1. Lonely Man

1573 Words
    Bagi sebagian besar pasangan pernikahan mungkin adalah sebuah akhir. Akhir penantian panjang dari hubungan mereka dengan orang yang dicintainya. Tapi bagi Rivaldi, pernikahannya adalah sebuah awal dari kisah cintanya. Kisah bagaimana ia menjaga komitmennya bersama dengan istrinya walau apapun yang terjadi. Jalan terjal harus mereka tempuh untuk menjaga keutuhan pernikahan mereka. Berbagai situasi sulit mereka harus hadapi. Hingga maut memisahkan.     Rivaldi menghela nafas panjang. Ia mematutkan diri di depan cermin sambil menata rambutnya yang mulai beruban. Wajah tampannya tidak berubah, hanya sedikit keriput di sekitar area mata dan kening. Ditambah lagi bulu halus di sekitar rahang dan tulang pipinya.     Ia mengoleskan shaving cream dan mencukur habis rambut-rambut halus itu hingga wajahnya kembali bersih. Sinar matanya tidak lagi memancarkan binar gairah yang dulu ia miliki saat ia muda. Sudah lima tahun ini wajahnya jadi terlihat lebih suram. Hidupnya terasa hampa dan sepi.     Ia menyelesaikan mandinya dan bersiap menuju ke kantor. Ia mengambil kemeja putihnya dan dasi berwarna biru bercorak garis-garis lalu memasangkan dengan cekatan di lehernya. Matanya melirik kalender gantung di hadapannya. Tanggal hari ini ia lingkari dengan warna merah. Ini adalah ulang tahun pernikahannya dan Celline yang kedua puluh dua tahun. Dan hari ini sama seperti lima tahun lalu, ia harus merayakannya dalam sepi.     Putri tunggal mereka, Rebecca, melanjutkan kuliahnya di Belanda. Sementara Celline? Tubuhnya masih terbaring di atas ranjang rumah sakit dan entah sampai kapan wanita itu seperti itu. Tidak ada tanda-tanda istrinya itu sadar dalam jangka waktu dekat. Ia hanya bergantung pada alat-alat medis di sekujur tubuhnya.     Rivaldi menuruni anak tangga kediamannya. Ia disambut oleh beberapa orang asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya.     “Selamat pagi, Pak.”     Dengan senyum ramah, Rivaldi membalas sapaan mereka. Ia kini duduk di meja makan. Sepiring sandwich sudah disiapkan oleh asisten rumah tangganya. Ia menikmati sarapannya dengan sepi.     Ponselnya berdering.     Ia melirik ponselnya yang menampilkan foto seorang gadis muda yang sedang tersenyum sambil tangannya menunjukkan dua jari dan menempelkannya di bawah bibirnya. Gadis manis itu memiliki lesung pipi di kedua sisi wajahnya. Begitu melihat siapa yang menghubunginya, seulas senyum tercetak di bibir Rivaldi.      Rebecca. Begitu nama yang tertera di dalam layar dan itu adalah putri semata wayangnya.     “Hai, Papa! Happy Anniversary…” ucapnya dengan riang. Rivaldi tersenyum.     “Terima kasih, Sayang! Bagaimana kuliahmu di sana?”     “Papa tidak perlu cemas. Aku tinggal menyelesaikan tugas akhirku dan wisuda di sini. Papa tahu rasanya tegang sekali menunggu hari itu tiba. Aku sudah bekerja keras selama ini…”     Rivaldi menikmati pemandangan yang ia lihat saat ini. Putrinya sudah beranjak dewasa. Wajahnya sangat mirip dengan Celline dengan lesung pipi dan bibir mungil serta rambut lurus sebahu. Hanya bagian matanya mirip dengan Rivaldi dengan alis yang melengkung sempurna dan sorot mata yang tajam namun sinar matanya lembut seperti Celline. Namun urusan karakter, tidak ada yang menyangkal bahwa Becca lebih mirip dengannya. Ceria, kritis, logis namun ramah dan berhati lembut. Ia bersyukur melihat putrinya berkembang seperti saat ini.     Ia menikmati sarapannya sambil mendengarkan celoteh putrinya. Hingga putrinya itu mengakhiri panggilannya karena akan bersiap ke kuliah. Rivaldi menghabiskan potongan terakhir dari makan paginya lalu menghabiskan segelas s**u yang ada di hadapannya.     Ia mengangkat kepalanya dan bayangan akan kehadiran Celline dan Becca muncul di hadapannya. Ia sangat merindukan waktu-waktu itu. Masih ingat betul bagaimana senyuman Celline selalu menyambut paginya. Bagaimana suara lembutnya itu berbicara dan memberikan nasihat atas masalah yang ia ceritakan. Bagaimana kecupan lembut yang selalu Celline berikan di pipinya setiap pagi membuat suasana hatinya membaik. Namun kini semuanya hilang.     Tidak ada kecupan pagi. Tidak ada lagi celoteh riang Becca. Tidak ada lagi tatapan lembut dari Celline dan suaranya yang mengalun lembut di telinganya setiap pagi. Hari-harinya terasa sepi tanpa kehadiran keduanya di sisinya.     Rivaldi menghela nafasnya dan menyadarkan dirinya bahwa ia harus menghadapi hari seperti ini lagi. Penuh dengan kehampaan dan hanya berusaha bertahan hidup demi Celline, demi Becca dan demi ribuan orang yang bergantung padanya sebagai pimpinan.     Sesampainya di kantor ia disapa oleh para karyawannya dan dengan senyuman ramah ia membalas mereka semua. Bahkan ia menyempatkan diri untuk mengobrol dengan beberapa orang. Rivaldi memang dikenal sebagai atasan yang sangat rendah hati.     Ia bukan pimpinan yang sombong. Ia selalu menyediakan waktu untuk mengobrol dengan anak buahnya walau itu hanya sebatas basa-basi. Namun, semua yang dilakukan Rivaldi berbuah manis. Tingkat pergantian karyawan di perusahaannya termasuk yang paling rendah karena Sebagian besar karyawannya setia padanya. Mereka merasa dimanusiakan di dalam GD Corp.     Perusahaan peninggalan Antony, ayahnya, itu kini berdiri dengan kokoh dan bahkan jadi yang terbesar di pasar Asia. Area bisnisnya meluas. Jika sebelumnya hanya mengelola restoran The Grand Dining, kini mereka memiliki pabrik dan memproduksi frozen food dengan skala besar untuk diekspor keluar negeri. Perusahaan itu menjadi sebesar sekarang berkat kepemimpinan Rivaldi bersama dengaan Johny, paman angkatnya.     Kini Rivaldi sudah berkutat di depan meja kerjanya. Berkas-berkas yang menggunung harus ia cek satu per satu sebelum dieksekusi oleh divisi yang bersangkutan. Ia mengambil secangkir kopinya lalu menyesapnya.     Pintu ruangannya diketuk dari luar.     “Riva, apa Uncle boleh masuk?”     “Oh, Uncle John. Silakan.”     Johny masuk ke dalam ruangan Rivaldi lalu memberikan pelukan hangat pada pria itu.     “Happy anniversary!”     “Thanks, Uncle.”     Johny menempatkan pantatnya di atas sofa di tengah ruangan Rivaldi. Rivaldi meminta sekretarisnya untuk membuatkan secangkir kopi lagi untuk Johny. Setiap pagi mereka selalu berdiskusi bersama mengenai strategi perusahaan dan berbagai masalah lain yang terjadi di perusahaan. Mereka selalu menyatukan pikiran sebelum melakukan bagian masing-masing. Seperti saat ini, keduanya membicarakan arah perusahaan.     “Riva, sebenarnya maksud kedatanganku hari ini adalah untuk membahas masa pensiunku.”     Rivaldi meneguk ludahnya dan terdiam. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Johny sudah menginjak usia 65 tahun. Usia yang cukup senior untuk bekerja dan bahkan melebihi batas usia pensiun yang seharusnya. Rivaldi memang meminta agar Johny tidak buru-buru pensiun karena ia merasa membutuhkan bimbingan dari Johny selama memimpin GD Corp. Untunglah Johny menyanggupinya. Ia bertahan hingga 5 tahun lagi untuk mempersiapkan Rivaldi memegang tampuk kepemimpinan GD Corp secara keseluruhan.     “Aku sudah terlalu tua untuk mengurus perusahaan ini. Sebuah perusahaan akan terus berjaya jika pemimpinnya juga orang-orang muda berbakat sepertimu. Dan, kurasa ini waktunya Si Sepuh ini mundur dari perusahaan.”     “Uncle… “     Johny terkekeh.     “Sudah saatnya aku menikmati waktuku bermain bersama cucu-cucuku. Menikmati masa tuaku bersama dengan istriku. Sudah cukup lama aku bekerja dan sepertinya sedikit waktu yang kuberikan untuk keluargaku,” ucap Johny sambil berkaca-kaca. Tampak di guratan wajahnya, raut muka penuh dengan penyesalan.     “Aku melihat kau sudah siap memimpin perusahaan ini, Riva. Kau akan jadi pemimpin yang hebat bagi perusahaan ini. Dan aku percaya itu.”     Rivaldi hanya bisa menatap Johny dalam diam. Ia mendengarkan semua wejangan berharga dari mentornya selama ini.     “Bagaimana, Pak Rivaldi? Apakah Anda menerima pengajuan pensiun saya?” tanya Johny dengan kata-   kata formalnya, layaknya seorang bawahan pada atasannya.     Rivaldi menatap lembut ke arah Johny.     “Kalau itu keinginan Uncle, aku menyanggupinya. Tapi, apakah boleh aku menghubungi Uncle apabila aku membutuhkan masukan?”     “Sure. Aku akan sangat senang membantu. Asal, jangan lupa bayaranku untuk sekali konsultasi senilai lima kali gajiku di sini,” kata Johny sambil mengerling nakal. Rivaldi terkekeh.     Ia berdiri dan mengulurkan tangannya pada Johny.     “Baiklah, Uncle John. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih selama ini sudah membimbingku dan mempersiapkanku sebagai pemimpin hingga hari ini.”     Johny menyambut tangan Rivaldi lalu memeluk pundak keponakannya itu. Ia keluar meninggalkan ruangan Rivaldi dengan menghela nafas berat. Awal yang baru telah dimulai. Kini Rivaldi akan memimpin GD Corp sendirian. Sejenak ia berpikir apakah memang ia sanggup memimpin perusahaan sebesar itu sendiri? Tapi apapun itu, the show must go on. Rivaldi harus tetap melanjutkan hidupnya. ***     Rivaldi kini telah berada di rumah sakit. Ia datang dengan membawa rangkaian bunga krisan kuning dan putih yang sangat Celline sukai. Ia mengecup kening Celline yang terbaring di sana.     “Happy anniversary, Sayang!”     Ia melepaskan jas kerjanya dan menyampirkan di punggung kursi. Ia menarik lengan bajunya hingga ke siku lalu menata rangkaian bunga itu ke dalam vas kaca di samping ranjang Celline. Ia melakukan itu hampir setiap hari. Ia ingin agar ketika Celline membuka matanya, ia melihat keindahan dari bunga favoritnya itu.     “Kau tahu, Sayang? Hari ini Uncle John akhirnya memutuskan untuk pensiun. Dan kurasa memang sudah layak ia memasuki masa pensiun dan menikmati hari-hari tuanya,” cerita Rivaldi pada Celline yang tidak akan memberikan jawaban apapun. Ia mengambil kursi di sisi ranjang dan duduk di atasnya lalu menggenggam tangan Celline di balik telapak tangannya yang hangat.     “Dalam hatiku sekarang merasa iri dengan Uncle John. Ia bisa berkumpul dengan keluarganya, bercengkrama dengan putra-putrinya, memeluk istrinya dan bermain bersama dengan cucu-cucunya,” lanjut Rivaldi dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia mengambil nafas sejenak untuk menetralkan perasaan sedihnya.     Aku ingin kita bisa bersama lagi, Celline. Bercanda bersama, mengobrol berdua, mendengarkan musik berdua. Tidakkah kau menginginkan hal itu? Mengapa kau tidur begitu lama, huh? Apa kau tidak lelah menutup mata dan berbaring tak berdaya di sini?”     Rivaldi tak kuasa menahan tangisnya. Ia mencium punggung tangan Celline dengan penuh emosi.     “Aku sekarang merasa…sendiri. Tanpa kau di sisiku, aku merasa hampa. Tanpa kehadiranmu, aku merasakan kosong. Bangunlah, Celline. Kumohon…” Rivaldi menumpahkan rasa sedihnya di sisi Celline. Istri tercintanya dan satu-satunya.     Tanpa Rivaldi sadari, setetes air mata Celline jatuh membasahi pipinya.       A/N: Apakah Celline akan segera siuman? Hmm… perjalanan masih panjang. Jadi, lanjutin aja bacanya. Semoga suka. Jangan lupa love dan follow untuk tahu updatenya ya... See you next chapter!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD