bisa menjemputku di apartemen. Send. Tak lama balasan dari Thomas datang. Thomas : Oke. Kau bersiaplah. Aku akan menjemputmu. Khatrine : Oke. Khatrine langsung beranjak ke kamar, mencari pakaian yang akan ia gunakan bersama Thomas. Yah...setidaknya Khatrine tidak akan terlihat menyedihkan berada di apartmen sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD