Chapter Two

1448 Words
Dengan langkah cepat namun tetap anggun, Khatrine berjalan keluar dari kantor Dimitri sambil merapikan kacamata hitam yang bertengger manis dihidungnya. Bersama lipstick merah menyala, dan juga rambut yang ia biarkan terurai acak-acakan, Khatrine semakin percaya diri ketika beberapa pria menoleh dua kali untuk menatapnya. Tapi Khatrine memeilih untuk mengabaikannya dan terus melangkah. Beberapa orang diluar sana mungkin mengenalnya sebagai model papan atas yang tengah bersinar dipuncaknya. Tapi jika dikantor Dimitri, ia akan dikenal sebagai tunangan Dimitri—sang direktur mapan dan berwajah rupawan yang menjadi pujaan banyak wanita di luar sana. Ugh! Sebenarnya Khatrine agak risih jika disebut seperti itu. Apa lagi ketika melihat beberapa dari pegawai Dimitri membungkukan tubuh padanya. Ya ampun! Mau tidak mau Khatrine hanya balas tersenyum agar membuat citranya baik-baik saja di depan para pegawai Dimitri. Berjalan cepat menuju parkiran, tiba-tiba saja seseorang menabrak bahu Khatrine, membuat dompet dan kunci mobilnya terjatuh. Khatrine pun berbalik, menatap tak suka pada pria yang tengah mengambilkan dompet dan kunci mobilnya itu. "Apa kau tidak punya mata?" "Maaf, Nona. Saya buru-buru." Pria itu meminta maaf. Ia kemudian menegakkan tubuhnya, membuat Khatrine langsung kehilangan kata-kata saat melihat pria itu. OMG! He so fu*cking hot! Batin Khatrine berteriak! "Sekali lagi maafkan saya," Ucap pria ini memberikan dompet dan kunci mobil Khatrine tadi, juga menyadarkannya dari keterdiamannya. Khatrine pun langsung mengganti eskpresi wajahnya jadi datar. "La-lain kali gunakan matamu jika berjalan." Ucapnya gugup. Si*al! Kenapa ia malah merasa gugup seperti ini, belum lagi jantungnya yang berdegup kencang. But, wait! Khatrine kembali menatap wajah pria itu. Ia mengernyit karena merasa tak asing dengan wajah itu. Rasanya ia pernah melihat pria itu, tapi ia lupa dimana. Tapi ketika pria itu tersenyum tipis, Khatrine langsung membelakan matanya saat ingat siapa dia. Double sh*it! Dia Raveno, salah satu rival Dimitri di dunia bisnis. Orang yang akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia mau. "Kau...bukankah kau Raveno?" Raveno tersenyum tipis. "Oh? Kau mengenalku?" "Untuk apa kau ke sini?" Tanya Khatrine dengan dagu terangkat sambil menunjukkan sikap tidak sukanya secara terang-terangan. Raveno mengerdikan bahunya. "Hanya lewat." "Tidak mungkin jika kau hanya kebetulan lewat." "Oke, baiklah. Aku aku baru saja menemui Dimitri." "Untuk apa menemuinya?" "Dan untuk apa juga aku memberitahumu?" Raveno tersenyum mengejek, hal yang justru membuat ketampanannya bertambah. Sia*lan! "Kau tidak tahu siapa aku?" Khatrine mencoba membiasakan dirinya. "Memang kau siapa?" "Aku tunangan Dimitri, jadi aku berhak tahu alasanmu menemuinya." "Tunangan? Aku baru tahu jika Dimitri memiliki seorang tunangan? Dia tak pernah mengenalkanmu pada rekan bisnisnya." Raveno mengangkat satu alisnya, membuat Khatrine sedikit kesal dengan senyum itu. "Terserah kau mau percaya atau tidak tapi yang jelas, aku adalah tunangan Dimitri." ucap Khatrine sebelum berbalik pergi dari sana. Ting...tong... Suara bel apartmen itu menyadarkan Khatrine dari lamunannya. Ia menghela nafas sebelum bangkit dari duduk untuk melihat tamu yang ia yakini adalah Thomas. Dan ternyata benar. "Hai." Sapa Khatrine riang pada Thomas yang sudah berada di depan pintu apartemen. Thomas tersenyum, tanpa meminta izin dia langsung masuk ke dalam apartemen dan mengambil minum di kulkas. "Kau sudah siap?" tanyanya setelah meletakan gelas bekas minumnya. Khatrine memutar mata. "Kau tidak melihat penampilanku? Tentu saja aku sudah siap!" Thomas terkekeh geli, berjalan mendekat dan merangkul leher Khatrine pelan. "Baiklah, kalau begitu kita langsung pergi saja." "Berhenti melakukan itu." Khatrine menjauhkan tangan Thomas yang sebelumnya merangkul lehernya. "Kau membuatku terlihat pendek." "Astaga! Kau memang pendek, Khat." Thomas tertawa pelan. Lalu tanpa rasa bersalah ia kembali merangkul leher Khatrine dan membawa wanita itu keluar apartemen. ••• Saat berada di perjalan—yang Khatrine tidak tahu dimana, Thomas tiba-tiba saja menghetikan mobilnya di sebuah restoran. "Kenapa berhenti di sini?" Pria itu langsung turun dari mobil tanpa menjawab, mau tak mau Khatrine pun ikut turun. Ia pun berdecak kesal. "Thomas! Jawab aku." Thomas terkekeh, ia mengacak pelan rambut Khatrine lantaran gemas dengan wanita itu. "Aku lapar, Khat. Kita makan dulu. Kau tidak keberatan 'kan?" "Tidak masalah. Aku juga sedikit lapar." Khatrine ingat, dia tidak makan apa pun lagi setelah Raveno pulang. Rasanya Khatrine kehilangan nafsu makannya. "Ayo." Thomas mengajak Khatrine untuk masuk. Wanita itu menurut, mengikuti langkah Thomas sambil membenarkan topi yang ia pakai. Untuk hari ini Khatrine sedang tidak ingin seseorang mengenalinya, karena ia ingin menikmati harinya. Ia bahkan langsung menunduk saat berpapasan dengan pelayan restoran itu. "Eh? Kita mau kemana?! Kenapa tidak makan di sini saja?" Khatrine terlihat bingung saat Thomas hanya melewati beberapa meja kosong dan memilih masuk ke bagian dalam restoran. "Hei, Thomas!" Mendengar panggilan Khatrine, Thomas pun menghentikan langkah dan berbalik ke arah Khatrine. Ia lantas menaikan satu alisnya dengan kedua tangan tenggelam disaku. "Siapa bilang kita akan makan di sini?" "Lalu kita akan makan dimana?" Tanpa menjawab pertanyaan Khatrine, Thomas mengamit lengan Khatrine dan mengajaknya menaiki lift. "Kenapa kita ke atas?" Thomas menoleh. "Apa kau akan terus bertanya jika aku tak menjawab?" Khatrine mencebikan bibir. Setiap kali ia bertanya, Thomas pasti akan menjawab seperti itu. Dan Khatrine tahu apa artinya itu. Dalam kata lain pria itu mengatakan Khatrine cerewet. "Terserah! Aku tidak akan bertanya lagi." Tak berselang lama, pintu lift pun terbuka. Khatrine melangkah keluar lebih dulu untuk mengagumi keindahan di hadapannya sekarang ini. Pemandangan di depannya ini benar-benar membuat Khatrine takjub saat melihatnya.Ia melangkah mendekati sebuah meja yang sudah ditata dengan rapi, juga dihiasi dengan lilin dan bunga. Di sana juga sudah disediakan makanan dan minuman untuk dua orang. Tapi yang paling membuat Khatrine kagum adalah tempatnya, tempat ini berada di rooftop, sehingga menampilkan sebuah pemandangan kota New York dari atas sini. Tanpa sadar kaki Khatrine melangkah mendekati pinggiran rooftop, mengamati jalanan padat yang berada di bawahnya. Bibir Khatrine mengulas senyuman tipis lalu berbalik saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Itu Thomas, pria itu ikut berdiri di sebelahnya lalu menanyakan pertanyaan yang menurut Khatrine terdengar bodoh. "Kau suka?" Khatrine mengangguk antusias. Mana mungkin ia tidak menyukai tempat seindah dan setenang ini, angin yang berhembus bahkan mampu membuat Khatrine betah berlama-lama di sini. "Kau tahu darimana tempat ini? Aku bahkan tidak tahu ada tempat sebagus ini." Thomas menyenderkan punggungnya pada pinggiran rooftop, sementara kedua matanya menatap Khatrine. "Restoran ini milikku." "Restoran ini milikmu?" Khatrine mengerjap pelan, dan Thomas mengangguk santai. "Kenapa kau tidak bilang dari awal jika ini milikmu?" "Salahmu yang tidak bertanya." Benar juga. Khatrine yang tidak bertanya pada Thomas. "Lalu kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke sini?" Thomas tersenyum tipis. Dengan pandangan lurus ke depan, ia pun menjawab. "Aku hanya ingin menyombongkan restoran indahku padamu." Ia menoleh dan mengedipkan sebelah matanya. "Dan aku puas dengan reaksimu." Khatrine tersenyum miring sambil memutar mataku malas. "C’mon. Sebenarnya restoran ini tidak begitu indah." Thomas tertawa pelan. "Ya ya terserahlah." Ia kemudian mengamit tangan Khatrine, membawa wanita itu untuk duduk di kursi yang telah di siapkannya. "Lebih baik kita makan, baru setelah itu aku akan mengajakmu pergi." Khatrine hanya mendengus pelan, tapi ia juga tidak menolak saat Thomas mengiris daging sapi miliknya agar mudah dimakan. ••• Selesai makan dan juga mendengar Thomas menyombongkan restorannya, mereka berdua kemudian lanjut menaiki mobil untuk menuju tujuan utama mereka. Thomas tadi sempat bilang, jika dia memiliki villa di pinggir pantai. Pria itu bahkan mengatakan jika Villa miliknya itu menghadap langsung ke arah pantai, membuat Khatrine semakin tak sabar untuk segera sampai. Berkali-kali ia bertanya pada Thomas, berapa lama lagi mereka sampai. Hal itu membuat Thomas sedikit kesal karena sifat tidak sabaran Khatrine itu. Padahal Thomas sudah berusaha menyetir agar cepat sampai. Untungnya setelah itu Khatrine tak lagi bertanya saat mobil berhenti di depan Villa. Thomas lalu turun dari mobil, membukakan pintu untuk Khatrine dan mengajak wanita itu untuk masuk ke dalam Villa. Diam-diam Thomas mencoba menunggu reaksi Khatrine. Dan ia tersenyum saat Khatrine memasang ekspresi kagumnya lagi. "Bagaimana? Indahkan?" "Kali ini aku akui Villa ini memang indah," Ia kemudian menoleh lalu memukul pelan bahu Thomas. "Tapi kenapa kau baru mengajakku sekarang?!" Sungutnya kesal. Si*al! Coba dari dulu Thomas mengajaknya kesini, pasti Khatrine tidak akan merasa sendiri berada di apartemen. Thomas terkekeh. "Maaf, aku baru sempat mengajakmu sekarang. Aku baru punya waktu untuk ke sini," Ia mengamit lengan Khatrine. "Ayo aku tunjukan sesuatu." Lalu membimbing Khatrine memasuki bagian dalam Villa dan Khatrine hanya mengikutinya. Thomas membuka sebuah pintu kaca yang tertutup dengan tirai berwarna putih. Aroma laut langsung tercium oleh Khatrine begitu pintu terbuka, ia lantas berteriak tertahan lantaran terlalu senang bisa kembali melihat pantai setelah 2 bulan sibuk dengan jadwalnya. Untuk sejenak Khatrine sempat terdiam untuk menikmati pemandangan laut yang luas di depannya ini, air laut berkilauan saat sinar matahari menerpanya, membuat pemandangan itu semakin menakjubkan. "Indah sekali," gumam Khatrine pelan. "Tentu saja indah, karena ini Villaku." Jawab Thomas menyebalkan. Khatrine pun menoleh dan mencibir pada Thomas. Well, kali ini dia benar. Villa ini memang benar-benar indah, jadi tidak ada salahnya bagi Khatrine untuk jujur. Toh harusnya ia berterima kasih pada Thomas karena sudah diajak kesini. Khatrine lantas menghela nafas panjang lalu tersenyum pada Thomas. "Villamu memang indah.Terima kasih sudah mau membawaku ke sini. Thomas mengerdikan bahunya. "Ini belum seberapa. Lain kali aku akan mengajakmu ke tempat yang lebih indah." Khatrine tertawa mendengarnya. Ya, lain kali ia akan menagih ucapannya Thomas itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD