Bab 04 : K

1341 Words
Hari-hari Akasia sudah lelah dengan pekerjaan, dalam seminggu ini Ia bekerja sampai jam 22:00. Akasia bersyukur jika Cafe ramai dan Ia dapat bonus lain dari Anjar. Biasanya Cafe Anjar buka sampai jam 24:00, tapi untuk Akasia berbeda. Selain karena Akasia seorang pelajar, ada tambahan tenaga untuk malam hari. Yaitu sahabat-sahabat Anjar yang dengan suka rela membantu pria itu. Untuk jam malam pengunjung Cafe biasanya hanya sahabat atau pun orang-orang yang memang lebih suka menghabiskan waktu mereka di luar rumah. Setelah membuat tubuhnya fresh setelah bekerja, Akasia akan berkutat pada tugas sekolahnya hingga selesai, bahkan bisa saja Akasia baru akan tidur saat adzan subuh berkumandang. Akasia tidak mengeluh sama sekali, Ia memang kadang merasa lelah dan pusing. Itu akibat kurang tidur dan juga makan tidak tepat waktu, tapi lagi Akasia merasa tidak bisa mengeluh pada siapa pun. Inilah jalan hidupnya dan Ia harus menjalaninya seperti air saja. Mengikuti arus dan berusaha menghindari hantaman batu besar saat Ia terapung-apung tanpa arah. Akasia menggerakkan badannya, hari ini begitu cerah. Saat Akasia membuka tirai jendelanya, cahaya matahari membuat dirinya mengernyit. Matanya yang baru saja menatap gelapnya ruangannya belum siap menerima rangsangan cahaya matahari yang langsung menusuk bola matanya. Akasia tersenyum, Ia masih bisa melihat matahari dan menghirup oksigen saja Ia sudah sangat bersyukur. Soal makhluk itu pun Akasia lebih sering berinteraksi dengannya, entah itu hanya hembusan nafas makhluk itu atau pun geramannya saja. Yang jelas Akasia mulai terbiasa hidupnya yang berdampingan dengan makhluk yang sampai sekarang Akasia tidak tahu apa namanya dan jenisnya. Yang jelas, hanya satu makhluk itu yang ada di dekat Akasia dan semoga tidak berlipat serta mengangganggu hidupnya. Akasia berjalan ke meja belajarnya, saat membereskan bukunya yang berserakan sehabis Ia gunakan untuk mengerjakan tugasnya. Akasia melihat kertas undangan yang masih terbungkus rapi itu. Akasia mendudukkan dirinya di kursi belajarnya. Akasia membuka plastik undangannya perlahan, cahaya kamarnya yang terang membuatnya begitu senang menyapa pagi ini. Akasia menatap sampul undangan yang baru pagi ini Ia bisa membukanya, undangan berwarna gold itu begitu cantik dengan nama Iris Maylica. Akasia merenung, hidup Iris begitu bahagia, sangat berbeda dengan dirinya yang hanya numpang lewat di dunia ini. Akasia berdecak saat dirinya merasa bukan apa-apa, Ia tidak menyesali kehidupannya, dan memang tidak boleh. Sudah sekian tahun dan harusnya hidup Akasia tetap optimis. Akasia membuka undangan itu perlahan, hari ini hari minggu. Jadi Akasia akan bersantai sampai jam 09:00 lalu pergi ke Cafe. Niat Akasia hari ini adalah membersihkan rumahnya terlebih dahulu, hanya seminggu sekali Akasia dapat membersihkan rumahnya yang memang sangat berantakan. Akasia membaca undangan itu, pesta di adakan minggu depan. Pada baris pertama tidak ada masalah untuk Akasia, baris ke dua masih tidak masalah. Namun baris ke tiga barulah Akasia berdecak. Kata Iris tidak ada tema apa pun, tapi di sana Akasia membaca catatan penting bahwa setiap orang wajib datang dengan pasangannya. Tidak di wajibkan pacar memang, tapi setidaknya tidak sendiri dengan pakaian couple. Akasia menghembuskan nafas, Dia akan datang dengan siapa? Akasia berdecak, untuk apa Ia berpikir akan pergi ke pesta jika Ia memang tidak bisa. Lebih baik Ia meminta maaf pada Iris jika Ia tidak bisa datang karena harus bekerja. Nah, Akasia tersenyum saat ide itu terlintas di pikirannya. "Mau Aku temani?" Akasia tersentak dan segera menoleh saat suara itu tepat di telinganya. Bahkan undangan yang Akasia pegang sudah terlempar begitu saja saat Akasia terkejut dengan kehadiran makhluk itu. "Bercanda." jawab Akasia sekenanya saat tahu siapa yang kini berbicara padanya dan menetralkan rasa terkejutnya. Ini kali pertama interaksi yang membuat Akasia tahu bahwa makhluk itu ada selain hembusan nafasnya saja, Akasia sudah mulai membiasakan diri dengan suara itu. Meski tidak terlihat dengan matanya, namun dapat Akasia rasakan keberadaannya. Akasia membungkukkan badannya, mengambil undangan yang sudah tergelatak di lantai. "Kamu mau?" Akasia bersidekap d**a memutar kursi belajarnya menghadap makhluk itu, menatap sumber suara yang sebenarnya tidak ada apa-apa. Akasia hanya mengira-ngira jika sesosok itu ada di sana dari suara itu berasal. "Tidak usah repot-repot, Aku bisa di anggap lebih gila jika datang bersamamu." suara itu terkekeh, Akasia memutar matanya lalu kembali beralih menatap undangan itu. "Aku benar-benar ingin datang bersamamu." Akasia berdiri dari duduknya saat suara itu begitu kekeh dengan keputusannya. "Kau mungkin hanya ilusi yang Aku buat karena terlalu lelah." Akasia beranjak, namun pergelangan tangannya seolah di tahan. Rasa itu sama seperti ketika pertama kali Akasia rasakan, rasa tangan hangat yang memegangnya untuk pertama kali. "Aku sungguh-sungguh." ucap suara itu, Akasia berusaha tetap tenang. Lalu dengan senyumnya Ia berkata. "Jadi bagaimana Kau bisa ikut denganku?" tanya Akasia menantang makhluk itu, bagaimana mungkin makhluk itu pergi dengannya dengan tubuh yang tidak terlihat itu? Jika pun Akasia mengiyakan usulan makhluk itu, berarti makhluk itu harus memperlihatkan wujud aslinya pada Akasia. "Aku punya caranya. Dan tidak masalah jika Aku harus menunjukkan wujud asliku.". Akasia berdecak, pergelangan yang di tahan itu terasa hangat. Bahkan rasa nyaman Akasia rasakan, jika makhluk itu adalah makhluk halus, harusnya pergelangan tangannya terasa dingin. Tidak seperti sekarang ini, lalu makhluk apa Dia?. "Jika Kau sungguh-sungguh maka ceritakan asal usulmu." tidak ada suara, namun Akasia yakin bahwa sosok itu masih ada. Pergelangan tangannya masih terasa hangat, bahkan sangat hangat. "Tidak sekarang, Lunia." Akasia mengernyit setelah beberapa lama tidak ada suara dan sosok itu menyebut nama kecilnya lagi. Akasia mengedikkan bahunya, Ia sudah dapat menebak jawaban yang akan Ia dapat dari makhluk itu. "Baiklah, kenapa Kau tahu namaku?" tanya Akasia penasaran akan panggilan kecilnya yang sejak awal sudah di sebutkan secara fasih oleh makhluk itu. "Kau ingin mendengarnya?" bukan jawaban yang Akasia dapat, melainkan sebuah pertanyaan. Akasia mencibir dengan tetap berdiri, karena pergelangan tangannya sama sekali tidak makhluk itu lepaskan. "Duduklah!" perintahnya saat Akasia mengangguk, Akasia duduk di kursinya kembali saat tarikan halus mengarahkannya untuk duduk di kursinya tadi. Dan Akasia yakin jika sekarang Akasia sedang berhadapan dengan makhluk itu. "Kau yang mengenalkan dirimu sendiri padaku." alis Akasia bertaut bingung, kapan Akasia memanggil dirinya sendiri dengan panggilan Lunia pada seseorang. Akasia rasa itu hal yang mustahil dan tidak pernah terjadi. "Kapan?" Akasia benar-benar penasaran akan pernyataan sosok itu. "Sudah lama, Kau pasti tidak lupa akan hal itu. Dan keberadaanku adalah karena keinginanmu." mata Akasia melebar, keberadaan makhluk itu adalah keinginannya? Jelas Akasia semakin di buat bingung. "Apa?" kejutnya. "Kau tidak ingin tahu namaku?" Akasia berdecak. "Aku kira belum saatnya." Akasia merasakan usapan di kepalanya setelah mencibir makhluk itu. "Bersabarlah sedikit lagi." suara itu terdengar tegas namun juga putus asa. Akasia ingin meraba atau pun menenangkan sosok itu. Entahlah, Akasia seolah merasakannya juga. Akasia tersenyum saat sosok itu tahu akan maksudnya, tangan Akasia terulur dengan bantuan telapak tangan hangat yang ada di pergelangan tangannya. Akasia merasakan itu di telapak tangannya, wajah pria misterius yang tidak terlihat olehnya. Mulai dari hidung mancung, pipi keras dan rahang kokoh. Mata dan bulu mata yang panjang, Akasia juga merasakan alis mata yang tebal. Akasia memejamkan matanya, membayangkan sosok pria itu seperti apa lewat rabaannya. "Kamu penasaran?" Akasia membuka matanya, lalu mengangguk. "Sangat, jika Aku belum perlu tahu maka jangan lakukan." Akasia dapat merasakan sosok itu tersenyum saat Akasia meraba pipi pria itu. "Kamu bukan sejenis genderuwo kan?" kekehan Akasia dengar, dan Akasia mulai menyukai suara itu. "Apa Kamu tidak merasakan bagaimana tampannya Aku?" Akasia mendengus dengan rasa percaya diri dan narsisme makhluk itu. "Terserah padamu saja." Akasia memejamkan matanya saat merasakan pipinya di belai oleh telapak tangan halus dan besar. "Kamu suka itu?" Akasia bergumam sebagai jawaban. "Aku bukan sejenis makhluk immortal yang menjijikkan itu, Aku makhluk berkasta tinggi." Akasia membuka matanya. "Boleh Aku tahu siapa namamu?". "Ya, Aku memang ingin memperkenalkan diriku." Akasia tersenyum. "Panggil Aku K.". "K?" tanyanya tidak percaya. "Apa hanya itu namamu?" hembusan nafas terdengar di pendengaran Akasia. "Untuk saat ini hanya itu yang dapat Aku katakan." Akasia mengangguk , tidak ingin memaksa. Setidaknya Ia tidak akan bingung harus memanggil apa makhluk yang berada di sekitarnya ini. "Baiklah, setidaknya Aku tidak akan takut jika sewaktu-waktu Kamu menampakkan diri setelah Kamu menyebutkan namamu itu." tawa kecil terdengar, Akasia mendengus. "Tidak akan, bagaimana tawaranku? Kamu mau Aku menemanimu?" Akasia berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Tidak, Aku tidak akan datang ke pesta itu.". **** Madiun punya cerita (Loves, Like and Comment)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD