What have you done

1642 Words
            Jihan mendorong pintu serta mengayun-ayunkan plastik belanjaan dengan muka kusut. Belum lagi karena merasa kehilangan hawa sejuk di dalam minimarket. Matanya menangkap dua laki-laki yang sepertinya sedang berbicara serius. Gadis itu mendesah kesal tapi di satu sisi dirinya ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Karena cara Dean berbicara dan Bagas yang menunduk terdiam bagai seorang ayah yang sedang memarahi anaknya.             Begitu mendekat sudut mata Bagas menangkap bayangan Jihan. Mukanya langsung berubah ceria. Senyum terukir di wajahnya.             “Nih,” sungut Jihan menyodorkan barang bawaannya kepada Dean. Dean langsung mengambil dengan cepat.             “Kembaliannya udah di dalem,” tambah Jihan. Tapi Dean masih sibuk melihat-lihat belanjaan di dalam plastic secara detail. Jihan memicingkan matanya, jangan-jangan…             “Ya sapa tahu lo nyemil makanan gue pas lagi antri.”             Nah kan bener, minta di ulek pake semen cowok ini.             “Whatever…” ujar Jihan sambil memutar bola matanya. Bagas hanya bisa tertawa kecil setiap Dean dan Jihan berantem. Gadis itu lalu membalikkan badannya hendak pergi.             “Mau kemana lo?” tanya Dean.             Jihan menoleh cepat, “emang apa urusannya sama lo, gue mau kemana.”             “Orang nanya tuh kudu ada urusan ya?”             “Ya iyalah, trus ngapain nanya?”             “Iseng,” jawab Dean singkat membungkam cerocosan Jihan. Jihan langsung melipat lengannya di depan d**a dan bersiap mengeluarkan uap panas dari kepalanya.             “Kita tadi sih mau beli es krim,” timpal Bagas menengahi sebelum ada keributan lanjutan.             “Kalian berdua? Es krim?”             Tiba-tiba Dean mengangguk sambil tersenyum licik ke Jihan. Ternyata itu maksudnya kenapa tadi Dean nggak boleh cerita-cerita ke Kanaya dan Tissa. Menyadari seringai di bibir Dean, Jihan refleks menggelengkan kepala cepat, memberikan tanda ke Dean bahwa itu bukanlah apa yang sedang dipikirkan oleh Dean.             Emang apa yang sedang dipikirkan oleh Dean?             Jihan bertambah salah tingkah dan memutuskan tetap menghadapi kecurigaan Dean.             “Iya, jilat es krim, kenapa?”             “Jilat kata lo?”             “Lha emang es krim dijilat. Suka suka gue lah mau bilang apa. Jilat kek, sruput kek, tempel ke muka kek, jadi papan selancar kek. Terserah! Orang gue sendiri yang beli es krim ngapain lo yang risih!”             “Denger ya cewek tukang nyolot. Ya itu terserah lo mau beli apa. Yang gue konsen disini, lo berdua nggak lagi nge-date kan?”             Baik Bagas maupun Jihan langsung terdiam. Tapi tatapan tajam Dean hanya mengarah ke Jihan. Jihan langsung tertawa rikuh.             “Ahahahaha! Nggak lucu tau! Orang beli es krim berdua nggak mesti berakhir dengan nge-date.”             “Oke, gue pegang omongan lo!”             Tanpa pamit, Dean langsung beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Kepergiannya membuat Jihan hanya bisa melirik rikuh ke Bagas. Jihan menggaruk rambutnya pelan. Kenapa ya dari dulu Dean seakan nggak suka melihat kedekatan Bagas dan dirinya. Mereka berdua sama-sama jomlo. Sama sama tidak terikat dengan orang. Hanya memang mereka berada dalam circle yang sama. Jihan nggak enakan kalau Kanaya dan Tissa tahu dirinya suka Bagas atau malah mereka berdua menertawakan dirinya yang dengan beraninya suka ke Bagas, idolanya anak FT.             “Dah nggak usah dipikirin omongan Dean. Kita jadi beli es krim kan?”             Jihan mengangguk setuju kemudian mereka berdua berjalan beriringan masuk ke minimarket. Sekilas Jihan memandang figur Bagas. Dia begitu sempurna. Kulitnya yang sawo matang justru semakin membuatnya terlihat sangat maskulin. Senyumannya yang menghiasi bibir merah dan plumpy membuat semua orang bakalan gampang terhipnotis dan rela menghabiskan waktu dengan Bagas. Ini yang membuat Jihan takut teman-temannya tahu. Karena mereka pasti akan membuat Jihan sadar, bahwa keinginannya itu hanyalah ilusi.             “Lo mau yang rasa apa?” tanya Bagas membuyarkan lamunan Jihan.             “Eh, gue yang rasa tropicana aja deh.”             “Gue traktir ya.”             “Eh, kenapa? Gue bisa bayar sendiri kok.”             Bagas mengacak-acak rambut Jihan, “Bukan masalah bisa bayar sendiri apa nggak. Penebusan dosa temen gue aja. Biar mood lo naik lagi.”             “Hehehe,” timpal Jihan sembari mengelus elus rambutnya yang tadi dipegang oleh Bagas.             “Makasih ya, Gas. Padahal yang salah kan temen lo, masak lo yang tanggung jawab sih,” ujar Jihan setengah tertawa beranjak menuju ke kasir setelah mengambil es krim yang dia mau.             “Mungkin karena itu lo, kalau yang lain gue sebodo amat kalik.”             Lagi-lagi Bagas berhasil membuat Jihan salah tingkah.                                                                                      **             Kalau saja hari ini tidak ada acara makan es krim, sudah dipastikan Jihan menangis di kelas karena kegagalannya menyelesaikan presentasi. Dimarahin dosen dan jadi bahan tertawaan teman-temannya membuat nyalinya ciut. Tapi bukan Jihan namanya jika dirinya tidak bisa berpura-pura bahwa hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhinya. Jihan malah cengengesan dan tersenyum lebar.             “Lo dirumah ngapain sih? Ngerjain gini aja nggak selesai!” sungut salah satu teman sekelasnya begitu melihat wajah tak berdosa Jihan. Temannya itu hanya bisa menggelengkan kepala miris.             “Jihan kan baru kali ini nggak bisa nyelesein data buat presentasi. Kayak dia mangkir terus, jarang absen,” ujar Kanaya membela Jihan.             “Lo nyindir gue?”             “Ngerasa? Baguslah. Sebelum lo kasih kritikan ke orang, ngaca dulu. Ngritik orang boleh, tapi punya adablah.” Kali ini Tissa yang membalas dengan muka lempengnya.             “Biasanya orang punya kelakuan sama itu ngumpul!” cerocos orang tersebut kemudian langsung meninggalkan kelas. Tissa yang hendak maju menjambak rambut wanita itu langsung dihalau oleh Kanaya.             “Dah, nggak usah diladenin. Ikutan nggak beres nanti kitanya.”             “Lo tadi banyak urusan di rumah ya?” tanya Kanaya. Jihan mengangguk.             “Bantuin Bunda dan…”             “….jadi tukang suruh-suruh budhe,” jawab mereka secara berbarengan. Mereka bertiga lalu tertawa.             “Yang penting, next, jangan kejadian lagi kayak gini. Kalau lo harus ngulang matkul ini nanti kita terpisah loh. Siapa yang nantinya bakal jagain lo?”             “Lha bukannya kita udah terpisah di kelas teori politik?” tanya Jihan dengan wajah polosnya.             “Anak kelas sana udah di briefing sama Tissa. Nggak boleh semena-mena sama lo.”             Jihan tertunduk malu.             “Bilang apa?”             “Makasih Celigala-Celigala akuhhh,” ucap Jihan berusaha memeluk kedua temannya tapi mereka dengan cepat menghindar. Kelakuan Tissa dan Kanaya yang suka judesin orang membuat mereka mendapat julukan Serigala dari banyak orang, tapi Jihan dengan senang hati mengubah menjadi Celigala agar terkesan imut dan lucu.             “Eh habis ini ikut gue yuk!”             “Kemana, Kan? Jihan bisa nggak tuh? Biasanya dia punya kewajiban negara yang harus ditunaikan.”             “Lama nggak?” tanya Jihan.             “Bisa sekalian beliin kwetiau kesukaan budhe kamu, Han.”             Sepertinya tawaran yang menggiurkan untuk Jihan. Sudah 3 hari ini budhenya selalu bilang ingin makan kwetiau. Biasanya memang kadang seminggu sekali atau seminggu dua kali Jihan diminta untuk membelikan budhenya.             “Eh tapi lo nggak ngajak Ikbal kan?” tanya Jihan tiba-tiba teringat sesuatu.             “Ya ngajak dong. Masak soulmate ditinggal.”             Pertanyaan berikutnya hanya sanggup hinggap di tenggorokan Jihan. Kegamangan hinggap di hati. Biasanya jika ada Ikbal maka ada dua orang yang saat ini dia ingin hindari. Satu karena dia benci sama orang itu, satu lagi karena sudah membuat jantung Jihan tidak berhenti berdetak cepat.             “Lo males ketemu Dean ya?” tebak Tissa.             Melihat raut wajah Jihan yang mengisyaratkan dia nggak suka nama itu disebut membuat Kanaya bertanya-tanya. “Kalian kok sering banget berantem sih?”             “Lo yakin nanya ke gue? Cecunguk satu itu yang mulai duluan!”             “Iya juga sih. Dean biasanya yang mulai duluan. Tapi yang paling duluan ngajak berantem awalnya siapa sih?”             Jawabannya ada di atas langit, kita kesana dengan pikiran Jihan yang melayang-layang membayangkan kejadian di masa lampau saat pertama mereka bertengkar hanya karena Jihan duduk di sebelah Bagas. Sehina itukah dirinya sebagai manusia biasa hingga tidak bisa mendapatkan priviledge keadilan sosial bagi yang berparas menawan. Jihan lupa, dirinya memang tidak masuk kategori rupawan.             “Jihan?”             “Dean?”             Kanaya dan Tissa bertanya secara berbarengan.             “Ya?”             Dan suara yang berbarengan menjawab membuat mereka bertiga menengok ke arah pintu kelas. Ikbal menyeringai bahagia dan melambaikan tangan kemudian menghamburkan dirinya ke pelukan Kanaya. Sedang Dean dan Bagas berjalan beriringan udah kayak bodyguard Ikbal.             “Ada perlu apa sama gue?” tanya Dean setelah berhadapan dengan para wanita.             “Oh tadi itu…”             “Nggak ada! Lo salah denger! Nggak usah ge-er!” ujar Jihan memotong kata-kata Tissa. Tissa hanya bisa melirik dan mengedikkan bahunya pelan.             “Lo masih inget kan tadi siang lo habis ngapain?”             Seketika Jihan terdiam, memilih untuk berdeham dan mengalihkan pandangannya ke Tissa dan Kanaya.             “Ada apa nih?” bingung Kanaya dan Tissa.             Jihan langsung tersenyum cerah dan mengarahkan jari jempol dan telunjuknya yang membentuk symbol cinta. “Dean, saranghae. Aku traktir kwatiau ya.”             Kerutan di kening Kanaya, Tissa dan Ikbal semakin menjadi.             “Oke, dua porsi ya?”             “Berapapun yang lo minta gue kasih.”             Kerutan semakin dalam dan mereka kini saling melirik heran.             Dean kemudian menyodorkan lengannya yang ditekuk dan Jihan menyambut dengan menggandeng lengan Dean.             “Berangkat yuk,” ajak Jihan yang berjalan duluan dengan Dean. Saat itulah karena mereka berdua sudah di depan, Jihan berbisik ke Dean.             “Awas ya lo cerita ke mereka berdua. Jangan harap hidup lo tenang,” ujar Jihan sembari menekannya kata-katanya dengan gemertakan di gigi.             “Lo ngancem gue setelah gue bantuin?”             Jihan kemudian menengok ke belakang dengan senyum yang dipaksakan ke teman-temannya yang menyusul mereka berdua.             “Hehe, kita akur kok, mana ada kita berantem. Iya kan, De?”             Dean menanggapi dengan mengacungkan jempolnya ke udara. Bagas yang dari tadi diam, mengamati tingkah Dean dan Jihan. Apa mereka lupa tadi siang ada Bagas juga? Apa mereka berdua melupakan fakta mereka bertengkar karena dirinya?             “Gas, ayok!” teriak Tissa karena melihat Bagas tiba-tiba berhenti mengikuti mereka. Saat itulah Jihan menengok ke belakang. Melihat tatapan nanar Bagas ke dirinya dan Dean. Gadis itu menyadari kekonyolannya membuat laki-laki yang disukainya memandangnya berbeda. Bukan lagi tatapan hangat yang mampu melumerkan es krimnya tadi.             Jihan, what have you done to Bagas?                         
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD