1. Melukai dan Dilukai

1924 Words
Perputaran waktu terasa berjalan begitu cepat. Masih hangat dibenak Lana semua peristiwa yang ia alami bersama sang Kakak di rumah mungil itu. Semuanya terasa baru seperti kemarin terjadi, hingga aura pekat Nisa di setiap sudut ruangan itu masih jelas terasa. Dan jujur saja, sedikit banyak itu membuat luka di hati Lana enggan pergi. Karena nyatanya, kehilangan tetap momok terburuk yang tidak pernah bisa membuatnya tenang dengan segera. Hari itu sudah masuk minggu kedua sejak Nisa pergi. Minggu kedua sejak Lana harus tinggal di rumah mungil itu seorang diri. Dan berada di sana dengan bayang-bayang Nisa yang masih penuh memenuhi setiap sudut tempat itu bukan perkara mudah. Maka dari itu Lana memutuskan untuk pergi. Ia merasa perlu mencari suasana baru yang bisa menetralisir duka di hatinya. Meninggalkan sejenak rumah mungil dengan bayang-bayang Nisa di dalamnya. Rumah mungil yang gadis itu tinggali bersama Nisa semenjak orang tua mereka meninggal, rumah munggil yang kini harus Lana tinggali seorang diri. Lana menghela napas setiap kali pikiran tentang Nisa mampir di benaknya. Alasan itu pula yang membuat Rika berinisiatif mengajak gadis itu untuk menghabiskan liburan semester kuliah mereka di rumah orang tua Rika di Bandung. Rika merasa Lana butuh pergi, melarikan diri atau apalah orang menyebutnya. Rika tahu Lana membutuhkan hal itu meski hanya sebentar. Baru saja Lana mengunci pintu rumah dan berbalik dengan ransel yang sudah menempel di punggung, seseorang dengan jas rapih dan berkacamata menghentikan langkahnya. Pria itu tersenyum ramah. “Mbak Alana?” Lana mengangguk, masih tidak membuka suara. “Saya Alfa asisten Pak Tommy. Pak Tommy meminta saya menjemput Mbak Lana untuk bertemu dengannya.” Tommy? Lana mengernyit. Untuk apa pria itu mencarinya? Bukankah dia bahkan tidak datang saat acara pemakaman kakaknya? Hal yang masih membuat Lana tidak mengerti hingga hari ini. Untuk ukuran sahabat baik yang sudah bersama Nisa bertahun-tahun, apa begitu cara dia memperlakukan sahabatnya yang telah tutup usia? Pertanyaan-pertanyaan itu datang dan pergi saat Lana berada di mobil yang dikendarai Alfa. Mereka sudah dalam perjalanan menuju kantor Tommy untuk memenuhi panggilan pria itu. Bahkan sampai saat Lana menginjakan kaki di depan ruangan Tommy pikirannya masih berkelana ke mana-mana. Suara ketukan Alfa pada pintu ruangan Tommy-lah yang akhirnya membuyarkan semua lamunan panjangnya. “Masuk.” Alfa memutar knop pintu dan mempersilakan Lana masuk. Sementara dirinya menunggu di luar. Begitu masuk, sosok laki-laki berbadan tegap atletis dengan tinggi 185 cm berdiri memunggungi Lana dari belakang meja kerjanya. Ya, itu Tommy. Pria yang sangat kakaknya cintai meski status mereka selama ini adalah sahabat. Pria yang sudah ia kenal sejak dirinya masih berada di sekolah menengah atas. Pria yang—ah, Lana tidak ingin mengingat hal itu lagi. Sosok itu berbalik, menatap Lana tak acuh lantas melemparkan sesuatu ke atas meja kerjanya. Sebuah benda pipih persegi panjang berwarna putih yang entah apa. Kehadiran benda itu sekaligus memancing tatapan tanya yang muncul di wajah Lana, sayangnya pria itu tidak mengatakan apa pun, memastikan Lana untuk menemukan jawabannya sendiri. Namun gadis itu sengaja tidak beranjak dari tempatnya berdiri, memastikan benar mimik macam apa yang ditunjukan wajah pria itu saat ini. “Apa itu?” Dengusan keluar dari sosok yang kini berhadapan dengannya. Sebenarnya Tommy tidak ingin menjawab pertanyaan gadis itu, hanya saja waktu yang terulur perlahan membuatnya muak untuk berada terlalu lama dengan sosok yang masih melempar tatapan tanya padanya itu. Maka dengan enggan ia menjawab, “undangan. Dua minggu lagi kita menikah.” Ia lantas beranjak dari tempatnya berdiri sejak tadi. Melewati Lana menuju rak buku yang menyimpan puluhan buku di ruangan itu. Kesadaran Lana yang sesaat seolah ditarik saat mendengar penuturan sahabat kakaknya itu perlahan kembali ketika Tommy tengah asik menelusuri jajaran buku-buku di rak itu dengan jemari besarnya. Sepasang mata Lana tidak lepas mengamati, tidak segera bersuara meski kini berpuluh pertanyaan bertubi-tubi mengusik benaknya. “Saya nggak ngerti apa yang kakak maksud—” Gerakan tangan Tommy berhenti dari aktifitasnya menelusuri jejeran buku di rak-rak itu, menentukan pilihan pada salah satu judul di antara puluhan buku yang lain, hingga setelahnya ia memutuskan berbalik dan bersandar masih pada rak buku yang kini ia punggungi. “Jangan pura-pura nggak tahu, wanita itu yang mau kita menikah, jadi kamu ngga perlu acting menjijikan macam itu.” Tatapan Tommy memang tidak mengarah pada Lana, pria itu masih lebih memilih menjatuhkan fokus matanya pada buku yang hanya ia bolak-balik lembar demi lembarannya, tanpa tenggelam lebih jauh pada apa yang seharusnya ia baca itu. Ada dua hal yang saat ini begitu mengusik keingintahuan Lana—di antara puluhan tanda tanya lain yang masih bisa ia kesampingkan, tapi dua hal yang menganggunya saat ini seolah berebut meminta jawaban. Pertama, sosok Tommy yang tiba-tiba kembali setelah beberapa minggu lalu justru seolah hilang di telan bumi—terlebih ketika kabar duka itu seharusnya membuat pria ini menangis meraung meratapi kepergian kakaknya, ia justru tidak ada, tidak menampakan batang hidungnya meski hanya semili. Lantas hari ini tiba-tiba orang ini mengutus asistennya, membawanya untuk berhadapan dengan sosok yang benar-benar berbeda dari apa yang ia kenal sebelumnya. Lalu kedua, udangan pernikahan? Berita pernikahan bahwa dua minggu lagi ia akan menikah dengan Tommy? Jangan bercanda! Bahkan untuk sekedar menertawakan lelucon yang sama sekali tidak lucu ini saja Lana tidak berminat sama sekali. Dan “wanita itu?” siapa yang Tommy maksud dengan wanita itu? Dari caranya menyebut dan ekspresinya ketika menyinggung seseorang yang entah siapa itu, Lana bisa menyimpulkan bahwa Tommy sangat membencinya. “Wanita—” “Kakakmu.” Tommy memotong, tidak memberi Lana kesempatan bertanya. Lagi, pertanyaan lain singgah di kepala Lana yang semakin penuh dengan berbagai asumsi yang masih tidak bisa ia terima. Tommy membenci kakak? “Saya sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Anda maksud.” Lupakan bahwa beberapa tahun lalu Lana sempat menjadi bagian terdekat dalam hidup Tommy, lupakan bahwa beberapa tahun lalu kedekatan mereka hampir membuat beberapa gadis di sekolahnya iri. Setelah memutuskan untuk mengambil jarak yang perlahan makin besar dari tahun ke tahun, Lana bahkan sudah lupa bagaimana caranya bicara dengan nada akrab pada sosok pria itu. Yang ada hanya kecanggungan, dan keengganan untuk berlama-lama di ruangan itu lagi. “Jadi kalau tidak ada lagi yang ingin Anda bicarakan, saya permisi.” Lupakan juga tentang semua rasa penasarannya, berada bersama orang yang bahkan enggan melihatnya membuat Lana sudah tidak lagi tertarik menerima jawaban dari berpuluh pertanyaan yang bersarang di kepala. “Siapa bilang saya sudah selesai?” suara Tommy menghentikan Lana yang sudah memegang knop pintu, membuat gadis itu kembali berbalik menghadapnya. “Jangan membebani saya dengan penolakan menjijikkan kamu. Kamu pikir saya menginginkan pernikahan ini? Kalau bukan karena wanita itu yang memohon dan memintanya, saya juga tidak akan melakukan hal konyol yang mirip drama-drama murahan macam ini.” Lagi, 'wanita itu'. Lana dapat mendengar nada tidak suka—jika tidak ingin menyebutnya dengan kata ’jijik’—saat Tommy menuturkan setiap kata dari bibirnya. Orang ini jelas bukan memang bukan lagi seseorang yang ia kenal baik dulu. Apa jarak yang ia ciptakan begitu mengubahnya? Lana tidak tahu, bertahun-tahun menghindari berinteraksi dengan Tommy benar-benar membuatnya tidak mengenal Tommy yang sekarang. Meski begitu, bukankah selama ini hubungan Tommy dan Kak Nisa baik-baik saja? Bahkan seminggu sebelum kecelakan itu menimpa Nisa, Lana masih melihat pria itu menjemput kakaknya dengan wajah riang. Lantas, mengapa... “Kalau begitu Anda tidak perlu melakukanya. Lagi pula saya tidak mendengar apa-apa dari Kakak, jadi—” Tommy terkekeh dengan ekspresi yang tidak dapat Lana mengerti. Ia meletakan buku yang ada di tangannya kembali ke tempat semula. Kembali menatap Lana setelah urusannya dengan buku itu selesai. Menyandarkan tubuh tegapnya kembali pada rak buku itu, Tommy memasukan kedua tangannya ke saku celana, menatap gadis di hadapannya tajam. “Kalau kamu ingin tahu, seharusnya saya yang lebih berhak berada di posisi menolak dalam hal ini.” Pria itu terkekeh, meski yang terlihat seringaian yang entah mengapa membuat sesuaatu dalam diri Lana merasa sakit tanpa alasan yang jelas. “Seenaknya menolak, seenaknya memutuskan, seenaknya meninggalkan saya dengan permintaan konyol macam ini. Dia pikir dia siapa.” Untuk pertama kalinya Lana melihat pria di hadapannya tunduk, meluruhkan kesan angkuh yang sejak tadi ia sandang. Tapi di antara jeda yang diambil, Lana juga melihat urat-urat di leher Tommy mengeras, seolah menunjukan bahwa pria itu kini berusaha menahan emosinya yang siap meledak. “Kalau bukan karena hutang nyawa padanya mungkin saya lebih memilih untuk meganggap tidak pernah kenal kalian. Ini menjijikan,” Tommy mendengus. Kedua tangan Lana terkepal menahan amarah. Entah masalah apa yang sebenarnya menimpa kedua sahabat itu sebelum kecelakaan yang menimpa Nisa, hingga Lana harus terjebak dalam situasi macam ini. Ia hanya ingin menyelenyapkan sedkit dukanya setelah kehilangan, ia hanya ingin mengistirahatkan hatinya untuk sejenak melarikan diri, tapi kenapa ia justru harus berada di sini, mendengar setiap perkataan Tommy yang ia tidak mengerti sama sekali. Dirasa tidak ada yang perlu ia katakan, apalagi menanggapi ujaran kebencian yang entah dimaksudkan Tommy untuk apa, Lana kembali berniat segera melarikan diri dari sana, toh ia sudah mengutarakan bahwa Tommy tidak perlu melakukan sesuatu yang memang tidak ia kehendaki. Tentang rencana pernikahan? Lupakan! Apa pun itu Lana merasa tidak perlu melakukannya, terlebih pada seseorang yang jelas-jelas kini menatapnya penuh kebencian. “Kamu tahu apa yang terjadi pada kami sebelum kematiannya?” ucapan Tommy sontak menghentikan pergerakan Lana yang hampir meraih knop pintu untuk kedua kalinya, namun kali ini gadis itu tidak segera berbalik seperti sebelumnya. “Dia menolak lamaran itu, mengatakan bahwa ada pria lain yang dia cintai, lalu dengan tidak tahu malunya merancau tidak jelas tentang kamu yang mencintai saya.” Genggaman Lana pada knop pintu mengeras. Bukan tentang Nisa yang menolak lamaran pria di belakangnya itu, atau prihal laki-laki lain yang mungkin saja benar-benar ada dan kakaknya cintai. Tapi pada satu kalimat yang kembali mengungit perasaannya, perasaan yang sudah dikuburnya bertahun-tahun lalu. “Jadi jangan gunakan alasan murahan seperti yang—” Cukup! Lana tidak tahu kapan tubuhnya berbalik bahkan berjalan ke arah Tommy hingga mendaratkan tamparan di wajah pria itu. Telapak tangannya panas, sepasang matanya sudah tidak dapat menatap wajah pria di hadapannya dengan jelas disebabkan oleh air mata yang kini menggenang di pelupuk mata, hanya tinggal menunggu waktu untuk jatuh. Ia udah cukup mendengar semua hinaan yang Tommy arahkan pada kakaknya. Jadi cukup, dan hentikan percakapan ini. Detik berlalu diselimuti hening. Hanya deru napas Lana yang memburu dan suara tanparan gadis itu yang seolah menyisakan gaungan di telinga Tommy. Lantas setelah merasa benar-benar tidak ada yang harus ia perbuat lagi di tempat itu, tanpa kata Lana berbalik dengan air mata yang jatuh tepat setelah ia memutar tubuhnya memunggungi Tommy. Ia hapus jejak air mata yang membasahi pipinya kasar, meski jejak yang lain kembali muncul disusul bulir-bulir lain yang terus turun. Kali ini Lana benar-benar meninggalkan ruangan itu, membanting keras pintu ruangan Tommy hingga para pegawai memperhatikan kepergiannya dengan penuh tanda tanya. Tapi ia tidak peduli, yang Lana rasakan saat ini hanya sakit, serta kecewa pada pria yang beberapa menit lalu masih berusaha ia hargai. Lana keluar dari kantor Tommy tanpa mendengar Alfa terus memanggilnya. Gadis itu segera menghentikan taksi yang melintas dan pergi sejauh mungkin dari sana. Tangisnya masih deras, membuat supir taksi yang Lana tumpangi bertanya-tanya apa gerangan yang membuat gadis itu menangis begitu pilu. Meski begitu tak diganggunya Lana, supir taksi itu hanya mengangguk ketika Lana menyebutkan tujuannya. Di tempat lain, sepeninggal Lana dari kantornya, Tommy masih bergeming. Pipinya yang memerah terasa panas, tak jauh beda dengan hatinya. Ia benci melakukan ini, sangat benci pada wanita yang membuatnya jadi seperti ini. Sayangnya, sebenci apa pun pria itu, jauh di lubuk hatinya masih menyimpan nama wanita itu lekat. Kejadian hari itu, beberapa jam sebelum kepergian Nisa adalah satu-satunya alasan yang membuatnya melakukan hal buruk pada orang yang tidak seharusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD