1. Kapan Peka?

1217 Words
1.  Kapan Peka? Suasana kelas XII IPS 4 sedang sangat tentram dan aman. Bukan tanpa alasan, pasalnya, kelas yang selalu rusuh dan selalu menjadi topik guru-guru di kantor itu tengah melaksanakan ulangan. Biasanya, walaupun sedang melaksanakan ulangan, kelas ini tidak pernah sunyi seperti sekarang. Sekarang beda halnya, selain tempur dengan kertas yang berisi deretan pertanyaan, mereka juga tengah dibuat tegang dengan guru yang mengisi kelas ini sekarang. Guru yang selalu bertindak tegas dengan murid yang berbuat salah, guru yang sekaligus memegang kendali ruangan BK. Siapa lagi kalau bukan Bu Indi? Guru bimbingan konseling yang selalu dijuluki singa betina oleh para korbannya. Keadaan yang seperti inilah yang paling tidak disukai oleh Risa. Kertas yang selalu membuatnya pusing itu benar-benar membuat pikirannya beku. Ditambah lagi dengan keberadaan Bu Indi yang juga membuat pergerakan tubuhnya harus beku. Tidak ada yang berani bergerak sedikitpun dalam keadaan seperti ini. Bahkan, untuk napas saja sepertinya harus sangat berhati-hati. Guru yang termasuk dalam kategori guru killer itu tidak akan segan-segan memberikan hukuman kepada siapa saja yang berani berisik dalam ruangan yang sudah dalam kekuasaannya. Bergerak dan terdengar sedikit suara saja, tamatlah riwayat mereka. Selain kena hukuman dan berbagai bentuk ceramahan, Bu Indi juga tidak akan segan-segan untuk melenyapkan kertas ulangan mereka dengan cara merobeknya. Yang lebih parah, mereka tidak bisa ikut susulan atau bahkan remedial pun Bu Indi tidak akan memberikan kesempatannya. Sudah bisa membayangkan wajahnya seperti apa? Sebenarnya Risa sudah tidak tahan dengan keadaan seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi? Ia tidak mau jika harus mendapatkan surat teguran karena nilai ulangan hariannya tidak mencapai batas kecukupan. Risa memejamkan mata seraya menghela napasnya pelan. "Sabar, masih setengah jam lagi," ucapnya dalam hati. -o0o- Setelah menunggu cukup lama, akhirnya bel istirahat terdengar juga. Itu artinya, ulangan telah usai dan Risa sudah terbebas dari ruangan yang rasanya sudah seperti penjara itu. "Baiklah anak-anak, waktunya sudah selesai. Kertas ulangannya bisa kalian kumpulkan sekarang." Perintah dari Bu Indi langsung dilaksanakan oleh semuanya. Setelah semuanya sudah mengumpulkan, Bu Indi beranjak dari duduknya. "Saya harap nilai kalian bagus semua. Kalau ada nilai yang kurang dari batas minimal saya, siap-siap berhadapan dengan saya. Ingat itu!" Semua yang mendengar perkataan itu langsung menciut, tetapi itu tidak berlangsung lama karena setelahnya, Bu Indi langsung meninggalkan kelas. Risa mengembuskan napas lega seraya beranjak dari duduknya. "Huh, gila! b****g gue udah kayak mati rasa." "Iya, nih, pegel banget," sambung Irene yang baru saja menghampiri Risa. "Kalo bukan guru, udah gue ajak duel." Kali ini, Ghea yang berujar kesal. Risa menatap kedua temannya. "Ya, udah, ngantin, yuk!" Setelahnya, Risa langsung berjalan keluar kelas untuk segera menuju kantin, diikuti oleh kedua sahabatnya dari belakang. Setelah sampai di kantin, ketiganya duduk di meja yang ada di paling pojok samping kantin. Posisi seperti itu tentu saja atas kemauan Risa, karena dengan seperti itu ia akan lebih leluasa melihat kekasihnya yang tengah berolahraga di lapangan sana. "Mau pesan apa?" ujar Ghea. Risa berpikir sebentar untuk memilih menu makanan apa yang akan ia pesan kali ini. "Gue nasi goreng sama jus melon aja. Seperti biasa, ayamnya gue minta banyak." Ghea mengangguk kemudian beralih menatap Irene. Seakan mengerti atas tatapan Ghea, Irene langsung menyebutkan apa yang akan dipesannya. "Kalo gue, mie ayam sama jus jeruk aja." Ghea mengangguk, kemudian langsung berjalan untuk segera memesan makanan. Risa menatap Arka yang sedang duduk di tepi lapangan. Sepertinya kekasihnya itu tengah beristirahat. Melihat itu, ia berniat untuk memberikan sebotol minuman kepada Arka, cowok itu pasti tengah kehausan. "Gue ke sana bentar, ya?" ucapnya kepada Irene. Setelah melihat Irene mengangguk, Risa mulai beranjak dari duduknya, kemudian berjalan ke arah warung kantin yang berbeda dengan Ghea. Risa mengambil sebotol air mineral yang ada di lemari pendingin. Setelah membayarnya, cewek itu langsung berjalan untuk menghampiri Arka di lapangan. Setelah sampai, Risa langsung menyodorkan air mineral itu kepada Arka. "Nih." Arka menatap Risa sebentar, kemudian mengambil minumannya. "Makasih." Risa tersenyum. "Sama-sama." Setelahnya, mereka hanya saling terdiam. Arka sudah meneguk minumannya hingga tandas, sedangkan Risa masih berdiri di hadapannya. Risa masih menunggu. Ia berharap semoga Arka memberikan sedikit perhatian kepadanya. Menyuruhnya duduk dan berteduh, misalnya. Matahari semakin terasa panas di kulitnya, tetapi sampai sekarang Arka tak kunjung bicara juga. Bahkan, sepertinya cowok itu tidak menganggap keberadaannya karena sedari tadi ia hanya menatap lurus ke depan saja. "Ayolah, ini panas banget," ucap Risa dalam hati. Arka kembali menoleh menatap Risa, cowok itu mengernyit heran. "Ngapain?" Risa menghela napas gusar. "Ya, ampun, Ar! Suruh duduk, kek, gue pegel kalo berdiri terus. Mana panas lagi." "Ngapain duduk di sini?" Risa merasa bodoh dengan kelakuannya. Sekuat apapun ia berusaha, Arka tetap tidak akan berubah sesuai dengan kemauannya. Ia menatap Arka sinis seraya berdecak kesal. "Nggak tau, pikir aja sendiri." Setelahnya, Risa mulai melangkah pergi. Melihat kepergian Risa, Arka hanya diam saja, tidak berniat untuk menyusulnya. Sudahlah, cewek memang seperti itu, selalu susah ditebak. Arka tidak mau memusingkan kepalanya hanya untuk itu. Arka memang beda. Disaat semua laki-laki berusaha memperbaiki diri supaya diminati para wanita, ia tidak tertarik sama sekali. Meskipun kedua temannya---Vero dan Dion---selalu menyuruhnya untuk mengikuti keinginan Risa, ia selalu menolak dan tetap berpegang teguh pada prinsipnya bahwa tidak ada kata berubah demi seorang cewek. Kalau mencintai, seharusnya cewek itu bisa menerima apa adanya. Lalu, apakah ia sebagai laki-laki tidak mau berusaha? Bahkan, Arka sudah mendapatkan, ia hanya perlu berusaha untuk mempertahankan. Entahlah, semoga saja ada sesuatu yang dapat mengubah cueknya menjadi perhatian. -o0o- Arka dan kedua sahabatnya tengah berjalan menuju parkiran. Dari kejauhan, Dion melihat Risa yang tengah duduk sendirian di halte yang ada di depan sekolah. "Eh, Ar? Risa, tuh," ujar Dion seraya menggerakkan dagunya ke arah Risa. Arka menoleh sebentar. "Iya." "Lo nggak samperin?" "Ngapain?" Dion menggeleng pelan. "Bodoh!" "Ya, lo samperin, lah, ajak pulang bareng, kek. Lo nggak takut dia kenapa-napa? Cuek banget jadi cowok, heran gue." Sama seperti Dion, Vero juga sama kesalnya dengan Arka. Arka memutar bola matanya malas. "Dia lagi nungguin angkot. Lagian, gue yakin dia bisa jaga diri." "Dia masih nunggu, Ar! Lagian, mana ada angkot jam segini." "Dia bisa naik ojek online atau taksi, kan, banyak." Vero menghela napasnya gusar. "Terserah, gue yakin lo bakal nyesel nantinya." Setelahnya, Vero berjalan menuju motornya dan pergi begitu saja. Arka menghela napasnya. "Gue harus gimana?" Dion tersenyum, kemudian menepuk bahu Arka. "Samperin, Bro. Cewek lu banyak yang suka." Dion berjalan menuju motornya dan ikut pergi meninggalkan Arka. Arka menghela napas. Mungkin, ia memang harus menuruti apa kata temannya. Ia berjalan menuju motornya kemudian segera menghampiri Risa. Setelah sampai di hadapan Risa, Arka membuka helmnya. "Kenapa belum pulang?" Risa menoleh. Sedikit senang melihat Arka menghampirinya, tetapi ia lebih mementingkan egonya. "Lagi nungguin angkot," jawabnya sinis. "Emang masih ada angkot yang lewat jam segini?" Risa berpikir, apakah Arka sedang membujuknya? Atau sedang memberi kode untuk pulang bersamanya? "Ya, gue mau naik ojek online aja." "Oh," jawab Arka. Cowok itu kembali memakai helmnya, menyalakan mesin motor kemudian berlalu begitu saja. Nyatanya hal yang Risa harapkan lagi-lagi harus tidak sesuai dengan kenyataan. Lagi-lagi ia harus menerima kenyataan yang entah sampai kapan akan tetap seperti ini. Jujur, ia capek. Capek jika harus berjuang sendirian seperti ini. Tetapi cinta memang mengalahkan segala rasa, meski harus dengan rasa sakit kaitannya. Risa menghela napasnya gusar. "Gue nggak ngerti, benci dan cinta emang beda tipis." Akhirnya, Risa memilih untuk berjalan kaki saja dari pada harus memesan ojek online. Menikmati sore dengan berjalan kaki sepertinya tidak terlalu buruk baginya, apalagi sambil meratapi kenyataan yang menurutnya dari dulu sampai sekarang masih belum ada perubahan. "Kasian, ya, punya pacar kayak gitu. Mendingan buang aja dan cari yang baru." Risa menolehkan kepalanya untuk mengetahui siapa orang yang baru saja berbicara itu. To Be Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD