Galau

1107 Words
            Pernah nggak sih lo menyadari gebleknya dirimu dan pengen rasanya menenggelamkan diri. Merasakan kehampaan dan malu lo bakal hilang? Itu yang pengen dilakukan oleh Jihan saat ini. Teman-temannya sedang asyik berbicara sambil makan sedang dirinya mau menelan rasanya tidak bisa,             “Han, lo makannya dikit banget, biasanya juga hap hap aja,” komentar Tissa yang duduk di sampingnya. Jihan melihat ke depan, dirinya duduk berhadapan dengan Bagas yang masih asyik mengunyah sambil sesekali ikut tertawa.             “Jaim paling,” timpal Ikbal lalu tertawa.             “Heh! Mana ada Jihan jaim, dia mah penyuka makanan. Kalau dia lagi nggak doyan makan berarti ada yang ganggu pikirannya. Bukan karena Nanda tadi yang ngatain lo kan?” tanya Kanaya.             Jihan melebarkan bibirnya serta memperlihatkan gigi kelincinya. Kemudian memutuskan untuk makan secara perlahan. Dari tadi dirinya duduk berhadapan Bagas seperti tidak mau melihat kehadirannya.             “Mang Nanda ngapain?” Dean mulai kepo.             “Biasa, suka cari masalah sama Jihan. Waktu awal semester. Jihan sempet paired with her pas project makalah. Satu dua kali ketemu, mereka bisa ngerjain bareng. Ada dua anggota lain sih waktu itu. Tapi tahu kan Jihan ini gampang banget all out. Saking all out-nya, banyak sumber makalah dia yang nyari, yang ngetik juga dia. Ada satu hari dimana Jihan nggak bisa datang pas meet up berikutnya. Lo tau kan dia juga sibuk banget dirumah?”             “Nggak, gue nggak tau,” jawab Dean, Bagas dan Ikbal lempeng.             “Oh iya, ya gue lupa. Kirain dah pada nyimak pas kita hang out bareng. Nanti itu giliran Tissa yang cerita deh. Trus Jihan nggak bisa datang tuh dah ijin ke mereka, tapi Jihan kebetulan juga nggak bisa datang justru pas mereka harus konsul ke dosen. Bisa dibayangkan nggak? Jihan yag nguasain materi, sedang mereka nggak. Walhasil, nama Jihan mereka coret dari cover makalah. Jahat kan?”             “Ini ngapain malah certain tentang gue,” gerutu Jihan sambil menggaruk rambutnya frustasi. Mata Bagas akhirnya melihat juga ke wajah Jihan. Jihan langsung menegak minumnya merasakan panas di wajahnya.             “Dah lo diem aja! Tugas lo sekarang makan!” ujar Tissa sedikit tertawa.             Jihan mencebikkan bibirnya dan kembali ikut menyimak apa yang Kanaya ceritakan. “Jihan mah nothing to lose ya. Kan dia yang nyari sumber, banyak materi yang dia dapet. Ya dikerjain sendiri sama Jihan. Pas dikumpulin Jihan juga cerita apa adanya ke dosen. Ya nggak apa adanya juga sih, beberapa hal nggak dia certain. Dosen nggak masalah dia ngerjain makalah sendiri karena dia dikeluarkan dari team. Nilai Jihan cukup bagus loh. Dan kelompok Nanda so so gitulah nilainya. Nah sejak saat itu Nanda nggak suka sama Jihan.”             “Rumit ya cewek tuh,” celetuk Ikbal.             “Kok bisa?” tanya ceweknya.             “Ya kalau gue jadi Nanda, pas hari dimana si pintar nggak bisa datang buat ketemu dosennya, reschedule-lah. Dibatalin mendadak kan bisa. Gue tetap bisa ngerjain makalah, nunggu Jihan ada waktu buat ketemu ulang sama dosen kemudian nilai tetep dapat yang bagus hahaha.”             “Eh lo, ya. Otak kriminal mah emang nggak ada lawan,” Bagas akhirnya ikut bersuara juga.             “Make sense juga omongannya Ikbal,” timpal Dean.             Tissa mengambil tissue kemudian membentuknya menjadi bola dan melemparkannya ke Ikbal dan Dean. Mereka berdua langsung menghindar.             “Jadi gimana perasaan sang korban?” tanya Kanaya seperti sedang melakukan wawancara di televisi.             “Biasa aja tuh.”             “See. Dia yang kena bully. Dia yang biasa aja. Kitanya yang sewot.”             Jihan lalu memeluk badan Tissa dari samping dan bermanja di lengan sahabatnya. Disadari atau nggak, memang Tissa dan Kanaya yang selalu ada buat dia. Berusaha menyadarkan Jihan dengan segala kebodohan dan kecerobohan yang dia lakukan.             “Trus terkait kesibukannya dia di rumah?” tanya Dean.             “Stop! Jangan diceritainlah.” Jihan mulai ngambek dan memberikan pandangan berarti ke Tissa dan Kanaya. JIhan paling nggak suka jika urusan pribadinya menjadi bahan pembicaraan. Makanya dia juga jarang terbuka jika ada masalah entah itu di rumah maupun terkait masalah psikis diri. Jihan lebih baik memendam daripada harus menceritakan kepada orang lain meski itu sahabatnya sendiri.             “Oke oke,” ujar Kanaya kemudian melanjutkan menghabiskan makanannya.             “Eh dah jam 6 nih, sudah mendekati waktu budhe gue makan. Gue bungkus dulu ya buat budhe gue. Sekalian gue bayar dulu. Kalian kalau masih mau ngobrol disini nggak papa lanjut aja,” kata Jihan setengah beranjak dari tempat duduknya.             “Salam ya, Han. Buat Bunda,” ujar Tissa menepuk ringan lengan Jihan. Jihan membalas dengan menarik pelan pipi Tissa.             “Kagak mau, berbayar soalnya.”             “Mau gue anter?” tanya Bagas mampu membuat semua yang disitu terdiam. Belum pernah mereka melihat Bagas mengajukan pertanyaan itu baik ke Tissa maupun Jihan saat mereka kumpul. Kanaya dan Ikbal memang baru 5 bulan pacaran tapi mereka kumpul bareng sudah sangat sering. Dan hal ini tentu saja juga disadari oleh Dean dan Ikbal. Ikbal berdeham kecil dan juga pelan kemudian menyeruput es jeruknya.             “Nggak usah, Gas. Rumah gue jarang kedatangan tamu. Kalau ada yang datang nanti dah heboh ngelebihin acara nikahan di kampung. Dan lo pasti nggak selamat kalau cuma mampir beberapa menit buat nganter gue,” tolak Jihan halus.             “Bener, waktu kita ke rumah Jihan, kita harus ngabisin makanan yang di meja makan dan di ruang tamu serta cemilan yang dianter sama Bundanya ke kamar Jihan, baru kita oleh pulang. Makanya kalau kesana dikosongin aja dulu perutnya,” kekeh Tissa.             “Ati-ati di jalan ya,” ucap Kanaya.             “Eh loh, Dean mana?” bingung Ikbal. Cowok itu lalu celingukan dan melihat Dean kembali dari arah kasir.             “Gaes, lo inget kan gue pernah janji mau traktir karena gue menang pas mabar? Dah gue bayarin semua ya. Lo lo pada kalau mau nambah bilang aja.”             “Eh, serius?? Makasih banyak De. Lo habis kesambet setan apaan mau bayarin kita semua?” ujar Tissa bertepuk tangan, senang karena hari ini dia nggak mengeluarkan uang sama sekali untuk jajan.             “Biasa, habis lewat pohon beringin,” balas Dean kemudian duduk kembali ke bangkunya. Jihan terdiam, kemudian salah satu pelayan datang membawa plastik putih dan terlihat bingung mau memberikan ke siapa.             “Kwetiau goreng nggak pedas sama sekali?” tanyanya.             “Saya, mas.” Jihan menerima bungkusan dan memandangnya bingung. Dirinya malah belum bilang kalau mau bungkus kwetiau goreng. Tadinya setelah bayar, Jihan mau nunggu di luar aja sembari menunggu pesanannya dimasak. Jihan melirik ke Dean, ingin bertanya tapi diurungkan. Suasananya pasti kurang nyaman apalagi melihat teman-temannya kini asyik bercanda dan mengucapkan terima kasih ke Dean. “Makasih ya, De, traktirannya. Gue cabut dulu ya,” pamit Jihan kemudian meninggalkan teman-temannya. Keluar dengan galau di hati. Ini tandanya apa ya?             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD