bc

Dignity

book_age18+
1.8K
FOLLOW
7.7K
READ
dark
escape while being pregnant
drama
tragedy
sweet
bxg
mystery
childhood crush
enimies to lovers
first love
like
intro-logo
Blurb

Sinopsis :

Kematian Miranda, kakak kandung Jullian Ridwansyah, telah membuat jalinan cinta pria itu dengan Irena Rizaldi mendadak harus kandas. Selama bertahun-tahun, Jullian menyimpan dendam terhadap mantan kekasihnya sendiri hingga menyebabkan ia sulit tidur dan bergantung pada obat-obatan untuk terus bertahan. Selama bertahun-tahun juga, Rosalie Santoso kemudian mengantikan posisi Irena untuk selalu berada di sisi pria itu tiap ia membutuhkan.

Irena yang paham bahwa tidak ada tempat lagi untuk dirinya membiarkan Jullian dan Rose bahagia dengan jalan yang mereka pilih, tidak peduli hatinya hancur saat menyaksikan pria yang amat dicintai lebih memilih sahabatnya sendiri saat Irena jatuh terpuruk, kehilangan orang tuanya yang tewas terbunuh.

Sosok Natasha yang misterius mengalihkan perhatian Jullian atas rasa sakit yang terus mendera selama bertahun-tahun, tapi semakin terlibat dengan wanita itu, Jullian sadar, ia telah berurusan dengan orang yang salah.

Apakah gengsi tetap membuat Jullian terpisah dari Irena? Ataukah Jullian memilih Rose untuk jadi pendamping hidupnya? Atau pada Natasha yang mampu menyembuhkan semua luka?

chap-preview
Free preview
Satu
Jullian terbangun dengan napas terengah-engah ditengah malam dalam kegelapan di kamar tidurnya yang besar. Tubuhnya basah oleh keringat sebesar jagung yang sepertinya tidak terpengaruh oleh dinginnya pendingin ruangan pada malam itu. Kemudian tanpa sadar ia menggigil, seolah udara dingin langsung menyergap indranya secara tiba-tiba, sehingga tanpa di sadari ia langsung merengkuh tubuhnya sendiri, mencari sejengkal kenyamanan. Ia masih terbayang semua hal itu, hal paling mengerikan yang menjadi pusat ketakutannya selama bertahun-tahun. Ah, iya. Sudah sembilan tahun ternyata, ia baru sadar. Bahkan malam ini adalah malam saat kejadian naas itu terjadi. Semua seolah baru terjadi kemarin, karena semua cuplikan masih terasa nyata dalam ingatannya. Cuplikan kematian orang yang paling dikasihinya di dunia. *** Rintik hujan yang turun membasahi bumi pada pagi hari itu tidak memupuskan kegiatan berbagai macam orang yang lalu lalang di sekitaran jalan menuju pusat perkantoran sepanjang jalan Sudirman, yang menjadi salah satu jalanan tempat pusat segitiga bisnis perkantoran di Jakarta, selain Thamrin, Gatot Subroto, Rasuna Said dan Mas Mansyur. Bahkan di beberapa halte bus, segerombolan orang tetap bertahan, sambil menunggu kedatangan bus atau angkot yang akan mengantar mereka ke tempat kerja masing-masing. Di antara gedung-gedung bertingkat tinggi yang berjejalan di sepanjang jalan utama itu, sebuah toko bunga dua lantai bernuansa modern berdiri dengan percaya diri tanpa malu dengan keperkasaan lawan-lawannya yang seolah menantang bumi, merengkuh langit dengan segala kedigdayaannya. Toko bunga tersebut bahkan menjadi oase, karena ia tidak hanya menyediakan bunga sebagai produk utama, tapi juga beragam turunannya mulai dari sabun, pengharum, aroma terapi bahkan layanan ucapan rangkaian bunga mulai untuk perayaan sampai kematian bisa di pesan di toko itu. Toko bunga Rose, itulah yang tertera pada papan nama yang tertulis di depan kaca toko, hingga bisa dilihat oleh siapa saja. Pemiliknya, Rosalie Santoso sedang memasukkan beberapa bunga segar yang berharga mahal kedalam pendingin khusus untuk koleksi bunganya, agar kesegaran mereka tetap terjaga, saat sebuah lonceng penanda seseorang memasuki tokonya berdenting, menyebabkan ia berhenti sejenak dari kegiatannya, lalu menemui sang tamu. "Ren? Kukira kamu nggak datang. Hari hujan, lho? Kamu masih mau kesana?" Katanya pada satu sosok wanita bertubuh semampai, berwajah sedikit kaukasian dengan rambut gelap dan beriris sedikit cokelat. Bibirnya yang tipis menyunggingkan sedikit senyum, yang tidak selalu ia perlihatkan kepada semua orang, kecuali sahabatnya. Rosalie beruntung menjadi orang yang bisa mendapatkan senyuman itu. "Iya." Jawabnya pendek. Rosalie memutuskan tidak menjawab. Ia langsung menuju ke deretan bunga segar, yang memang sudah ia persiapkan sebelumnya untuk Irena. Setiap pagi gadis itu akan selalu mampir ke tokonya, memesan tiga jenis bunga yang berbeda, lily, mawar putih dan aster, tanpa peduli hari libur ataupun sedang hujan seperti saat ini. "Sudah lima tahun orang tuamu meninggal, dan kamu masih rajin kesana. Andai aku mereka, aku akan senang karena dikunjungi setiap hari olehmu." Kata Rosalie ketika ia kembali ke konter dan menyerahkan pesanan Irena, gadis itu hanya mengangguk, tidak lagi menyunggingkan senyum seperti sebelumnya. "Ren, manusia berubah. Kamu tidak perlu menangisi mereka. Lanjutkan hidupmu, jalani dengan baik, jangan seperti ini." "I did, once. Tidak berjalan baik. Setidaknya mereka alasan aku tetap waras hingga sekarang." Rose menghela napasnya. "Kamu berhak bahagia, Ren." "I am. Thanks Rose,  I gotta go." Selalu begitu, pikir Rose pilu sambil menatap punggung sahabatnya yang mulai menjauh, keluar dari toko lalu masuk ke dalam mercy nya yang berwarna gelap. Tidak berapa lama setelah kepergian Irena, bunyi denting menyadarkan Rose ada orang lain yang datang. Saat ia menoleh, ia menemukan Jullian berada disana dengan tubuh separuh basah karena hujan. Rose melirik ke arah luar dan menemukan motor besar milik pria itu terparkir di sana. "Kamu bisa demam, tahu." Katanya, sambil mengangsurkan sebuah handuk bersih yang memang sengaja ia letakkan di bawah mesin kasir padanya. "Makasih." Kata Jullian, lalu menggunakan handuk tersebut untuk mengeringkan rambut dan mukanya. "Tadi Irena kesini." Gerakan Jullian langsung terhenti. Ia menoleh sejenak pada Rose, namun kembali melanjutkan pekerjaannya, seolah yg dikatakan gadis itu hanya angin lewat. "Rosie, kamu tahu kalau aku tidak suka mendengar dia disebut-sebut didepan aku." Rose mengangguk. Ia berpindah dari konter kasir ke arah Jullian, membantu mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang masih pemuda itu pegang. "Aku tahu, hanya penasaran saja. Kami setiap hari bertemu, tapi tidak banyak yang bisa dibicarakan. Liz dan Mary juga tidak banyak cerita, padahal mereka berdua selalu bersama dia." "Aku khawatir." Gumam Rose sambil memeluk lengannya sendiri. Jenis gumaman yang membuat siapapun akan menghentikan pekerjaan mereka dan memberikan sepenuh perhatian pada gadis itu. "Dia bukan orang yang harus kamu perhatikan." Kata Jullian lagi, lalu meletakkan handuk yang dipakainya pada meja konter. Rose menyambar handuk itu, dan membawanya ke ruang sebelah. "Jesse, kamu juga. Sudah sembilan tahun kamu memusuhi dia. Konyol!" Gerutuannya terdengar dari ruangan sebelah, membuat Jullian berdecak. "Apa setiap kali aku kesini kita harus membahas dia? Lalu pada akhirnya kamu akan ngambek dan mendiamkan aku selama seminggu?" Kata Jullian, mengusap bibirnya dengan kesal. Sementara Rose yang sudah muncul dari ruang sebelah, menatapnya heran, tanpa beranjak dari tempat itu. "Kamu sudah dua puluh tujuh, Jess. Tapi sikap kamu pada Irena tidak jauh dari sikap anak tujuh tahun." Jullian meletakkan kedua tangannya di pinggang, menatap gadis itu dengan rasa kecewa. "Kupikir datang kesini adalah ide bagus, tapi setelah kamu bertemu dengan dia, lalu membujuk aku untuk sesuatu yang kamu jelas tahu akhirnya, aku rasa aku baru saja mengambil keputusan yang salah." Rose berjalan cepat mendekati Jullian yang bersiap keluar dari tempat itu. "Dia tidak lebih baik dari kamu." Katanya.  Jullian hanya mengedikkan bahunya. "Dia pantas mendapatkan itu." Jullian tersenyum tawar, lalu setelah menatap Rose dengan matanya yang gelap, ia melambai padanya. "Aku pergi." "Kamu mau ke kantor? Bajumu bagaimana? "Aku punya cadangan setelan dikantor." Jawab Jullian pendek membuat Rose kemudian merasa jika ia tetap menahan pria itu ditempatnya bukanlah suatu keputusan yang tepat.  Tidak lama setelah kepergian Jullian, Rose kembali pada pekerjaannya semula, menyusun sekumpulan bunga segar yang akan ia pindahkan dalam lemari pendingin, mencoba mengenyahkan kekesalannya atas sikap buruk Jullian pada Irena, walau ia tahu, selagi pemuda itu belum berubah, maka tidak ada yang pernah bisa memperbaiki hubungan mereka. Irena Harriet Rizaldi dan Jullian Christopher Ridwansyah pada awalnya adalah teman satu angkatan saat disekolah, begitu juga dirinya dan dua sahabat lain Irena, Liz dan Mary. Mereka cukup dekat, terutama Irena dan Jullian, yang Rose sebut Jesse. Namun setelah kematian kakak perempuan Jullian, hubungan mereka menjadi renggang. Apalagi setelah disusul dengan kejadian pembunuhan kedua orang tua Irena lima tahun yang lalu, menjadikannya sosok yang bertolak belakang dengan dirinya yang dulu. Apalagi, di usianya yang sangat muda, Irena kemudian dihadiahi tanggung jawab yang besar oleh kakeknya sendiri, mengambil alih tampuk pimpinan kekuasaan Rizaldi Enterprise, suatu perusahaan multinasional, yang menguasai bidang perkapalan, perhotelan, juga beberapa ritel besar yang membuat posisinya cukup di perhitungkan di daerah Asia Tenggara. Dalam waktu singkat, tangan besi sang kakek serta kecerdasannya dalam berbisnis menjadikan Irena sosok baru dengan kemampuan melihat dan mengendalikan bisnis apapun yang menurutnya akan berhasil di masa yang akan datang.  Sayang, di tengah kekuasaannya dalam bidang bisnis, kehidupan nyatanya sebagai manusia nyaris tidak bernilai. Kehilangan seluruh anggota keluarganya, menyebabkan dirinya miskin rasa kasih sayang, apalagi sejak ia juga kehilangan satu sahabat dekatnya, Miranda yang merupakan kakak Jullian, yang juga ia anggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Ia sendirian walau semua orang menganggapnya wanita tangguh dan kuat.  Bahkan dia sendiri merasa putus asa, namun tanggung jawabnya pada sang kakek, membuatnya tidak bisa berkutik sama sekali. Hidupnya hanya berputar dari rumah, tempat pemakaman orang tuanya, dan kantor, tempat ia bisa melarikan diri dari keheningan dan kesepian akibat semalaman sendirian. Namun tidak banyak yang tahu keadaannya, kecuali Rose, Liz dan Mary. Sementara Jullian, ia boleh saja dikenal sebagai pengusaha sukses di usianya yang masih muda, pewaris jaringan rumah sakit yang cabangnya tersebar di seluruh Indonesia, walau dirinya sama sekali bukan seorang dokter, yang menghabiskan waktunya lebih banyak di rumah sakit. Meskipun begitu, nyatanya kehidupannya tidak jauh berbeda dengan Irena. Nyaris sama malah. Ia selalu terbangun dengan mimpi buruk yang mencakar-cakar waktu tidurnya, membuatnya selalu mengalihkan diri pada obat tidur atau minuman keras agar kesulitan tidurnya teratasi, namun mereka tidak menyembuhkan hatinya sama sekali. Untuk sementara, mungkin. Namun jika sakit dalam hati terus menggerogoti, maka tidak ada obatnya, selain keihklasan untuk menerima apa yang telah terjadi.  Sayangnya ia tidak bisa. Dirinya terlalu pendendam untuk melupakan semua yang pernah terjadi. Apalagi kalau penoreh luka itu adalah Irena sendiri. *** Kawasan pemakaman mewah itu terlihat lain dari kompleks pemakaman biasa yang terkesan suram. Bahkan pada waktu hujan seperti saat ini, tidak ada rasa takut atau ngeri walau berada sendirian di dalamnya. Irena menghabiskan setiap waktu paginya mengunjungi makam orang tuanya yang berjarak dua puluh kilo dari kantornya. Hanya memerlukan waktu  sepuluh sampai duapuluh menit menggunakan mobil mewahnya yang berkecepatan super, dua puluh jika sedikit macet, tentu saja. Sehebat apapun mobilmu, akan kalah dengan kemacetan ibu kota. "Ma, Pa. Aku datang lagi." Kata Irena saat ia tiba di depan makam orang tuanya.  Gadis itu segera menyingkirkan bunga kemarin dan menggantinya dengan bunga yang ia bawa hari ini. Lily untuk sang ibu, mawar putih untuk ayahnya. Sementara ia masih memegang bunga aster di tangannya. "Apa kabar kalian hari ini? Jakarta hujan pagi ini tapi aku membawa payung, tentu saja. Tidak perlu khawatir. " ia menarik napas sebelum melanjutkan bicara lagi. "Bunga anggrek mama akhirnya berkembang lagi, setelah dua tahun. Aku ingin membawanya ke sini, tapi aku pikir mama lebih suka melihat mereka hidup daripada harus dipotong, dan dibuang esok hari." Pandangan Irena kemudian beralih lada nisan ayahnya. "Pa, aku sudah menandatangani kontrak pengajuan hutang produsen kapal pesiar yang kemarin kakek suruh, walau aku tidak yakin dengan kinerja mereka. Ini sudah yang kedua kalinya, mereka masih membutuhkan dana lagi, aku berpikir untuk menghentikan investasi itu, tapi kakek memintaku untuk sedikit bermurah hati." Irena menggigit bibirnya. Hal seperti ini, bercakap-cakap dengan kedua orang tuanya setiap pagi adalah hal yang selalu ia lakukan. Seperti ucapannya pada Rose, berbincang-bincang dengan mereka membuatnya tetap waras. Padahal ia tahu, sebanyak apapun cerita yang ia sampaikan untuk orang tuanya tidak akan pernah berbalas. "Apa kabar kalian disana? Aku..aku tidak baik-baik saja kalau kalian ingin tahu." Ia memejamkan matanya. "Aku merindukan kalian, ma, pa." "Andai aku tahu, kalian akan pergi untuk selamanya, aku tidak akan tinggal di asrama." "Hanya untuk menemukan kalian sudah meninggalkan aku." Irena tidak menangis. Bukan karena ia tidak mau, namun ia sudah lupa caranya. Tangis terakhirnya bahkan sudah tidak diingatnya lagi. Apakah saat orang tuanya meninggal, atau saat kakeknya menempa fisik dan mentalnya untuk lebih kuat. Ia tidak tahu.  Karena menangis pun tidak akan mengubah apapun. Sekitar sepuluh menit berbincang dengan makam orang tuangnya, Irena memutuskan untuk bangkit dan menuju satu lagi makam yang berada tidak jauh dari makam orang tuanya. Mengulangi ritual yang sama, membuang bunga aster yang ia pasang kemarin, dan menggantinya dengan yang baru. "Hai Miranda, apa kabarmu? Sudah sembilan tahun ternyata. Kamu rindu aku, tidak?"  Tidak ada jawaban, tentu saja. "Bunga astermu hari ini berwarna pink, kuharap kamu tidak kecewa. Aku baru sadar saat tiba tadi. " "Apa kamu bertemu dengan orang tuaku? " Ia merasa nyaris seperti orang gila, tapi ia tetap melakukan hal ini. "I missed you, guys." Gumamnya. "Aku harus kembali. Senang berbicara denganmu hari ini. Besok aku akan kesini lagi."  Katanya kemudian.  Setelah memakai kaca mata hitamnya, Irena kemudian berbalik meninggalkan kompleks pemakaman, menuju mobil yang akan membawanya kembali ke Jakarta.  Tempat dimana ia akan memasang topengnya, agar tidak semua orang tahu apa yang sedang ia rasakan saat ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Long Road

read
118.3K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.9K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.4K
bc

A Million Pieces || Indonesia

read
82.3K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
114.7K
bc

Rewind Our Time

read
161.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook