Ketika Irena tiba di kantor pagi itu, dengan Liz mengiringi dari belakang sambil membacakan jadwal sang atasan untuk sepanjang hari, satu telepon mampir dari nomor asing yang tidak dikenal hingga membuat Irena memandangi Liz dengan bingung sebelum memutuskan menjawab. Tidak biasanya ada nomor asing langsung menghubunginya. Urusan kerja akan langsung ditangani oleh Liz atau Mary, sang wakil pimpinan.
Irena baru hendak menjawab panggilan saat pintu kantornya terbuka dan sosok Mary masuk dengan terengah-engah. Dia tampak lelah tapi jelas terlihat, wanita itu sedang senang.
"Itu Mitsu..." Dia berbisik penuh semangat lalu cepat-cepat melanjutkan, "Tadi managernya telepon aku, Mitsu mau bicara sama kamu, Ren. Angkat, ya."
Irena bisa saja menggeleng untuk menggoda sahabatnya itu, tapi kemudian ia lebih memilih mengangkat panggilan dari sang artis terkenal dan bersyukur karena perbuatan itu Mary menyunggingkan senyum lebar sambil menanti kalimat apa yang akan keluar dari bibir ibu direktur yang telah bertahun-tahun jadi sahabatnya itu.
"Dengan Irena Rizaldi..." Irena memulai sambil menoleh pada Mary yang kini tanpa ragu mengambil posisi yang nyaman duduk di sebuah sofa empuk tidak jauh posisinya dari tempat Irena berdiri, sementara Liz yang tidak mau kalah ikut mengekori Mary sambil menyimak percakapan via udara di depan mata. Beruntung Irena yang baik hati menggunakan fitur pengeras suara hingga kedua wanita itu bisa ikut mendengar tanpa perlu menahan rasa penasaran lagi.
"Konichiwa Irena San. Hajime mashite, my name is Mitsu Naoki."
Mendengar salam yang diucapkan dalam bahasa Jepang diikuti percakapan dalam bahasa Inggris, mata Irena mulai melirik dua sahabatnya sebelum ia menjawab. Apakah ia harus menggunakan bahasa Jepang ataukah bahasa Inggris? Dia tidak terlalu pandai bahasa negeri matahari terbit itu.
"Dia bisa bahasa Inggris." Mary berbisik dengan cepat seolah ia tahu segala informasi tentang sang artis. Tentu saja hal it benar, dia sudah menjadi penggemar setia seorang Mitsu Naoki sejak mereka SMA. Bertahun-tahun sudah lewat sejak pria itu memulai debut dan Mary berserta Rosalie adalah penggemar paling setia.
Sambil mengusap pelan pelipis kirinya dengan jari telunjuk, Irena bicara lagi.
"Oh, Hi, Mister Naoki. How do you do?"
Perkenalan basa-basi kemudian dimulai dan setelah beberapa menit, Irena bersyukur saat Mitsu mengaku sedikit bisa berbahasa Indonesia. Ia tanpa canggung langsung membalas pertanyaan pria itu dengan bahasa yang sederhana namun bisa dipahami oleh pria Jepang tersebut.
"Terima kasih, saya senang sekali bisa diajak ikut berpartisipasi dalam konser anda. Tentu saya tidak berkeberatan."
Ketika menyadari ibu direktur lebih banyak menanggapi pertanyaan dan pernyataan yang keluar dari mulut Mitsu Naoki dengan kaku, Liz dan Mary pada akhirnya hanya bisa memandangi Irena penuh rasa tidak percaya. Bisa-bisanya sahabat mereka sedatar itu saat bicara dengan penyanyi papan atas paling terkenal di dunia. Minimal dia bisa menunjukkan sedikit rasa antusias, bukan memberi respon seolah-olah dia sedang memberi instruksi kepada para pegawai.
Dasar wanita kaku yang beruntung.
Beribu-ribu wanita rela melakukan apa saja asal bisa bicara dengan Mitsu dan yang Irena lakukan malah bicara seadanya sambil sesekali memandangi kukunya yang pendek namun terawat.
Hal yang jarang sekali terjadi, sosialita berkuku pendek. Dia bahkan jarang menggunakan cat kuku dan lebih suka membiarkan kuku cantiknya polos.
Ketika Irena mengakhiri percakapan dengan mengucapkan "Douzo yoroshiku onegaishimasu", Liz dan Mary hanya bisa menggaruk kepala masing-masing dan memandanginya frustasi. Merasa iri dan berharap bisa bertukar posisi namun tanggapan Irena hanyalah, "Kenapa?" Pada kedua sahabatnya itu.
"Harusnya kamu lebih semangat sedikit, Ren. Satu diantara seribu wanita dan kamu yang terpilih menjadi pasangan duetnya, you're such a lucky b***h!"
Satu alis Irena naik tinggi saat mulut Mary mengucapkan kata yang sangat tidak ia sukai. Tapi Mary bahkan tidak peduli. Ia malah sibuk dengan ponselnya sendiri selama beberapa detik dan memamerkan satu foto lelaki tampan berambut gondrong berwajah Asia yang seharusnya akan membuat wanita manapun menjerit histeris.

"Lihat, dia super ganteng. Aku bahkan rela gajiku sebulan habis hanya agar bisa bersama dia satu menit, Ren. Dan lo, malah milih cuek. Lo gila, G I L A!"
Seperti biasa, setiap sahabat-sahabatnya mengoceh, Irena tidak pernah ambil pusing. Ia baru saja hendak kembali ketika Mary mendekat dan memamerkan beberapa foto lain dari seorang Mitsu Naoki.


Walau begitu, Irena tampak biasa saja, tidak peduli wajah Mary sudah gemas bukan main, berharap wanita itu akan memberi ekspresi tertarik atau sekadar mengagumi pria itu namun tetap saja, seperti bertahun-tahun lalu, Irena tidak tertarik. Bukannya dia tidak tahu siapa itu Mitsu Naoki, namun selama ini yang ada dalam pikirannya adalah Jullian Ridwansyah, pria kejam tukang marah-marah yang pernah singgah lama di hati wanita itu.
Jullian juga pencuri ciuman pertama miliknya.
Dia tidak mungkin bisa lupa meski kini hubungan mereka seperti minyak dan air. Mustahil bisa disatukan kembali.
Lagipula, sejak peristiwa itu, Rose lah yang selalu ada di samping Jullian.
Dia berusaha menepis perasaan konyol yang entah kenapa tiba-tiba saja mampir padahal di hadapannya saat ini terpampang wajah seorang pria yang menurut Mary adalah satu-satunya pria paling tampan di dunia.
Liz yang menyimpan perasaan kepada Daniel bahkan tidak ragu menganggap Mitsu Naoki sangat menawan.
"Oke, dia ganteng. Kamu puas?" Irena membalas dengan wajah malas sebelum kembali ke tempat duduknya dan mulai menyalakan laptop untuk memeriksa beberapa pesan elektronik yang mungkin mampir. Ia mengerling pada Liz yang sepertinya sudah siap sedia membacakan kembali lanjutan tugas hari itu saat Rose muncul dari balik pintu dan membuat mereka bertiga menoleh ke arahnya.
"Girls, aku mau curhat."
Lalu tanpa ragu ia masuk dan memeluk Mary yang masih duduk di sofa. Tidak butuh waktu lama, tangis Rose mulai meledak membuat Irena dan Liz segera mendekat dan membelai punggung sahabat mereka sekadar memberi dukungan walau tidak paham dengan apa yang sedang terjadi.
Lima menit kemudian, tangisan Rose mulai melemah. Ia bahkan tidak menolak saat Irena menyeka air matanya dengan tisu. Malah setelahnya, Rose sendiri yang mengambil persediaan tisu di atas meja dan mulai mengoceh tentang hal yang membuatnya tiba-tiba saja menangis.
"Aku sedih banget, tau nggak?" Rose membersit ingusnya dengan tisu, sementara tiga sahabatnya menggeleng.
"Nggak tau." Liz menjawab dengan jujur sementara tangan Mary sudah mampir ke paha wanita itu sambil melotot. Seharusnya Liz tahu, Rose adalah wanita dengan hati selembut salju, mudah meleleh alias mudah menangis karena hal apapun.
"Ini tentang Jessee, kalian tahu?" Rose bicara lagi, sekarang satu tisu sudah menempel beberapa kali di lubang hidungnya, membuat Liz yang risih segera merebut tisu tersebut dan menggantinya dengan yang baru.
"Nggak tahu, Rose. Ngomong yang jelas dan berhenti menangis. Aku geli ingusmu naik turun kayak pesawat apolo 11."
Rose menghentikan gerakan mengusap hidung sambil cemberut sementara Irena dan Mary hanya bisa menggelengkan kepala secara bersamaan. Dari dulu, Liz dan Rose jarang akur, apalagi setelah Rose lebih memilih bersama Jullian saat Irena mengalami masa-masa sulit. Walau sesekali Rose tetap mengunjungi Irena. Tidak bisa dipungkiri, baik Irena dan Jullian mengalami tragedi yang sama. Bahkan Irena mengalami hal lebih sulit dengan kematian kedua orang tuanya tidak lama kemudian. Kala itu Rose yang berdebat dengan Liz mengatakan kalau Irena punya mereka berdua, ditambah Daniel dan Nick, sementara Jullian, tidak punya siapapun kecuali dirinya.
Mereka baru bisa akur selewat beberapa tahun, itupun karena Rose mengunjungi Irena yang sedang berduka. Hubungan mereka mulai akur asal tidak ada Jullian disebut-sebut dalam pembicaraan mereka.
Tapi hari ini, entah angin apa yang sedang berhembus, Rose tiba-tiba saja datang dan malah curhat tentang pria itu, satu hal yang membuat emosi Liz naik. Ia sangat menjaga perasaan Irena, tapi sepertinya Rose lebih memilih mengabaikan semua itu.
Susah jika sahabatmu menyukai mantan pacar sahabatmu yang lain.
"Kalau tentang Jessee kalian selalu tidak suka. Tapi aku nggak punya tempat lain buat curhat, cuma kalian yang aku punya. Ren, aku nggak bermaksud buat kamu terluka, tapi belum-belum sepertinya aku sudah patah hati karena dia. Sudah bertahun-tahun dia belum bisa move on, tapi beberapa hari ini dia berubah. Jessee mulai suka tebar senyum, dia bilang tidak butuh obat tidur lagi, tidurnya nyenyak."
Kali ini suara Mary memotong, nada yang keluar dari mulutnya sama tidak suka seperti Liz mendengar tentang Jullian disebut-sebut.
"Lalu, kalau dia bisa tidur nyenyak, kami harus koprol atau jungkir balik? Atau kami harus joget kayang?"
Rose mulai menangis lagi, untung Irena dengan cepat bertindak.
"Rose, jangan dengar mereka. Kamu bisa cerita dan aku akan mendengar."
Lalu Liz akan menyerah dan memilih menjauh. Dia benci kalau ibu peri nan baik hati yang tidak pernah marah meski disakiti, meski tahu sahabatnya sendiri menikung pacarnya, dia tetap ramah dan bersahabat, bahkan tidak malu mendukung Rose yang berdikari dengan toko bunga bak cerita telenovela yang Liz sangat benci.
"Ren, aku tahu kamu akan dengar. Kamu yang paling tahu Jullian kayak gimana. Akhir-akhir ini dia berubah. Kemarin bahkan dia cerita tentang seorang cewek asing. Dia senang sekali bisa bertemu, dan kamu tahu, dia bilang, cewek itu merubah segalanya."
Air mata Rose turun lagi.
"Aku nggak mau, Ren. Butuh bertahun-tahun buat dia agar menoleh padaku, lalu wanita itu datang dan merebut Jessee begitu saja. Ini nggak adil."
Dia terisak sementara bibir Liz mulai menggerutu tanpa suara, membuat gerakan memotong leher yang ditangkap dengan baik oleh Mary yang sepertinya setuju. Irena bahkan bisa mendengar Liz menyebut kalimat, "Karma does exist" yang membuat Mary setuju kembali namun ibu peri nan cantik, Irena Rizaldi hanya menggeleng pelan dan mengusap lembut bahu Rose yang layu sementara tuannya sedang menangis sambil menutupi wajah.
"Barangkali Jullian tidak serius. Coba tanya lagi dan pastikan. Kalian sudah lama bersama, nggak mungkin dia semudah itu melupakan kamu, Rose."
Rose menggeleng.
"Jessee serius, Ren. Aku tahu, aku tahu itu. Dia bahkan bilang, akan mengejar wanita itu sampai dia mendapatkan cintanya. Aku mesti gimana?"
Irena memandang wajah Rose yang kini basah dan memerah. Wanita itu pastilah sangat terluka, tapi ia tidak bisa melakukan apapun. Siapalah dirinya di mata pria itu, bukan siapa-siapa meskipun di masa lalu pernah ada sesuatu yang terjadi. Ketika untuk kali kedua, Rose membuka mulut dan bertanya tentang apa yang semestinya ia lakukan, Irena hanya menggeleng lemah.
"Aku nggak tahu, Rose. Aku minta maaf."
***