Prolog

662 Words
Tubuh gadis itu gemetar saat mendengar suster memintanya memasuki ruang ICU. Dia masuk dengan langkah lemah, berusaha menahan diri untuk tidak ambruk saat mendapati orang yang sangat dicintainya terbaring tak berdaya. Air mata jatuh kesekian kali saat melihat kondisi pasien yang tidak lain adalah kakak sekaligus satu-satunya anggota keluarga yang gadis itu miliki. Dengan semua alat medis yang kini menempel di tubuh—dia tersenyum pedih, memberikan isyarat mata agar gadis yang menangisinya mendekat. Nisa—nama pasien itu—menggerakan mulutnya yang tertutup alat bantu pernapasan, menahan perih atas semua luka di sekujur tubuhnya yang seolah menusuk seluruh sendi. Jemarinya gemetar menggapai pipi sang adik untuk menghapus air mata gads itu yang terus mengalir. Suaranya lirih, menggumamkan kalimat permintaan maaf itu berkali-kali, “maaf. Maafin Kakak, Lana...” bergetar menembus pendengaran sang adik yang kini berlutut di samping ranjang. Jemari Nisa menyentuh wajah itu, menyalurkan dingin yang menembus hati Lana perlahan lantas seketika membeku. Lana menggenggam jemari Nisa yang masih menyentuh pipinya lembut. Menatap wajah pucat wanita itu dengan tatapan cemas diselimuti air mata yang tidak lagi terbendung. Serpihan-serpihan hatinya yang hancur ketika untuk pertama kali mendengar kecelakaan na’as yang menimpa sang kakak kini semakin melebur. Luka di sekujur tubuh Nisa tidak bisa dikatakan ringan, terlebih dengan semua alat bantu medis itu, semua cukup untuk menghancurkaan hatinya seketika. “Maaf, Kakak nggak bisa—” kalimat itu tersendat, sulit untuk mengeluarkan suara disaat rasanya ada ribuan jarum yang menghujam paru-parunya ketika dia memutuskan bicara. Tangis Lana makin menjadi, dia genggam jemari Nisa erat, yang semakin terasa dingin di kulitnya. Kemungkinan terburuk yang seolah Nisa isyaratkan memukul telak kepalanya yang terasa akan pecah. Hingga tanpa gadis itu sadari—sedari tadi, bahkan sebelum kehadirannya di ruang ICU itu, sudah ada seseorang yang lebih dulu mengunjungi kakaknya. Orang yang dengan ekspresi datar tak menunjukan reaksi apa-apa ketika melihat Nisa sekarat di depan matanya. "Tom, kamu tahu? Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.”          Pria itu bergeming. Mengontrol dirinya agar tidak goyah hanya karena satu kalimat yang tidak lagi terdengar menyenangkan di telinganya.  "Aku mau kamu jagain Lana, Tom. Aku minta kamu janji sama aku untuk jaga Lana, jadikan Lana bagian dari keluargamu—jaga dia sebagai bagian dari hidupmu, sebagaimana kamu berharap aku mengisi posisi itu.” Setiap kata yang meluncur dari bibir wanita itu terasa menyakitkan, sialnya pria di hadapannya tidak bisa bereaksi apa-apa untuk permintaan yang tidak masuk akal itu. Terlebih setelah apa yang terjadi pada mereka, setelah apa yang mereka lewati bertahun-tahun belakangan. “Janji sama aku bahwa kamu akan melakukannya, Tommy.” Nisa memohon, dengan bulir air mata yang untuk pertama kalinya jatuh sejak dirinya dibawa ke ruang ICU. Nisa bisa menahan semua rasa sakit yang diterima tubuhnya saat itu, tapi ketika mengingat bagaimana nasib sang adik jika dia tidak bisa lagi berada di sisinya, pertahanan Nisa runtuh. Kepergian orang tua mereka sudah mengukir sebuah luka yang membekas di hati Lana, dan jika hal serupa terjadi lagi, Nisa tidak bisa membayangkan bagaimana Lana bisa kembali menjalani harinya. Jika lima tahun lalu saja gadis itu butuh waktu untuk memulihkan diri menjalani harinya seperti biasa, bagaimana kali ini? “Berjanjilah kalian akan bahagia. Berjanjilah kamu akan mencintainya, sebagaimana seharusnya itu terjadi.” Kalimat yang sebenarnya memiliki arti mendalam itu akhirnya hanya menguap di dalam genggaman tangan Tommy yang terkepal erat. Pria yang untuk sepuluh menit terlewat hanya mematung di tepatnya dengan tatapan penuh amarah itu akhirnya memutuskan keluar dari ruangan ICU tanpa mengatakan apa-apa. Menyembunyikan sepasang matanya yang sudah berkaca-kaca di atas keangkuhan yang ia ciptakan sendiri. Pria itu bersembunyi di balik punggungnya sendiri, bahkan ketika Lana berlari dengan tangis memasuki tempat di mana Nisa berada. Di balik pintu itu, Tommy masih bisa mendengar bagaimana Lana berteriak memanggil dokter dan perawat yang kemudian menyerbu masuk. Di balik pintu ruangan itu Tommy masih bisa mendengar bagaimana suara alat yang terpasang di tubuh Nisa berdenging panjang disertai teriakan tak percaya dan tangis yang pecah dari adik wanita yang dicintainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD